"Menurut lu gue harus mundur atau terus maju?" tanya Joe. Sekarang hanya ada dia dan Sean, mereka berada di apartemennya, sehingga Joe bebas bertanya tanpa harus khawatir terdengar Romi dan Ferdinand.
Sean mengangkat bahu. "Gue nggak tau, Joe, gue nggak berani ikut campur."
Joe mendengus kasar.
"Semua tergantung sama lu, tergantung sama serius atau nggak lu sama Sana," sambung Sean. Dia sudah berdamai dengan perasaannya. Dia memang menyukai Sana, tapi itu dulu. Sekarang perasaannya sudah biasa-biasa saja, tidak berdebar seperti saat pertama kali melihat Sana.
"Maksud lu?" Joe menatap Sean dengan alis mengernyit. Sungguh, dia masih belum paham dengan masalah seperti ini. Dia tidak pernah memikirkan seorang perempuan sampai seperti ini. Baginya, perempuan itu hanya sebatas partner s*x, tanpa melibatkan perasaan. Kalau para perempuan itu kemudian mengejar-ngejarnya, itu bukan salahnya. Itu salah mereka yang membawa hati.
Katakan saja dia jahat atau b***t, Joe tidak peduli. Dia akan menerima karena itu memang benar, meski dia tidak bersalah. Dari awal dia sudah mengatakan kepada perempuan-perempuan itu untuk tidak membawa hati. Dia tidak tertarik dengan hubungan serius seperti itu. Perempuan sangat cerewet dan hanya akan membuatnya pusing.
Berbeda ketika dia melihat Sana. Sikap Sana yang selalu ramah dalam melayani pembeli dan judes kepadanya membuatnya tertarik. Kebanyakan perempuan akan bersikap manja kalau didekati, Sana berbeda. Sana tetap pada sifat aslinya, tetap ramah dan judes. Sana juga merasa terganggu dengan puluhan pesan dan telepon darinya. Satu lagi, Sana tidak pernah membalas satu pun pesannya. Sangat unik bukan? Di saat perempuan-perempuan lain mengejarnya, Sana justru menghindar.
"Lu beneran suka sama dia?"
Pertanyaan Sean mengagetkannya. Joe menatap Sean cepat, sepasang alisnya berkerut. Bingung.
"Kalo lu emang beneran suka, ku terusin aja kejar-kejarannya. Kalo lu cuma pengen main-main doang, mending lu stop deh!" saran Sean. "Sebelum Sana ntar baper sama lu."
"Itu yang belum gue tau!" sahut Joe dengan wajah menekuk. Kedua tangannya terangkat, mengacak rambut hitamnya. "Gue masih bingung sama perasaan gue, Sean." Joe mendongak, punggungnya melekat pada sandaran sofa. "Gue nggak tau apa yang gue rasain ke Sana. Gue beneran suka atau cuman iseng?"
Sean menggeleng pelan. "Biar jadi pe-er tuh buat lu," ucapnya sambil berbaring di lantai berlapis karpet tebal di ruang tamu apartemen Joe. "Gue nggak bisa bantu jawab, ntar salah lagi. Lu kan udah tau arti cinta itu apa, jadi lu pikir aja apa yang ku rasain ke Sana."
"Emang apa artinya?"
Pertanyaan Joe membuat mata Sean yang tadi terpejam kembali terbuka. Sean membalas tatapan Joe dengan mata memicing. Joe mengganggunya yang ingin tidur. Sungguh dia sudah mengantuk, waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Sepulang dari tempat mereka biasa berkumpul tadi, dia dan Joe mendatangi apartemen Mira. Perempuan itu yang menghubungi Joe, meminta Joe untuk mendatanginya. Kata Mira, dia hanya berdua saja dengan Susan. Mendengar nama Susan disebut, dia langsung menawarkan diri untuk ikut.
Dia tidak akan membuang kesempatan. Susan sudah lama masuk dalam daftar incarannya. Perempuan itu jinak-jinak merpati, akan lari bila didekati. Namun tadi Susan tidak lari lagi, dia sudah terperangkap. Seperti dugaan Sean, apa yang ada di balik kain yang selama ini menutupi tubuh sexy Susan sangat menggiurkan. Miliknya puas bermain dengan gunung kembar perempuan itu.
"Astaga, Sean! Gue nanya sama lu itu karena gue perlu jawaban, bukan senyum lu yang nggak jelas gitu!" Joe melempar salah satu bantal sofa kuat ke arah Sean. Tepat mengenai wajah pemuda itu.
"s**t!" maki Sean kesal. "Apa-apaan sih lu, Joe? Kalo mau nanya itu baik-baik ya, bukan pake lempar bantal!" belalaknya. Tangan Sean meraih bantal yang terjatuh di atas kepalanya, duduk dan melemparkan bantal itu kembali pada Joe. "Nggak gue kasih tau, mampus lu!"
Joe yang sudah siap hanya perlu sedikit menyingkir, bantal sofa melayang ke arah belakangnya yang kosong dan mendarat mulus di lantai. Joe terkekeh, membuat kekesalan Sean bertambah menjadi dua kali lipat.
"Tadi aja lu senyum-senyum gaje, sekarang muka lu kayak kertas habis diinjak-injak. Lusuh!" sindir Jo pedas.
Sean langsung bungkam. Bukan karena tawa Joe yang semakin keras saja melainkan karena kata senyum yang diucapkan Joe. Benarkah dia tersenyum? Astaga, sangat memalukan! Semoga Joe tidak meledeknya lagi.
"Pasti lu ngebayangin Susan kan?" tebak Joe tepat sasaran.
"Daripada gue ngebayangin Sana, yang ada kepala gue benjol kena bogem lu!" sungut Sean.
"Bagus kalo lu tau." Joe tersenyum lebar.
Namun tetap menyebalkan bagi Sean. Senyum ataupun tawa dari Joe itu sama, selalu mengejek. Sean mendengus, kembali berbaring dan menutup mata. Dia ingin tidur, sebelum suara Joe kembali mengusiknya.
"Jangan tidur lu! Jawab pertanyaan gue dulu!"
Sean mengerang, dengan malas membuka mata lagi. "Pertanyaan yang mana?" tanyanya setengah membentak.
"Apa arti cinta."
Sean duduk dengan cepat, mulut terbuka dengan tidak elitnya. Tangan Sean terangkat mengorek telinga, memastikan pendengarannya tidak salah. Namun, sepertinya dia tidak salah dengar, indra pendengarannya juga baik-baik saja. Berarti benar kalau Joe bertanya arti cinta.
"Isshhh, kok lu gitu?" protes Joe melihat reaksi Sean seperti seseorang yang mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya. Padahal cinta merupakan kata pasaran dan sangat sering didengar. "Gue serius, Sean! Cinta itu apa artinya?"
Sean segera menutup mulutnya yang menganga. Sedetik kemudian kembali membukanya lagi, meski tak selebar tadi.
"Lu nanya ke gue apa itu cinta?" tanya Sean.
Joe mengangguk.
Sean menghela napas, bangun dan duduk di samping Joe. Dia sudah melupakan acara tidurnya, kantuknya sudah pergi entah ke mana. Sean menepuk bahu Joe.
"Umur lu berapa?" tanya Sean dengan alis berkerut. "Masa udah segede ini masih belum tau apa itu cinta?" ledeknya.
Joe memutar bola mata, dengan kasar menyingkirkan lengan Sean dari bahunya.
"Bilang aja lu juga nggak tau artinya!" cibir Joe kesal.
Sean tertawa. "Emang," jawabnya tanpa berdosa. "Yang bilang gue tau artinya siapa?" tanya Sean santai. "Kalo gue udah tau apa itu cinta, gue nggak bakalan terus kayak gini. Pasti gue udah nempel sama satu cewek aja."
Joe menoyor kepala Sean. "Sok banget sih tadi nyuruh-nyuruh gue buat mikir, sendirinya nggak tau juga!" sungut Joe kesal.
Sean hanya nyengir. Sebenarnya dia tahu apa itu cinta, sayang dan lain-lainnya. Hanya saja untuk menjelaskannya dia masih belum bisa.
"Sulit buat dijelasin, Joe." Sean meringis. "Ntar juga lu bakal paham kalo udah ngerasain."
"Emang lu udah ngerasain?" tanya Joe, ekspresinya berubah serius. Duduknya pun sekarang menghadap Sean. "Gimana rasanya? Enak nggak, Sean?"
Bola maya Sean melebar mendengar pertanyaan itu. Astaga, apa yang ada dalam pikiran Joe? Gemas, dipukulnya dahi Joe pelan.
"Apa-apaan sih lu? Nanya unfaedah banget!" kesal Sean.
"Apanya yang unfaedah sih? Gue serius!" Joe membela diri. "Gue beneran pengen tau gimana rasanya kalo orang jatuh cinta."
"Iya, tapi nggak gitu juga kali!" sungut Sean. Nada suaranya melembut. "Kayak nanya makanan aja, enak atau nggak."
Joe tertawa, dia baru sadar kalau sudah salah bertanya. Sean benar, cinta bukan makanan, cinta itu perasaan. Pertanyaan ajyaannya tadi seolah cinta itu makanan. Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, sudahkah dia merasakan hal itu? Joe mengembuskan napas melalui mulut, memutar duduk dan kembali menyandarkan punggung ke belakang. Kepalanya kembali mendongak dengan mata yang perlahan terpejam. Pikirannya mengembara, mencari jawaban tentang apa yang dirasakannya terhadap Sana.
"Kalo lu mau tau gue pernah ngerasakan atau nggak, jawabannya adalah iya!"
Punggung Joe kembali tegak mendengar jawaban Sean. Dengan cepat menoleh, menatap sahabatnya dengan tatapan tidak percaya.
"Lu serius?" tanya Joe.
Sean mengangguk. "Pas kita lagi SMA," jawabnya santai. "Lu ingat Meisya?"
Joe mengangguk cepat. Siapa yang tidak ingat dengan gadis keturunan Tionghoa itu. Meisya Hanasta adalah kakak kelas mereka. Gadis yang pendiam dan pintar, selain cantik tentunya. Banyak yang mengidolakan Mei, tapi Joe tidak menyangka kalau Sean adalah salah satunya. Kabar terakhir yang didengar Joe, Mei melanjutkan pendidikan keluar negeri.
"Dia cinta pertama gue." Sean menjatuhkan punggung pada sandaran sofa. Sama seperti Joe, kepalanya mendongak menatap langit-langit apartemen Joe yang didominasi warna gelap. "Cewek yang bikin gue tau arti cinta yang sesungguhnya. Mei ngajarin gue kalo cinta nggak perlu memiliki, harus rela melepaskan kalau orang yang kita cinta udah merasa nggak nyaman sama kita."
Joe mendengarkan dengan sungguh-sungguh. "Lu udah jadian?" tanyanya setelah suara Sean tidak terdengar selama beberapa detik.
"Menurut lu?" tanya Sean sambil berdiri.
Joe mengerutkan kening dengan pertanyaan itu. Dia tidak dapat menyimpulkannya, juga dengan senyum Sean yang tak terbaca.
"Gue ngantuk, mau tidur." Sean melangkah menuju tangga. Dia lebih suka kamar tamu Joe di lantai dua. "Jangan ganggu gue ya!"
Joe tidak menjawab. Hanya tatapannya saja yang mengiringi Sean sampai punggung sahabatnya itu tidak lagi terlihat. Joe sendiri membaringkan tubuhnya di sofa panjang yang didudukinya, tak berminat untuk pindah. Bukan apa-apa, Joe malas untuk menaiki tangga. Kalau bisa berbaring di sofa kenapa harus pindah ke kamar?
Joe memikirkan kata-kata Sean. Itukah arti cinta, rela melepas orang yang disukai hanya untuk kebahagiaannya? Joe memejamkan mata, tersenyum ketika bayangan Sana hadir menyapanya.
"Met tidur, Sana. Moga lu mimpi gue."
***
Pagi tiba terasa lebih cepat dari biasanya. Sana langsung menuju kamar mandi begitu matanya menangkap jam dinding telah menunjuk ke angka enam. Sana menggeleng pelan, dia terlambat bangun satu jam. Biasanya dia bangun pukul lima, bukan pukul enam seperti pagi ini. Sepertinya dia harus mempercepat waktu tidurnya nanti malam agar tidak terlambat bangun lagi.
