Part 05

1035 Words
            Fhiona menatap pada penampilannya yang tampak sempurna. Fhiona akan ke rumah depan untuk mengunjungi calon mertuanya. Calon mertua yang sudah mendukung dirinya dan berhasil membujuk Gavin untuk tunangan dengannya.             Fhiona akan membawakan kue kesukaan orangtua Gavin, agar orangtua Gavin semakin merestui dirinya. Mana tahu orangtua Gavin  bisa membujuk Gavin untuk menikah dengannya. Tidak ada salahnya untuk semakin berharap. Apalagi berharap menjadi istrinya Gavin.                     Fhiona keluar dari kamarnya, dan turun ke lantai bawah. Fhiona berjalan menuju dapur dan mengambil dua kotak kue kesukaan orangtrua Gavin. Dengan langkah anggun, Fhiona berjalan menuju rumah depan.             “Mama! Papa!” teriak Fhiona memasuki rumah Gavin dengan senyuman manis selalu terbit di bibir seksinya.             Fhiona sering heran. Kenapa Gavin tidak pernah tergoda untuk mencium bibirnya. Padahal banyak orang mengatakan, bibir Fhiona sangat seksi dan minta untuk dicipok. Ah … seandainya Gavin punya pemikiran seperti orang-orang itu. pasti Fhiona dengan rela memberikan ciuma terhot untuk Gavin.             “Kak Fhio pagi banget ke sini. Mau cari Abang? Abang lagi nggak tidur di rumah. Dia lebih betah di apartemen kayaknya.”             Fhiona melihat pada Edelisha—calon adik iparnya yang sangat cantik. Fhiona berjalan mendekati Edelisha dan mencium pipi Edelisha gemas. Fhiona memang sudah tahu Gavin berada di apartemen. Tujuannya ke sini mau merayu calon mertuanya. Untuk menikahkan dirinya dengan Gavin.             “Kak Fhio tahu dia di apartemen. Apa yang nggak Kak Fhio tahu soal dia, ukuran p***s dia aja  Kakak tahu!” ucap Fhiona semangat dan membuat Edelisha menggeleng.             Calon kakak iparnya sama-sama tidak waras dengan kedua kakaknya. Seperti mereka kurang untuk pembagian otak menyaring ucapan terlebih dahulu. