Sebuah taxi terlihat berhenti di depan lobby salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Ketika pintu taxi bagian belakang terbuka, keluar Gina Mawardi dengan wajah yang pucat pasi dan tangan yang mencengkram kuat perutnya.
“Makasih ya pak,” ucap Gina pada sopir taxi yang mengantarnya ke rumah sakit.
Dengan langkah pelan Gina berjalan memasuki rumah sakit. Tangannya mencengkram kuat area perutnya menahan rasa nyeri ditambah kepalanya yang terasa begitu pusing serta tubuhnya yang seperti tidak berenergi. Sebelum ke rumah sakit, ia bahkan hampir berkali-kali muntah dan masih merasa mual hingga saat ini.
Begitu selesai mendaftarkan dirinya di bagian administrasi, Gina segera berjalan menuju kursi dan duduk di sana sambil menunggu namanya di panggil. Ia beberapa kali memejamkan mata sambil menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, berharap dengan cara itu bisa sedikit mengurangi rasa tidak nyaman pada tubuhnya saat ini.
Suara dering ponsel dari dalam saku jaket yang ia kenakan membuat Gina segera membuka matanya yang terpejam. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan melihat ke arah layar untuk mengetahui siapa yang menelponnya saat ini.
Begitu menemukan bahwa yang tertera di layar saat ini adalah tulisan Mama membuat Gina segera menekan tombol hijau dan menempelkan benda pipih itu di telinganya.
“Halo Ma,” jawab Gina. Ia berusaha mengontrol suaranya agar tidak terdengar lemah yang nantinya malah akan membuat Mamanya khawatir.
“Gina, kamu dimana sayang? Kok Papa dan Mama pulang ke rumah kamunya nggak ada, kata Bi Ina kamu keluar tadi. Udah malem gini kamu keluar kemana sih?” Tanya Putri Rahmawati yang nada bicaranya terdengar sangat mengkhawatirkan Gina.
“Ini baru jam tujuh Ma, bukan tengah malem. Aku sekarang lagi di rumah temen," jawab Gina yang tentu saja berbohong pada Mamanya. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit saat ini.
“Di rumah temen siapa? Cika?” Tanya Putri menyebutkan nama sahabat baik Gina yang sudah cukup dikenal olehnya.
Gina memang tidak memiliki terlalu banyak teman. Salah satu sahabat dekat yang ia miliki dan cukup dikenal baik oleh orangtuanya adalah Cika, yang sudah berteman sejak mereka menduduki bangku SMP.
“Iya, sekarang aku lagi di rumah dia. Sebelum jam sepuluh aku pasti balik kok ma,” ujar Gina yang kembali berbohong pada Mamanya.
“Ya udah kalau gitu. Inget ya pulangnya jangan malam-malam.”
“Iya Mamaku sayang,” jawab Gina meyakinkan wanita yang melahirkannya itu. Ia kemudian segera menjauhkan ponselnya dari telinga dan memutuskan sambungan telepon mereka.
Tanpa menunggu lama Gina segera membuka aplikasi pesan dan mengirimkan pesan pada sahabatnya Cika untuk berjaga-jaga jika Mamanya nanti malah menghubungi sahabatnya itu.
Setelah selesai, Gina segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaket yang ia kenakan. Ia kembali meringis kesakitan karena merasakan nyeri di area perutnya lagi.
*****
Rafael terlihat berjalan menelusuri lorong-lorong rumah sakit dengan mengenakan jas putih kebanggaannya. Di belakangnya saat ini terlihat seorang pria yang berjalan mengikutinya dengan mengenakan jas putih yang sama dengan Rafael.
Pria yang mengikuti Rafael itu adalah sahabat baiknya yang bernama Bima Angkasa. Keduanya sudah bersahabat sejak kecil hingga akhirnya berkuliah di tempat dan jurusan yang sama dan bahkan memilih mengambil gelar spesialis yang sama sebagai dokter bedah.
“Bro, gue bukan baru setahun dua tahun kenal sama lo. Gue yakin lo pasti masih stres mikirin pernikahan Chilla Maharani kan?” tanya Bima sambil terus berjalan mengikuti langkah Rafael.
Mendengar ocehan sahabatnya membuat Rafael menghentikan langkahnya dan berbalik menatap sahabatnya dengan tatapan tajam. “Lo bisa nggak sih berhenti ngoceh hal nggak penting ini? Berapa kali gue harus bilang kalau gue nggak pernah mempermasalahkan pernikahan dia, karena dari awal juga gue udah sadar kalau dia nggak punya perasaan apapun sama gue,” ujar Rafael berusaha memberikan penjelasan pada Bima.
Bima masih menatap tidak yakin pada Rafael, dimana terlihat jelas bahwa pria itu sama sekali tidak mempercayai perkataan Rafael.
“Kalau emang lo baik-baik aja, kenapa seharian kerja ini lo kelihatan nggak fokus. Bahkan tadi lo hampir salah mendiagnosa kondisi pasien pas baca laporan hasil CT scan nya,” ujar Bima yang masih yakin ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu.
“Gue cuma lagi banyak pikiran aja,” jawab Rafael.
“Nah kan,” ucap Bima dengan suara keras. “Loh pasti mikirin Chilla, gue yakin. Udah nggak usah ngelak lagi.”
Rafael menghembuskan nafas kasar sambil menatap kesal pada Bima. “Gue bukan lagi mikirin Chilla,” ujar Rafael yang terlihat hampir habis kesabaran karena Bima.
“Kalau bukan mikirin Chilla terus lo mikirin apa dong?” tanya Bima.
Rafael terdiam dengan ekspresi bingung menatap Bima. Ia tentu saja tidak mungkin menceritakan pada pria di hadapannya ini tentang hal bodoh yang terjadi di malam pernikahan Chilla. Apalagi wanita yang tidak sengaja ditidurinya itu adalah adik kandung dari suami wanita yang ia sukai.
“Kenapa diem aja si lo?” tanya Bima merasa kesal melihat Rafael yang sepertinya tidak berniat menjelaskan apapun padanya.
“Udah, nggak usah banyak tanya deh.”
Rafael segera berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti karena merespon Bima tadi. Saat ini ia perlu mengistirahatkan diri di ruang kerjanya, agar bisa kembali fokus bekerja nanti.
“Gue kan nanya karena khawatir sama lo bro,” ujar Bima menggerutu kesal melihat Rafael yang sepertinya tengah menyembunyikan sesuatu darinya.
Bima segera berjalan menyusul Rafael yang sudah berjalan duluan di depannya. Namun, karena melangkah cukup cepat, ia akhirnya tanpa sengaja menabrak punggung Rafael yang berhenti secara tiba-tiba.
“Lo kenapa sih?” Tanya Bima menggerutu kesal sambil meringis kesakitan memegangi wajahnya yang terbentur punggung Rafael.
Rafael sama sekali tidak terlihat akan merespon Bima. Saat ini pandangannya sedang beralih menatap lurus ke arah seorang wanita yang tengah duduk sendirian di kursi rumah sakit sambil memegangi perutnya. Wajah wanita itu nampak pucat dan terlihat begitu lesu.
“Lo ngelihatin siapa sih?” Tanya Bima yang memperhatikan Rafael yang terdiam menatap sesuatu. Begitu mengikuti arah pandang Rafael, ekspresi wajah Bima berubah terkejut melihat ke arah orang yang dilihat oleh sahabatnya itu.
“Lo kenal cewek itu bro?” tanya Bima.
Rafael memberikan anggukan pada Bima sebagai jawaban. “Ada yang harus gue urusin. Lo balik ke ruangan lo aja duluan.”
Rafael segera berjalan meninggalkan Bima untuk menghampiri wanita yang dilihatnya itu.
“Nona Argina Mawardi.”
Suara perawat yang memanggil namanya membuat Gina segera bangun dari duduknya dan berjalan menuju ke arah pintu ruang pemeriksaan. Tangannya terus saja bertengger di area perutnya yang masih terasa nyeri.
Begitu Gina masuk ke dalam ruangan untuk diperiksa barulah Rafael tiba di depan pintu pemeriksaan.
“Dokter Rafael,” sapa perawat yang berjaga di depan pintu. “Apa anda memiliki keperluan dengan Dokter Reza? Tapi, saat ini antrian pasien Dokter Reza cukup banyak Dok,” ujar perawat tersebut.
Rafael memberikan gelengan pada perawat di hadapannya itu. “Saya datang ke sini bukan karena ada keperluan dengan Dokter Reza, melainkan karena saya mengenal pasien yang baru masuk tadi,” jelas Rafael.
“Oh, maksud anda Nona Argina Mawardi?” Tanya perawat tersebut.
Rafael memberikan anggukan.
“Kalau begitu dokter masuk saja langsung,” ujar perawat tersebut mempersilahkan Rafael
Rafael mengangguk kemudian segera masuk ke dalam ruangan tersebut.
Begitu berada di dalam ruangan, ia berdiri di balik tirai yang menutupi tempat pemeriksaan, sehingga Dokter serta Gina yang berada di balik tirai tidak mengetahui keberadaannya saat ini.
“Nona Argina Mawardi.”
“Panggil saya Gina aja dok,” ujar Gina meralat panggilan dokter di hadapannya ini.
Dokter yang memeriksa Gina memberikan anggukan paham. “Dari hasil pemeriksaan dan informasi yang diberikan dapat saya simpulkan bahwa anda mengalami overdosis karena mengonsumsi terlalu banyak obat pencegah kehamilan,” jelas dokter tersebut. “Jika mengonsumsi obat ini secara berlebihan, tentu saja anda akan mengalami mual dan muntah parah serta rasa nyeri di perut yang tidak tertahankan. Untung saja gejala yang anda alami ini tidak terlalu parah sehingga tidak memerlukan tindakan lebih.”
Gina menunduk dalam dengan jantung yang berdegup kencang. “Sa..saya sama sekali nggak tahu kalau obat itu nggak bisa diminum lebih dari satu butir,” ujar Gina dengan suara terbata-bata karena gugup.
Dokter di hadapan Gina tersenyum kecil mendengar jawaban wanita muda di hadapannya ini. “Sebenarnya tidak masalah jika dikonsumsi lebih dari satu butir. Hanya saja tidak boleh diminum sekaligus, karena itu akan sangat membahayakan.”
Gina mengangguk paham. “Baik Dok, lain kali saya akan lebih hati-hati.”
Raut wajah Dokter tersebut nampak terkejut mendengar jawaban Gina. “Lain kali? Kamu akan melakukan hal itu lagi dan meminum obat ini lagi?”
Raut wajah Gina nampak panik dan gugup begitu memahami maksud perkataan dokter dihadapannya ini. Ia dengan cepat memberikan gelengan. “Bukan itu maksud saya dok. Maksud saya, untuk mencegah kehamilan saat ini,” ujarnya berusaha memberikan penjelasan agar tidak disalahartikan.
Dokter tersebut nampak tertawa kecil melihat Gina yang panik. “Jika hal itu dilakukan atas dasar suka sama suka, lebih baik jangan dilakukan lagi ya. Saya lihat kamu ini sepertinya masih sangat muda, lebih baik menghabiskan waktu untuk menikmati masa muda kamu dengan hal positif. Tapi, jika hal itu dilakukan atas dasar keterpaksaan, kamu bisa melaporkannya ke pihak berwajib.”
Gina kembali memberikan gelengan dengan kepala yang menunduk malu. Ia merasa begitu gugup hingga lidahnya kelu dan tidak bisa membalas perkataan dokter di hadapannya ini.
Melihat Gina yang terdiam membuat dokter tersebut menyadari bahwa wanita di hadapannya ini tidak ingin membahas hal tersebut. Ia akhirnya memilih ikut diam dan tidak terlalu dalam mengorek urusan pribadi dari pasiennya itu.