Bab 4

2032 Words
Sana membereskan barang-barangnya. Dia akan pulang sebentar lagi, jam kerjanya sudah berakhir untuk hari ini. Sana bersyukur dalam hati, dia sangat lelah hari ini, tubuhnya perlu diistirahatkan. Selain bersyukur karena sebentar lagi dia sudah akan berbaring di tempat tidur favoritnya, Sana juga senang karena seharian ini Joe tidak mengganggunya. Tidak ada pesan-pesan pemuda itu yang selalu membuat hati dan pipinya panas. Tidak ada bunga dadakan seperti waktu itu. Buket bunga mawar putih beberapa hari yang lalu ternyata dari Joe. Sana tahu dua hari setelah dia mendapatkan bunga itu, Hannah yang memberitahu. Kata Hannah, Joe keceplosan saat mereka sedang bertukar pesan membahas Sana. Joe memang selalu mencari informasi tentang Sana dari Hannah. Sangat brilian, bukan? Dekati ibu atau ayah orang yang kau sukai tidak berlaku bagi Joe, dekati sahabatnya yang diterapkan pemuda itu. Lagipula Sana sudah tidak memiliki orang tua lagi, kedua orang tuanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sosok Joe juga tidak terlihat hari ini, dan itu cukup bisa membuat Sana menarik napas lega. Selain pengunjung toko yang tidak seramai hari-hari libur. Entahlah bagaimana dengan besok. Besok adalah akhir pekan, dan pengunjung selalu memadati toko seperti pada akhir pekan biasanya. "Udah, Sa?" tanya Hannah. Mereka berencana untuk pulang bersama. Hari ini dia tidak dijemput kekasih berondongnya. Tadi malam bocah itu sudah mengatakan tidak bisa mengantar dan menjemput, ada acara di sekolahnya yang tidak bisa ditinggalkan. Makanya hari ini dia membawa motor sendiri. Karena arah rumahnya sama dengan arah rumah Sana, Hannah mengajak Sana untuk pulang bersama menggunakan motor masing-masing. Sana juga membawa motor. Sana menoleh kemudian mengangguk. Dia sudah selesai merapikan semua barang miliknya. Sekarang barang-barang itu sudah menjadi penghuni tas ransel miliknya. "Udah," jawab Sana tersenyum manis. "Yuk!" ajaknya. "Nggak sabar pengen baring." Hannah tertawa mendengarnya. Sebenarnya dia juga seperti Sana, sangat lelah. Apalagi besok. Kadang Hannah berharap dia selalu mendapatkan shift malam, agar waktu istirahatnya lebih panjang. Kedua perempuan itu terus mengobrol sepanjang perjalanan mereka menuju tempat parkir yang berada di lantai dasar pusat perbelanjaan ini. Mereka sengaja turun menggunakan eskalator, menurut mereka lebih leluasa daripada menggunakan lift yang sempit. "Kok Joe nggak keliatan hari ini ya, Sa?" tanya Hannah dengan alis sedikit berkerut. Bingung dengan ketidakhadiran pemuda itu. Biasanya Joe tidak pernah absen mengunjungi Sana di tempat kerja. "Apa jangan-jangan dia sakit ya?" Sana memutar bola mata. "Nggak tau," jawabnya sambil mengedikkan bahu. "Nggak peduli juga. Kan ada emaknya yang ngurusin kalo dia sakit." "Dih kok gitu? Ntar kangen lho kalo Joe nggak muncul-muncul lagi." Hannah menyenggol lengan Sana pelan menggoda sahabatnya yang cemberut. "Nggak tuh!" sahut Sana ketus. Dia paling tidak suka dengan kehadiran Joe. Pemuda itu mengganggunya saja. "Kamu aja kali yang kangen." Tawa Hannah kembali pecah. Sana sangat anti dengan kehadiran Joe, padahal menurutnya Joe tidak terlalu mengganggu. Pemuda itu hanya suka memperhatikan dari jauh saja. Meskipun terkadang Joe menjengkelkan, mengajak bicara saat Sana sedang sibuk melayani pembeli yang ingin membayar. Namun kehadiran pemuda itu cukup memberikan hiburan. "Sana!" Seruan itu membuat Sana dan Hannah menoleh. Mereka sekarang sudah berada di tempat parkir yang lumayan sepi, suara sekecil apa pun akan terdengar. Apalagi seruan keras itu. Hannah mengurungkan niat untuk menaiki motor, Joe berlari kecil menghampiri mereka. Sana dan Hannah memang memarkirkan motor mereka bersebelahan, sejak dulu. Asalkan Hannah tidak diantar oleh Revan, kekasih berondongnya. "Hai, Joe. Seharian nggak muncul, dari mana aja?" tanya Hannah sumringah, dia sangat menyukai Joe. Bukan menyukai dalam artian perempuan kepada laki-laki, tetapi lebih kepada hubungan persaudaraan. Hannah yakin kalau Joe benar-benar menyukai Sana, hanya Sana saja yang tidak menyadarinya. Entah kenapa, Hannah merasa kalau Sana dan Joe itu berjodoh. "Panjang umur, Joe. Tadi kita ngomongin kamu." "Eh, beneran?" Joe menatap kedua perempuan cantik di depannya bergantian. Bola mata cokelatnya berbinar, apalagi saat menatap Sana. "Mbak Sana beneran ngomongin gue?" tanyanya. Sana memutar bola mata kesal. Hannah selalu saja seperti itu, selalu betbicara yang tidak-tidak. Mana ada dia membicarakan Joe, dia malah lega seharian pemuda itu tidak tampak. Lega yang hanya sesaat, karena sekarang dia sudah merasa sesak lagi melihat Joe berdiri beberapa meter darinya. "Nggak ada!" jawab Sana ketus. "Hannah tuh yang ngomongin kamu." Sana menunjuk Hannah yang mengikik dengan memonyongkan mulut. "Bohong dia, Joe. Tadi aja serius banget ngomongnya, nanya-nanya mulu." Sana mendelik. "Heh, jangan fitnah ya!" Hannah semakin tertawa melihat Sana yang membelalak. Sangat lucu menurutnya. Joe tersenyum. "Gue sibuk di kampus, Mbak. Ada ujian." Joe memberitahu. Hannah mengangguk paham. Dia memang tidak kuliah, tapi yang namanya ujian tetap saja terdengar mengerikan baginya. "Terus gimana ujiannya? Lulus nggak?" tanya Hannah. Dia sangat penasaran. Joe sepertinya anak orang kaya, terlihat dari tampilan dan kendaraannya. Kebanyakan anak orang kaya itu tidak terlalu pintar, mereka hanya mengandalkan kekayaan orang tuanya saja. Ada uang semua bisa diatur. "Ya, belum tau lagi lah, Mbak. Belum diumumin," jawab Joe. Sementara Sana hanya diam, tidak berminat untuk ikut dalam obrolan kedua orang di depannya. Yang diinginkannya saat ini adalah pulang dan berbaring setelah membersihkan diri. Sana sudah siap dengan helm menutupi kepalanya, dia juga sudah duduk di atas sadel motor. Tinggal memutar kunci kontak, maka dia bisa berlalu dari tempat parkir yang menyesakkan ini. Sayangnya Hannah sepertinya belum tertarik untuk pulang, Hannah masih terus mengobrol bersama Joe. "Kok gue penasaran ya, Joe, Sam nilai ujian lo." Hannah mengetuk-ngetuk dagu. "Ntar tunjukin ke gue ya kalo udah diumumin," pintanya. "Ogah!" jawab Joe cepat. "Malu gue!" Hannah kembali tertawa. Dia yakin Joe hanya bercanda saja. Otak Joe sepertinya cerdas, dia sering melihatnya serius membaca sebelum membeli buku. Buku yang dibeli Joe juga bukan buku sembarangan, buku tentang hukum dan t***k-bengeknya. Kelihatannya Joe anak hukum. "Malu kenapa?" Hannah bertanya lagi. "Nilai gue mungkin nggak memuaskan, Mbak," jawab Joe lemah. "Gue lupa belajar tadi malam." "Pasti lo sibuk mikirin Sana kan sampe lupa belajar?" tebak Hannah menggoda. Tidak hanya menggoda Joe, tetapi juga menggoda Sana. Dia yakin Sana masih dapat mendengar obrolan mereka walaupun telinganya tertutup helm. "Jangan bohong deh lo!" "Kok lu tau, Mbak?" Joe menatap Hannah takjub. "Lu peramal ya?" Joe terkekeh saat menanyakan itu. "Jadi gue bener dong." Hannah tertawa lagi. "Sa, tanggung jawab nih!" serunya