#R – Hati yang Baru di Sadari

1430 Words
Jika kehadiran sebuah cinta bisa diketahui dan ditebak mungkin seseorang bisa mencegah rasa cinta itu tumbuh, jika dia tahu cinta yang tumbuh didalam hatinya akan berlabuh pada orang yang salah, tapi sayangnya rasa cinta itu hadir didalam hati semua orang tanpa sebuah aba – aba hingga siapapun tidak akan mampu menghentikannya. Sejak kemarin bibir Intan tidak henti – hentinya melukiskan sebuah senyuman, kepalanya terus saja mengingat betapa manisnya sikap sederhana Alaric yang mungkin menurut orang lain terasa biasa saja tapi sangat begitu manis dan tidak dapat terlupakan bagi Intan. Tidak tahu apa yang terjadi pada Alaric seharian kemarin yang tiba – tiba meminta Intan untuk selalu ada didekatnya, laki – laki itu berbicara seakan tidak ingin kehilangan Intan, hal itu berhasil menyenggol setitik perasaan perempuan Intan. Semalam mereka baru pulang dari pantai saat jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, tidak banyak yang Intan bicarakan karena dia lebih banyak diam dan mendengarkan apa yang Alaric katakan. Semalam Intan juga tahu jika keadaan Alaric yang sedang sakit semakin sakit karena laki – laki itu ngotot untuk diam ditepi pantai padahal saat itu udara terasa sangat dingin, sedangkan jaket yang dia bawa dari dalam mobil malah dia  berikan pada Intan. Tadi pagi Intan hanya melihat Alaric datang dengan wajahnya yang masih terlihat pucat, dia tidak terlihat sesegar biasanya, dan dia hanya mengatakan kepada Intan untuk mengosongkan jadwalnya hingga selesai makan siang, tidak ada komentar apapun dari Intan dia hanya mengangguk patuh, karena seperti itulah sikap mereka saat berada dikantor. Intan melirik jam tangan dan pintu berwarna coklat yang berada didepan ruangannya, karena memang ruangan Intan berada didepan ruangan Alaric dengan hanya berlapis kaca saja, hingga dia masih bisa dengan leluasa mengawasi siapa saja yang masuk dan keluar dari ruangan bosnya. Namun, sejak tadi Alaric meminta mengosongkan jadwal sampai selesai jam makan siang, dia masih belum terlihat keluar dari ruangannya sedikipun, padahal waktu makan siang sudah hampir selesai. Ada sebuah rasa khawatir yang tiba – tiba menyusup masuk melalui celah hatinya, mengingat wajah pucat Alaric membuat pikiran Intan melayang – laying tidak tentu, matanya dengan awas menatap pintu ruangan Alaric yang belum satu kalipun terbuka sejak pagi. Intan mencoba untuk tetap menunggu hingga jam makan siang usai yang hanya tinggal 15 menit lagi. 15 menit berlalu namun tidak ada tanda – tanda sedikitpun jika Alaric akan segera keluar dari dalam ruangannya, akhirnya Intan memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan bos sekaligus sahabatnya itu. Namun, baru saja tangannya terangkat hendak mengetuk pintu Intan menurunkannya lagi karena dia merasa ragu, kakinya berbalik hendak masuk kedalam ruangannya lagi, tapi sejurus kemudian dia kembali berbalik menatap pintu berwarna coklat yang sekarang berada tepat dihadapannya. Intan menarik nafasnya dalam – dalam dan menghembuskannya secara perlahan, dia terus mengulang hal itu hingga tiga kali, kemudian setelah itu dia mengetuk pintu  ruangannya Alaric dengan pelan, dia kembali mencoba mengetuk pintu lagi dengan sedikit lebih kencang karena ketukan pertamanya tidak mendapatkan tanggapan, dan ternyata ketukan keduapun sama, Intan mencoba mengetuk pintu hingga yang ketiga kalinya, tapi ternyata masih tidak ada tanggapan dari dalam dan hal itu berhasil membuat Intan merasakan khawatir. Intan kembali menarik nafasnya dalam – dalam, tangannya memutar handle pintu dengan sangat pelan, sedangkan matanya dia biarkan terpejam rapat, saat pintu itu berhasil terbuka Intan terdiam beberapa saat menunggu reaksi pemilik ruangan, namun beberapa menit Intan menunggu tidak ada apapun yang terjadi sampai akhirnya pelan – pelan Intan mulai membuka matanya. Meja yang biasanya Alaric tempati terlihat kosong, Intan membuka pintu ruangan itu semakin lebar, pandangarnnya mengedar memeriksa seluruh ruangan sampai akhirnya dia bisa melihat sosok yang sedang dicarinya tengah berbaring diatas sebuah sofa panjang. “Pak apakah anda baik – baik saja ?” “Pak Al anda mendengar saya ?” Tidak ada sahutan apapun yang Intan dapatkan, perlahan Intan memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya semakin masuk kedalam degan pintu yang dia biarkan terbuka lebar, saat kakinya berhasil sampai didekat tubuh Alaric dia bisa melihat laki – laki itu sedang tertidur. Intan berinisiatif memesankan makan siang untuk Alaric karena Intan tahu jika laki – laki itu belum sempat makan siang, sekaligus meminta seorang office boy untuk membeli obat yang sekiranya bisa membuat keadaan Alaric membaik. 15 menit menunggu pesanan Intan datang dibawakan oleh seorang office boy yang dia pinta tolong untuk membelikan obat, setelah berucap terimakasih Intan kembali masuk dan menyimpan nampan yang dia bawa diatas meja, tangannya menepuk bahu Alaric dengan lembut untuk membangunkannya. Beruntung Alaric tipe orang yang mudah dibangunkan, sehingga Intan tidak perlu melakukan banyak gaya untuk membangunkan bosnya, karena cukup menepuk pundaknya Intan bisa melihat mata bosnya itu mulai mengerjap kemudian terbuka. “Aduh aku ketiduran ya” “Ada apa Tan ?” Alaric mengubah posisinya menjadi duduk, tangannya terlihat mengucek kedua belah matanya, sementara itu Intan hanya memperhatikan wajah Alaric memang terlihat sedikit pucat, belum lagi matanya juga terlihat merah. “Bapak masih sakit ? ini saya bawakan makan siang bapak belum makan kan ?” “Aduh  Tan kita lagi berdua jangan gitu dong bahasanya, berasa tua aku” Alaric memeluk satu buah bantal sofa kemudian dia kembali membaringkan setengah badannya lagi, matanya dia pejamkan tapi Intan tahu jika dia tidak tertidur, baru kali ini Intan melihat Alaric yang terlihat bermalas  - malasan dan bermalas – malasannya dia kerena sedang sakit, biasanya Intan hanya akan melihat Alaric yang selalu segar, tegas, berwibawa dan fokus.  Tapi kali ini Intan seperti melihat bocah SD yang tidak mau sekolah karena sedang sakit. “Bandel sih, aku bilang jaketnya pakai, terus kita pulang, so kuat” Intan berujar sambil mendudukkan tubuhnya diatas sebuah sofa single yang masih kosong, tangannya memukul paha Alaric karena gemas mengingat tingakah laki – laki itu semalam yang terlihat sangat ngotot ingin duduk dipantai. “Aku mau disayang Tan lagi sakit bukan dipukul, lagian kalau aku pakai jaketnya kamu yang kedinginan, aku enggak mau kalau sampai kamu sakit, jadi dari pada kamu yang sakit lebih baik aku aja” Mendengar perkataan Alaric hati Intan merasakan sebuah kehangatan, Alaric adalah laki – laki pertama yang akrab dengannya dan laki – laki pertama yang neneknya kenal sebagai teman Intan, dan Alaric adalah laki – laki pertama juga yang berhasil membuat perasaan Intan menjadi campur aduk seperti sekarang. “Sakit aja masih bisa gombal, udah ah kamu makan dulu mending, kan kamu belum makan siang” Wajah Intan terlihat memerah karena merasa salah tingkah dengan apa yang dikatakan oleh Alaric, sikap dan perasaannya merespon perkataan Alaric yang terkesan sangat ingin memperhatikan dan melindungi Intan dengan baik. “Suapin, akukan lagi sakit Tan” “Yang sakitkan kepala kamu Mas, dan kamu makan pakai tangan kamu” “Tangan aku lemes Tan” Intan menggelengkan kepalanya saat dia melihat tingkah Alaric, dia tidak menyangka jika laki – laki yang selama ini selalu terlihat berwibawa saat sedang meminpin sebuah meeting, laki – laki yang selalu terlihat tampan dan mempesona bisa berubah menjadi manja saat sedang sakit. “Gitu dong kan manis, calon istri yang baik jadi kapan siap dinikahin” Pertanyaan Alaric berhasil membuat Intan merasa kaget, tangannya yang sedang mengangkat sendok hendak menyuapkannya ke mulut Alaric berhenti diudara, matanya menatap kearah Alaric tanpa berkedip, jantungnya berpacu kencang maresa percaya tidak percaya atas pertanyaan Alaric. “Kamu adalah perempuan sempurna, pasti suamimu nanti akan sangat merasa beruntung memiliki kamu, kelak jika dia menyakitimu datanglah kepadaku karena saat kamu berhasil dia lukai maka aku orang pertama yang akan menghajarnya Tan” “Kamu terlalu istimewa untuk disakiti, dan kamu terlalu berharga untuk dilukai jadi aku tidak akan rela siapapun menyakiti kamu” Mendengar pernyataan Alaric hati Intan tiba – tiba merasakan sebuah kekecewaan, tidak tahu ada apa dan kenapa dia seakan sangat begitu berharap jika Alaric adalah laki – laki yang kelak akan menjadi suaminya, tapi Intan sadar jika Alaric hanya menganggapnya sebagai sekertaris dan sahabatnya tidak lebih dari itu. Setelah mendengar perkataan Alaric yang berharap jika dia bisa bertemu dengan laki – laki lain entah kenapa Intan merasa jika Alaric sudah berhasil mematahkan perasaannya, Intan juga jadi berpikir jika dia sudah bermimpi terlalu tinggi dengan berharap Alaric yang mempunyai segalanya bisa menjadi suaminya, dan Intan sendiri belum tahu apakah laki – laki itu sudah mempunyai kekasih atau belum. “Saat kamu berhasil menemukan belahan jiwamu nanti aku akan menjadi orang pertama yang akan merasakan kebahagiaanmu, dan saat kamu berbahagia dengan dia nanti aku akan menjadi orang pertama mengucap syukur atas kebahagiaanmu nanti, tapi saat kamu merasa bersedih hidup dengannya aku orang pertama yang akan datang memelukmu dan memberinya pelajaran setimpal karena setiap rasa sedih yang kau rasakan adalah neraka bagiku” Alaric mengatakan kalimat itu penuh ketegasan, dia berbicara masih dengan posisi setengah tubuhnya yang berbaring, matanya menatap Intan tepat dibagian matanya, mereka seakan sedang saling mengunci dan mengekspresikan isi hati mereka melalui tatapan mata, beruntung Risa membiarkan pintu terbuka lebar, jadi setidaknya dia tidak akan mengundang kecurigaan orang – orang meskipun dilantai itu hanya dihuni oleh ruangan mereka saja. ‘Bagaimana jika sumber luka, sakit dan kesedihanku adalah kamu Mas’ batin Intan bersuara. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD