Sana menghela napas untuk yang kesekian kali. Hari ini adalah hari paling menyebalkan di sepanjang dua puluh tahun hidupnya. Kesialan seolah tak henti menghampirinya. Mulai dari tadi pagi dia terlambat bangun sampai akhirnya kena macet dan terlambat masuk kerja. Di tempat kerja masih ditambah dengan seorang pengganggu yang sampai sekarang masih betah menungguinya. Mungkin karena tadi pagi dia menerima roti lapis yang disodorkan oleh pengganggu itu. Padahal sungguh dia terpaksa, kalau tidak karena lapar dia tidak akan menerimanya. Salahkan Hannah yang berjanji membawakannya sarapan tapi lupa, dan malah meminta Joe membelikan roti lapis sebagai pengganti. Sialan mang Hannah, seandainya Hannah bukan sahabatnya sudah dicakarnya muka sok cantik itu.
"Udah cemberutnya dong, Sa," tegur Hannah. "Ntar pembeli pada Kabir lho liat tampang lo yang nggak ada manis-manisnya gitu."
Dengan usil Hannah melesakkan telunjuknya ke pipi Sana kemudian mencubitnya dengan sedikit keras. Namun, sebelum cubitan itu berhasil, Sana sudah lebih dulu menjauhkan tangan Hannah dari pipinya disertai belalakkan mata kesal.
"Aku cantik ya, pembeli nggak akan ke mana-mana tuh walo aku cemberut juga!" ketus Sana.
Hannah tertawa kecil sambil menutupi mulutnya menggunakan tangan kanan. Sekali lagi dicobanya untuk mencubit pipi Sana, dan kali ini dia berhasil. Namun, Sana kembali menepis tangannya dengan kasar segera.
"Sakit!" belalak Sana. "Balik ke meja kamu deh, Han! Jangan gangguin aku mulu!" usir Sana. Kedua tangannya mendoring bahu Hannah menjauh. "Nggak liat tuh ada yang mau bayar?"
Hannah meringis. Gara-gara keasyikan menggoda Sana, dia menelantarkan mejanya. Dua orang pembeli yang ingin membayar terlihat mengantre di depan mejanya. Dengan sangat amat terpaksa Hannah meninggalkan meja kasir Sana dan kembali ke mejanya sendiri. Namun sebelumnya, sekali lagi Hannah mencubit pipi putih Sana, membuat pipi mulus itu merona merah samar akibat cubitannya.
Joe yang sejak tadi mengawasi berdecak. Kesal dan iri pada Hannah memenuhi hatinya. Dia kesal karena Hannah terus mencubit pipi Sana, sampai-sampai pipi itu memerah. Seandainya saja dia yang bisa dekat dan mencubit pipi Sana. Joe menggeleng pelan, kakinya melangkah menghampiri Sana yang masih saja cemberut sedari tadi. Tangan perempuan itu mengusap pipinya yang Joe yakin terasa memanas. Bolehkah dia yang mengusap pipi itu? Seandainya saja bisa.
Joe mengembuskan napas panjang melalui mulut. Meletakkan sebuah buku yang sejak tadi berada di tangannya ke atas meja Sana. Saatnya dia membayar dan meninggalkan toko buku ini. Sudah terlalu lama dia berada di sini, sudah hampir setengah hari. Terhitung sejak tadi pagi. Setelah Hannah menelepon memintanya membelikan roti lapis untuk Sana. Hannah sangat tahu kelemahannya. Mendengar nama Sana disebut dia bersedia melakukan apa saja. Mandi kilat dan mengendarai motor super cepat agar bisa sampai tepat waktu sebelum Sana tiba. Sayangnya, dia terjebak macet. Alhasil, Joe tiba di toko beberapa saat setelah Sana, dan membuat perempuan yang berusia satu tahun di atasnya itu cemberut sampai sekarang.
Sana mengernyit melihat buku itu. Meski tanpa melihat dia tahu kalau yang meletakkan buku adalah Joe. Dari gelang yang melingkari kedua pergelangan tangan juga dari aroma parfumnya. Aroma parfum itu akrab dengannya beberapa minggu terakhir, dan jujur saja dia menyukainya. Aroma parfum Joe lembut dan sangat manly. Aroma hutan Pinus dan Citrus bercampur dengan aroma sejenis kayu manis, aroma yang sangat disukai selalu membuatnya nyaman. Sana menggeleng pelan, mengerjap ketika Joe menjentikkan jari di depan wajahnya yang tertunduk, mendongak dan menatap pemuda itu cepat.
"Melamun!" Joe manyun. "Ngelamunin siapa sih, Mbak?" tanya Joe ingin tahu. Sungguh dia penasaran. Khawatir dengan seseorang yang menjadi sumber lamunan Sana. Dia tidak ingin memiliki saingan.
Sana memicing menatap Joe. Hanya sedetik sana langsung membuang muka menghindari mata jeli yang menatapnya dengan tatapan menyelidik, mengambil buku Joe dan memindainya di mesin kasir. Tidak mungkin dia mengatakan pada pemuda di depannya ini siapa yang dipikirkannya. Sungguh dia tidak ingin Joe semakin besar kepala.
Sana menyebutkan harga buku tebal yang dibeli Joe tanpa menatap pemuda itu. Tangannya sibuk memasukkan buku ke dalam kantong plastik dan mengepak buku, memberikan buku dan mengambil kartu berwarna hitam yang disodorkan Joe. Sana menarik kartu cepat. Tangannya dan tangan Joe bersentuhan tanpa sengaja saat dia ingin mengambil kartu, dan itu menimbulkan sengatan listrik tak kasat mata di jarinya, yang mengalir ke seluruh tubuh. Sana merinding, seolah seluruh bulu di tubuhnya berdiri semua. Cepat-cepat Sana menyelesaikan transaksi p********n Joe dan mengembalikan kartu dengan meletakkannya tepat di depan pemuda itu berdiri, menghindari jari mereka bersentuhan lagi.
Bukan hanya Sana yang merasakan sengatan listrik di sekujur tubuhnya, Joe pun merasakan hal yang sama. Padahal sudah sering dia bersentuhan dengan perempuan, bahkan tidak sekedar bersentuhan, lebih dari itu. Namun, tidak pernah dia merasakan hal semacam ini. Joe mengernyit, mengambil kartu dan segera meninggalkan meja Sana tanpa mengatakan apa pun.
"Kenapa dia?" tanya Hannah.
Sana tak menjawab, menoleh pun tidak. Pertanyaan yang sama dengan yang Hannah tanyakan padanya juga bersarang di kepalanya. Ada apa dengan Joe? Sana menggeleng, mengusir pikiran aneh itu. Untuk apa dia memikirkan Joe. Seharusnya dia senang dan lega pemuda itu sudah pergi setelah hampir setengah harian ini mengganggunya. Meskipun Joe meninggalkan sesuatu yang membuatnya merinding, sengatan listrik saat jari mereka bersentuhan masih dirasakannya sampai sekarang.
"Hoi, kok bengong?" Hannah mengibaskan tangan di depan muka Sana. "Kesambet Joe, ya?" tanyanya usil.
Sana menatap Hannah dengan mata memicing. Hanya sedetik, di detik berikutnya Sana sudah membuang muka. Suara sekumpulan anak yang berebut buku komik menarik perhatiannya. Sana tersenyum, anak-anak itu tidak saling berebut. Mereka menyebutkan idola mereka dari komik yang sedang dipegang oleh salah satu anak. Sana menghela napas. Lebih baik memperhatikan anak-anak itu daripada melihat senyum usil dan genit Hannah.
"Dih, Sana! Gue di sini ya, bukan di rak buku!" sungut Hannah memonyongkan sedikit bibirnya.
Sana memutar bola mata, tetap tidak memedulikan Hannah dengan rengekannya yang super alay.
"Astaga, gue dicuekin!"
Benar kan kalau Hannah itu alay? Selain itu, Hannah juga seorang ratu drama, dia sangat pandai berpura-pura. Lihat saja, sebentar lagi Hannah pasti akan berakting sebagai seseorang yang tersakiti dan teraniaya.
"Sana! Gue sahabat lo! Masa lo mau gantiin gue sama rak buku?"
Sekali lagi Sana memutar bola mata, kali ini dengan kesal. Sana mendengus, dia benar lagi. Bahkan kali ini Hannah melengkapi aktingnya dengan wajah yang memelas. Astaga! Dia bisa stress kalau Hannah tetap berada di mejanya. Lagipula, anak-anak yang tadi sedang memilih-milih komik berjalan ke arah mejanya, sepertinya mereka akan membayar.
"Han, bisa balik ke meja kamu nggak?" pinta Sana sopan. Bagaimanapun menyebalkannya, Hannah tetaplah sahabatnya. Satu-satunya orang yang mau menemaninya ketika seluruh teman sekelas mereka memusuhi karena dia yang bukan orang kaya. Hannah juga tetap berada di sisinya saat dia dikeluarkan dari sekolah karena menunggak bayar uang sekolah. Hannah yang sering mengunjungi dan menemaninya di rumah. "Aku mau melayani pembeli dulu."
Hannah berdecak. Mata cokelat gelapnya memicing menatap Sana.
"Oke, tapi nanti lo harus cerita sama gue kenapa sama Joe tadi!"
Sana mengerang, tapi hanya dilakukannya di dalam hati. Di luar, Sana mengangguk sambil memasang senyum manis.
"Janji ya? Awas kalo lo bohong!" bisik Hannah mengancam sebelum benar-benar meninggalkan meja kasir Sana.
Sana mengembuskan napas kuat, mengangguk sekali lagi. Kemudian tersenyum manis tanpa terpaksa kepada beberapa orang anak yang berdiri di depan meja kasir yang dijaganya.
***
Joe mengurungkan niat untuk kembali ke apartemen. Dia lebih memilih untuk pergi ke kampus menemui sahabat-sahabatnya meski tidak memiliki jadwal kuliah hari ini. Bukannya bolos, tapi memang hari ini dan dua hari seterusnya dia libur. Tidak ada mata kuliah sama sekali. Sebenarnya Sean juga sama libur seperti dirinya, tapi Sean tadi pagi sudah mengatakan kalau akan ke kampus siangan. Karena itu Joe membelokkan motor menuju kampus.
Sepuluh menit kemudian, motornya sudah tiba di pelataran parkir kampus. Setelah memarkirkan motor di tempat biasa, Joe langsung berlari kecil menuju tempat biasa mereka berkumpul dengan ponsel menempel di telinga sebelah kanannya. Tempat itu sudah penuh saat dia tiba. Joe segera mencari tempat duduk ketiga sahabatnya. Tak memedulikan sapaan perempuan-perempuan yang ditemuinya di sepanjang jalan menuju tempat duduk yang biasa didudukinya, Joe langsung duduk begitu tiba, mengambil salah satu minuman yang berada di meja dan meminumnya sampai habis. Romi sebagai pemilik minuman hanya bisa mengerjap melihat gelas minumannya yang telah kosong.
"Joe, itu punya gue!" ucap Romi setelah sadar. Telunjuknya mengarah pada gelas kosong yang diletakkan Joe di tempatnya semula.
"Makasih minumannya, Rom. Gue haus banget!" ucap Joe tanpa peduli ekspresi Romi sudah seperti seorang bocah yang es krimnya di rampas.
"Gue baru pesan, Joe! Belum juga gue minum! Laknat emang lu jadi teman!" Romi mendengus kesal.
"Pesan lagi aja," sahut Joe santai. Tak peduli tatapan membunuh yang dilayangkan Romi untuknya. "Lu bukan orang miskin kan? Sekali-kali traktir gue, napa?"
"Astaga, ni bocah!" Romi menggeram gemas. Menarik napas dari hidung dan mengeluarkannya pelan melalui mulut. Terus seperti itu beberapa kali, sampai kekesalannya berkurang.
Joe memang sudah sering bersikap seperti itu, sebenarnya dia maklum. Bukan hanya Joe, tapi juga kedua sahabat mereka yang lain. Hanya saja tadi dia terkejut, Joe baru datang langsung main minum saja.
"Pesan lagi aja, Rom. Pesanin gue juga ya?" pinta Sean dengan tidak tahu malunya. Sean menaik-turunkan alis menggoda.
Romi menatap pemuda itu dengan mata memicing, tapi toh dia memanggil pelayan juga. Memesan minuman dan makanan untuk mereka. Kantin memang selalu ramai di saat jam menjelang makan siang seperti sekarang. Kebanyakan mahasiswa, terutama yang berduit, akan berada di kantin selama jam itu. Termasuk dirinya dan ketiga sahabatnya, mereka menggunakan kantin sebagai tempat berkumpul.
"Joe, Linda tadi nanyain lu," ucap Sean memberitahu. "Kangen katanya."
"Gue nggak!" sahut Joe asal. "Ogah gue ketemu dia, gue bukan gigolo tu cewek!" Joe mengedikkan bahu. "Dia kira gue cowok apaan?"
Ferdinand menyodorkan kepalannya pada Joe, mengajaknya bertos ria. Joe tentu tidak keberatan. Dia dan Ferdinand itu sama, tidak menyukai perempuan seperti Linda yang bertingkah seperti seorang ratu. Linda adalah tipe perempuan yang berpikir semua bisa dia dapatkan dengan uang. Beberapa kali perempuan itu menawarkan diri padanya, bahkan Linda mengiming-iminginya dengan sejumlah uang. Itu yang membuat Joe jijik, dia bukan gigolo yang menerima bayaran setelah melayani nafsu perempuan. Dia hanya ingin bersenang-senang tanpa suatu ikatan apa pun.
Sean dan Romi tertawa. Mereka berdua tahu bagaimana Linda mengejar-ngejar Joe.
"Jabanin sekali aja, Joe!" usul Sean bercanda. "Kayaknya dia penasaran banget sama lu." Tawa Sean kembali pecah setelah berkata seperti itu.
Joe berdecak, tubuhnya menggeliat jijik. "Gue nggak suka cewek begituan. Males! Mending Sana." Joe tersenyum menyebutkan nama itu.
Sean memutar bola mata, mengangkat sebelah alis setelahnya. Dia yakin kalau Joe sudah jatuh cinta kepada perempuan itu. Hanya saja Joe masih belum tahu dan paham dengan perasaannya.
"Lu bandingin Linda yang super agresif sama cewek kalem macam Sana?" Sean menggeleng pelan beberapa kali. "Kurang kerjaan banget!" gemasnya melempari beberapa tusuk gigi ke arah Joe.
"Lu tau dari mana dia kalem, Sean?" tanya Romi penasaran. "Pernah ngomong ya?"
"Pernah sekali, pas baru pertama ketemu gue mau ngusulin dia." Sean tertawa kecil mengingat pertemuan pertamanya dengan Sana. Dia yang ingin mengusili perempuan itu batal karena kehadiran Joe. "Lagian ketahuan kok dari sikap sama raut wajahnya. Kalo nggak, Joe pasti udah jadian sama dia sekarang." Tawa Sean semakin keras, tidak memedulikan wajah Joe yang memerah.
"Puas-puasin deh lu ngeledek gue." Joe menatap ketiga sahabatnya dengan mata memicing. "Gue tetap nggak nyerah buat dapetin dia!"
"Semangat empat lima, Joe!" Ferdinand mengepalkan tangan, mengangkatnya setinggi telinga. Memberi semangat pada Joe.
"Lu kena karma kaki ya, Joe," celetuk Romi. "Kan selama ini banyak cewek-cewek yang ngejar lu, bahkan mereka rela ngasih keperawanan mereka buat lu. Lah lu malah suka sama cewek yang nggak peduli sama lu."
Jo melempari Romi dengan kentang goreng yang diambilnya dari piring pemuda itu sendiri. "Lu kira cewek-cewek yang ngejar gue semuanya perawan?" belalaknya kesal. "Lagian gue ogah merawanin anak gadis orang, ntar diminta tanggung jawab lagi gue." Joe bergidik ngeri membayangkan dia harus menikah diisinya yang belum mencapai dua puluh tahun. "Abang gue aja belum nikah, masa gue harus nikah duluan. Nggak banget!"
"Nah itu!" Sean menjentikkan jari. "Kalo ada yang minta dinikahin, lu kasih aja sama bang Tristan." Sean kembali tertawa.
Joe kembali bergidik. "Ogah gue ngomong sama tembok es," sahutnya datar.
"Es batu gitu banyak yang suka lho sama abang lu, Joe," komentar Romi.
Joe hanya mengangkat bahu. Dia sudah tahu hal itu, sikap dingin dan cuek Tristan membuat kakaknya itu menjadi idola. Banyak wanita yang bertekuk lutut dan bersedia membuka s**********n mereka untuk Tristan. Joe berdecak kesal memikirkan itu. Ternyata dia dan Tristan tidak jauh berbeda.
"Nanti ke apartemen gue ya, Sean. Gue perlu teman buat ngomong."
Sean mengangguk. Sepertinya ada sesuatu yang penting sampai-sampai Joe langsung mengatakannya di depan sahabat-sahabat mereka. Biasanya tidak pernah, Joe akan meminta bila mereka hanya tinggal berdua atau mengiriminya pesan.
Beruntung, sepertinya Romi dan Ferdinand mengerti. Kalau sudah membahas kakak laki-lakinya, Joe pasti akan uring-uringan seperti sekarang. Ujung-ujungnya Joe akan meminta Sean untuk menemaninya. Sudah sering seperti itu. Joe dan Tristan seperti Tom dan Jerry.