menatap Sana. "Jangan bawa-bawa aku ya!" Sana memperingati. Matanya mendelik tajam. "Nilai dia tinggi atau rendah nggak ada hubungannya sama aku!" "Tapi kan gue mikirin lu, Mbak, sampe nggak bisa belajar." Joe memelas. Wajah imutnya terlihat menggemaskan. "Jangan macam-macam deh!" sentak Sana kesal. Lebih kesal lagi melihat Hannah menyalakan motor dan menjalankannya. "Mau ke mana, Han?" tanya Sana cepat. Dia takut ditinggalkan berdua saja bersama Joe di sini. "Gue cabut duluan, Sa. Revan udah di rumah!" jawab Hannah berseru. "Bye, Joe. Temenin Sana dulu ya?" pintanya menjalankan motor. Sana berniat mengejar Hannah, sebelum dihentikan Joe. Pemuda itu berdiri tepat di depan motor Sana yang menyala. "Minggir, Joe!" pinta Sana. "Aku mau pulang." "Tunggu bentar, Mbak!" Joe menahan motor Sana dengan kedua tangannya. "Kita baru ketemu, gue masih kangen sama lu!" Blush! Pipi Sana terasa memanas mendengar nya. Cepat-cepat dia memalingkan muka, menyembunyikan wajahnya yang dia yakin memerah. Sangat berbahaya kalau Joe sampai melihatnya, tentu dia akan semakin besar kepala dan terus mengganggunya. Namun, Sana terlambat. Joe sudah lebih dulu melihat rona merah itu. Joe tersenyum, mendekati Sana yang duduk di atas motor dengan sikap siap sedia menjalankan motor. "Pipinya merah tuh!" Joe berdiri tepat di sisi sana, menunjuk pipi perempuan itu tanpa menyentuh. "Makin cantik deh!" Sana mendongak, menatap Joe yang berdiri menjulang tinggi di sampingnya. Hannah benar, dia jauh lebih pendek dari Joe, mungkin hanya sebatas dadanya saja. Sana meringis, segera membuang muka begitu mata mereka bertemu. Lagi, pipinya terasa memanas mendengar kata-kata Joe. "Besok gue jemput ya?" pinta Joe. Suaranya terdengar lebih lembut. Joe menumpukan kedua tangan pada motor Sana. "Pulang juga gue antar. Mau ya ... Sana?" Sana menarik napasnya yang tiba-tiba saja terasa berat. Rasanya ada yang menggelitik telinga mendengar Joe memanggil namanya. Seolah ada kupu-kupu beterbangan di perutnya. Sesaat Sana gemetar, kemudian dengan cepat dia berusaha mengendalikan tubuhnya. Sana berdehem. "Makasih, Joe," jawab Sana serak tanpa menatap pemuda itu. "Aku pergi sendiri aja." Sana mendongak, memberikan senyum tipis kepada Joe yang menatapnya dengan tatapan ... kecewa? Segera Sana membuang muka, dia tidak ingin salah mengartikan. Joe mengembuskan napas melalui mulut pelan. Selalu ada sesuatu yang terasa menghimpit dan menindih dadanya setiap kali melihat Sana membuang muka. Beginilah rasanya perasaan tak berbalas? Menyakitkan! Dia memang belum tahu apa yang sebenarnya dirasakan terhadap Sana. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan apakah dia jatuh cinta atau bukan. Yang pasti dia menyukai Sana. Menyukai semua yang dilakukan Sana, termasuk penolakannya. Asalkan Sana tidak memintanya menjauh, dia tidak apa-apa. Katakan saja dia pengecut, dia tidak akan menyangkal. Itu semua memang benar. Ditolak tidak apa-apa asal bisa tetap melihat dan dekat, tidak masalah baginya. "Aku pulang dulu, Joe!" pamit Sana. "Permisi." Joe tidak menyahut. Hanya tatapannya saja yang mengiringi kepergian Sana sampai punggung perempuan itu tidak terlihat lagi. Kembali Joe mengembuskan napas, kali ini lebih kuat dari tadi. Dia perlu mengeluarkan semua yang tadi menindih dadanya atau dia akan menghajar seseorang sebagai pereda. Joe meremas rambut kasar, berteriak dan berlari kecil ke arah dia memarkirkan motor miliknya tadi. Joe membunyikan motornya kencang, meraung meninggalkan tempat parkir yang masih saja sepi. *** Sana mengembuskan napas lega. Dia sudah sampai di rumah setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam. Sana langsung memasukkan motor ke dalam garasi kecil di samping rumah, segera masuk ke rumah melalui pintu garasi yang terhubung dengan dapur. Sana langsung saja menuju kamar. Rumahnya hanya memiliki satu lantai, tidak bertingkat. Rumahnya juga tidak besar, hanya sebuah rumah mungil, tapi membuat Sana sangat bangga dengan rumahnya. Rumah ini adalah rumah peninggalan kedua orang tuanya. Mereka memang bukan orang kaya, memiliki rumah mungil seperti ini saja sudah merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi mereka. Sana membaringkan tubuhnya di tempat tidur tanpa berganti pakaian. Dia sangat lelah, bukan hanya lelah tubuh, tetapi juga lelah pikiran. Seharian dia sudah senang dan lega karena Joe tidak tampak, tapi pemuda itu kembali mengganggunya sore ini. Sana memencet pangkal hidung. Hidupnya yang damai selalu berubah kacau setiap Joe datang. Rasanya sangat tidak menyenangkan. Siapa pun pasti tidak akan senang saat sibuk bekerja diajak berbicara, atau selalu mendapat puluhan pesan setiap jamnya. Sana menggelengkan kepala pelan mengusir kantuk yang menyerang. Bangkit dan menuju kamar mandi, dia akan membersihkan tubuh dulu sebelum tidur sejenak. Untuk makan malam, mungkin nanti dia akan memasak mie instan atau membuat omelet. Simpel dan tidak memakan waktu lama untuk membuatnya. Sana menanggalkan semua kain yang melekat di tubuhnya. Melangkah ke bawah shower yang mengalirkan air hangat. Matanya terpejam menikmati guyuran air itu di tubuh telanjangnya. *** "Joe, muka lu bisa nggak biasa-biasa aja? Nggak perlu sok nyeremin gitu. Muka lu itu biar gimana juga tetap aja imut!" Sean tertawa, mengiakan perkataan Romi. Kepalannya terulur menunggu tos dari sahabatnya itu. Sean penasaran, gemas pada Joe yang sejak tiba tadi selalu menekuk. Biasanya Joe selalu ribut dengan kata-kata pedasnya, tetapi sore ini Joe diam saja. Wajah tampannya terlihat mengeras dan sedikit menyeramkan di saat bersamaan. Sepertinya ada yang telah membuat Joe kesal. Joe tidak menyahut, merubah posisi pun tidak. Joe tetap duduk di atas motornya dengan tatapan lurus ke depan. Sean yang melihatnya mengembuskan napas. Di antara mereka berempat, dia yang paling dekat dengan Joe. Mereka sudah sejak lama bersahabat, sampai-sampai dikira kembar karena ke mana-mana selalu berdua. Sean juga tahu tentang keluarga Joe, begitu pun tentang hubungan Joe yang tidak harmonis dengan kakaknya. Sean menghampiri Joe, duduk di sadel belakang motor Joe. "Ada masalah apa, bruh?" tanyanya lirih. Tak ingin didengar oleh kedua sahabatnya yang lain. Joe menggeleng. "Nggak ada apa-apa, gue cuman lagi merenung aja," jawab Joe tak kalah lirih. "Lu berantem lagi sama bang Tristan ya?" Sean mencoba untuk menebak. Joe menggeleng lagi. "Nggak ada hubungannya sama dia. Gue udah nggak ketemu dia seminggu lebih, malas pulang ke rumah." Sean menepuk bahu Joe pelan. Miris, pikirnya. Joe dan Tristan adalah kakak beradik kandung, tetapi hubungan mereka jauh lebih buruk dari saudara tiri sekalipun. Namun, Sean tidak bisa ikut campur dalam hubungan persaudaraan itu, tidak boleh. Yang bisa dilakukannya hanyalah memberikan dukungan dan semangat kepada Joe. "Masalah gue sama Sana." Sean mengerjap sekali. Masalah dengan Sana? Bolehkah dia ikut campur kali ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD