Bab 8

1152 Words
“Kamu tunggu di sini sebentar. Saya tebus obat untuk kamu setelah itu saya antar pulang.” Gina sudah akan menolak perkataan pria itu, namun Rafael sudah lebih dulu berjalan keluar dari ruangannya tanpa menunggu Gina mengeluarkan suara. Setelah pria itu menghilang dari balik pintu, Gina langsung menyandarkan punggung dan kepalanya di sandaran sofa dan memejamkan sebentar matanya. Ia beberapa kali memijat pelan dahinya untuk mengurangi rasa pusing yang masih menggerogoti kepalanya saat ini. Suara pintu yang kembali terbuka mengejutkan Gina yang sedang memejamkan mata. Awalnya ia pikir Rafael mungkin melupakan sesuatu sehingga pria itu kembali ke ruangannya, namun saat membuka matanya Gina langsung terdiam kaku menatap orang yang masuk ke dalam ruangan tersebut. Orang itu bukanlah Rafael seperti dugaannya. “Ternyata aku nggak salah lihat tadi. Aku pikir hanya mirip, nyatanya memang Argina Mawardi.” “Kak Bima,” gumam Gina dengan suara bergetar dan wajah gugup. Pria yang saat ini berdiri di hadapan Gina adalah Bima Angkasa sahabat baik Rafael. Ia terlihat menatap lekat Gina dengan tatapan datarnya. “Kenapa kamu bisa ada di sini Gina? Apa Rafael mengingat kamu?” Tanya Bima. Gina memberikan gelengan pada Bima. “Dia sama sekali nggak ingat tentang aku kak dan sampai kapanpun dia nggak akan mengingatnya lagi,” jawab Gina penuh keyakinan. Bima tertawa sinis mendengar perkataan wanita muda di hadapannya ini. “Kalau memang begitu kenapa dia bisa mengenal kamu sekarang?” tanya Bima yang nampak tidak senang. “Ceritanya panjang kak,” jawab Gina lagi dengan suara pelan. “Jangan pernah melupakan apa yang kamu ucapkan enam tahun lalu Gina. Kamu sendiri yang berjanji akan menghilang dari kehidupan Rafael setelah kejadian itu, kamu harus menepati janji kamu.” Gina memberikan anggukan pada Bima. “Aku ngga akan mengingkari janji itu kok kak. Apa yang terjadi malam ini nggak akan terjadi lagi. Setelah pergi dari rumah sakit ini, aku akan berusaha untuk tidak berinteraksi dengan dia lagi.” “Apa perkataan kamu ini bisa dipercaya Gin? Bahkan janji kamu untuk tidak menemui dia lagi enam tahun yang lalu kamu ingkari hari ini, bagaimana bisa aku percaya gitu aja dengan ucapan kamu?” Perkataan Bima seakan menyentil harga diri Gina. Ia menatap tajam dan kesal pada pria yang mengenakan jas putih di hadapannya ini. “Apa selama enam tahun ini Kak Bima pernah lihat aku bertemu dengan dia? Apa aku pernah sekali aja mengingkari janji itu? Dunia ini sempit kak, segimanapun aku mencoba menghindar, ada saat dimana tanpa sengaja kami berdua akhirnya harus berinteraksi. Kak Bima nggak bisa dong asal menyalahkan semuanya sama aku,” ujar Gina yang nampak tidak bisa menahan amarahnya karena dipojokkan oleh Bima. "Bertemu secara tidak sengaja berbeda dengan situasi kamu saat ini Gina. Jelas-jelas kamu saat ini berada di ruangan Rafael." “Gina, saya sudah tebus obat kamu. Sege…….” Perkataan Rafael yang baru masuk ke dalam ruangannya langsung terpotong saat mendapati ada orang lain di ruangannya itu selain Gina. “Loh Bim, ada lo di sini?” Tanya Rafael menatap bingung pada Bima yang saat ini membelakanginya. Mendengar suara Rafael membuat Bima segera mengubah ekspresi wajahnya kemudian membalikkan badannya menatap sahabatnya itu. “Iya bro, gue tadi nyariin lo. Tapi, pas masuk ke ruangan lo ini malah ketemu sama cewe ini. Dia siapa?” Tanya Bima. Rafael sempat melirik ke arah Gina sebelum kembali menatap Bima yang nampak menunggu jawaban darinya saat ini. “Dia adik iparnya Chilla,” ujar Rafael menjawab pertanyaan Bima. Bima mengangguk paham mendengar jawaban dari Rafael. “Oke deh kalau gitu. Kayanya lo masih ada urusan sama dia, gue pergi dulu ya.” Bima memukul pelan bahu Rafael sebelum akhirnya berjalan menuju pintu ruangan Rafael dan keluar dari tempat itu. Meninggalkan Gina dan Rafael di dalam ruangan tersebut. Setelah kepergian Bima, Rafael berjalan ke arah meja kecil tempat dispenser air diletakkan kemudian mengisi gelas dengan air. Setelah itu dengan tangan yang memegang gelas berisi air ia berjalan ke arah sofa menghampiri Gina yang duduk di sana. “Tadi itu sahabat baiknya saya, namanya Bima,” ujar Rafael menjelaskan tentang Bima pada Gina sambil menyodorkan gelas berisi air dan obat yang baru ia tebus untuk Gina. Gina hanya memberikan anggukan sambil menerima gelas dan obat yang diberikan Rafael. "Udah tahu kok," gumam Gina tanpa sadar. "Kamu udah kenal sama dia?" Tanya Rafael yang nampak sedikit terkejut. Gina langsung menggeleng cepat. "Saya nggak kenal sama dia kok Dok. Cuma tadi dia memperkenalkan diri pas masuk ke ruangan ini," bohong Gina. Gugup yang ia rasakan saat ini membuat tangannya berkeringat, hingga kesulitan membuka bungkusan obat yang diberikan Rafael. Melihat Gina yang nampak kesulitan membuka bungkusan obat membuat Rafael refleks mengambil kembali obat dari tangan Gina dan mengeluarkan sebutir obat yang kembali diberikan pada wanita itu. Gina menerima obat tersebut dari tangan Rafael dan langsung memasukkannya ke dalam mulutnya lalu meminum air di dalam gelas yang ia pegang. “Tadi pas dia masuk, dia ngomong apa aja ke kamu?” Tanya Rafael sambil mengambil gelas di tangan Gina dan meletakkannya kembali ke meja kecil dekat dispenser. Gina memberikan gelengan sebagai jawaban. “Dia cuma nanya dokter dimana, selain itu kami nggak ngobrol apapun. Toh saya juga nggak kenal sama dia kok, jadi nggak ada yang perlu dibicarain,” jawab Gina. Dengan perlahan Gina berusaha berdiri dari duduknya sambil menahan rasa pusing yang masih sedikit terasa di kepalanya saat ini. “Malam udah makin larut, jadi saya harus pulang sekarang. Dokter nggak perlu repot-repot buat nganterin saya, biar saya pesen taxi aja.” Ketika Gina sudah akan berjalan keluar dari ruangan tersebut, tangannya kembali dicekal oleh seseorang yang tidak lain adalah Rafael. “Jangan keras kepala Gina, kondisi kamu masih lemah saat ini. Lebih baik saya yang mengantar kamu pulang.” Gina memberikan gelengan, bersikeras tidak ingin diantar oleh Rafael. “Saya lebih tahu kondisi tubuh saya dok, jadi anda nggak perlu repot-repot.” Raut wajah Rafael yang tadinya masih tergolong lembut seketika berubah. Ia menatap tajam pada Gina. “Kamu jalan sendiri ke mobil saya, atau harus saya gendong secara paksa?” Tanya Rafael yang terdengar mengancam. Gina sadar betul bahwa apa yang dikatakan pria di hadapannya ini tentu saja adalah hal yang serius dan akan benar-benar dilakukannya jika ia bersikeras menolak. Ia tentu saja tidak akan menantang ucapan pria itu dan mengambil resiko yang bisa terjadi, akhirnya ia hanya bisa mengalah dan menganggukkan kepala. “Ya udah kalau gitu,” jawab Gina pasrah. Rafael tersenyum tipis, merasa lega karena wanita di hadapannya ini tidak terlalu lama bersikap keras kepala. Ia segera melepaskan jas putih miliknya dan menggantungnya di gantungan kayu samping meja kerjanya, lalu mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja. “Ayok,” ajak Rafael yang berjalan lebih dulu meninggalkannya. Gina segera berjalan mengikuti Rafael yang berjalan di depannya. Pandangannya menatap lurus punggung pria di hadapannya ini dengan berbagai hal yang berputar dalam pikirannya. Dia ternyata masih sama seperti dulu, masih suka memberikan ancaman konyol saat orang lain tidak mau mengikuti kehendaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD