When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Nean tersenyum saat melihat gadisnya sedang duduk di bawah pohon besar dengan tikar sebagai alasnya. Di atas bukit itu bisa melihat banyak pemandangan yang indah. Pantas saja Lovinta sangat betah berada di sana. Nean memberikan Lovinta satu gelas es berwarna merah, lalu gadis itu menerimannya lalu diteguknya hingga airnya tinggal setengah. “Kamu betah banget di sini,” ucap Nean memecah keheningan. Lovinta memejamkan matanya saat angin bertiup kencang menerpa wajahnya dan membuat pepohonan di sekitarnya menjadi bergoyang. “Ini adalah tempat yang pali disukai oleh Zenna. Hanya aku yang tahu di mana dia berada saat hatinya terluka,” jelas Lovinta dengan mata yang masih terpejam rapat. Nean tidak berkedip saat menatap wajah Lovinta yang terlihat ayu saat terpejam seperti itu, apalagi