Lima belas menit kemudian Sana sudah siap di atas motornya. Dia tidak sarapan di rumah hari ini, Hannah berjanji membawakan roti isi untuknya sebagai sarapan pagi ini. Sebelum menjalankan motor, Sana menyempatkan diri untuk memeriksa ponselnya lebih dulu. Tadi dia lupa memeriksanya saat bangun tidur. Biasanya, begitu membuka mata di pagi hari dia langsung memeriksa ponsel. Mungkin saja ada sesuatu yang penting saat dia tidur.
Namun, kali ini Sana mendengus kesal. Tidak ada pesan penting yang diterimanya, hanya beberapa pesan tak berguna dari Joe. Sana berdecak, memasukkan kembali ponsel ke dalam tas dan menyalakan motor matic-nya.
Sana mengerang kesal, dia terjebak di lampu merah. Motornya tidak bisa bergerak. Padahal ini masih pagi, tetapi Jakarta sudah macet saja. Salahnya tadi terlambat bangun. Biasanya jam seperti ini dia sudah tiba di toko buku tempatnya bekerja, bukan terjebak macet. Beberapa kali Sana memeriksa jam tangan di pergelangan kirinya, beberapa kali juga dia mengerang. Terhitung setiap memeriksa jam, setiap itu pula dia mengerang. Sudah lebih dari lima menit dia terjebak, motor Sana masih belum bisa bergerak. Ingin dia naik angkutan umum, tapi itu tidak mungkin. Dia tidak bisa meninggalkan motornya di sini. Bagaimana kalau ada yang mencurinya, laku dia harus naik apa? Motor ini satu-satunya kendaraan yang dimilikinya.
Namun, dia hampir terlambat. Ingin menghubungi Hannah juga tidak mungkin, sangat beresiko mengeluarkan ponsel di jalan raya seperti ini. Copet bisa saja merampas ponselnya. Yang sama seperti motor, ponsel ini juga satu-satunya yang dimiliki. Sana menggigit bibir, berdoa di dalam hati semoga diatidak terlambat. Atau, seandainya dia memang terlambat, manajernya tidak marah. Atau lebih baik lagi manajernya tiba lebih terlambat daripada dirinya.
Beberapa detik setelah selesai berdoa, lalu lintas mulai dapat bergerak. Sana mengembuskan napas lega, senyum terukir indah di bibir yang dipulas warna merah muda senada dengan warna bibirnya. Sana lamgsung melajukan motor menuju tempat kerjanya.
Keberuntungan sepertinya mengiringi Sana. Tiba di toko, Hannah langsung menyambutnya dan mengatakan kalau manajer mereka belum tiba.
"Beneran?" tanya Sana tak percaya. Namun, bibirnya mengulas senyum.
Hannah mengangguk cepat. "Iya dong!" jawab Hannah ceria. "Lo beruntung hari ini, Sa."
Sana mengerang mendengar kata beruntung yang diucapkan sahabatnya, karena dia tidak merasa begitu. Terlambat bangun dan terjebak macet selama hampir setengah jam bukanlah sesuatu yang dapat dikatakan beruntung. Ditambah lagi dia kelaparan. Bagian mana dari rutinitas paginya yang bisa dikatakan beruntung? Kalau masalah manajer mereka yang datang terlambat, itu hanyalah sebagai penghibur saja.
"Beruntung dari mana?" sungut Sana sambil bergegas merapikan meja kasir yang dijaganya. "Aku kelaparan, Han. Telat masuk lagi."
Hannah mengikik geli. "Kan pak manajer belum dateng," sahut Hannah sambil membantu Sana merapikan mejanya. Senyum masih menggelayut mnja di bibirnya.
Sana memutar bola mata bosan melihat senyum itu. Bukan pemandangan yang ingin dilihatnya pagi ini. Senyum Hannah bukanlah pertanda yang baik. Biasanya Hannah tersenyum seperti itu saat melihat Joe, tapi sekarang masih terlalu pagi bagi Joe untuk ke sini. Sana bersyukur untuk itu, Joe tidak pernah menjadi pengunjung pertama toko.
Kesenangan yang hanya sementara, karena begitu Sana berbalik saat merasakan tepukan di puncak kepalanya, dia mendapati Joe tersenyum manis menatapnya. Terdapat sebuah kotak makan siang di tangan pemuda itu. Jangan bilang kalau Joe yang membawakannya sarapan. Sana mendesah di dalam hati. Sepertinya dia akan melalui harinya dengan buruk hari ini.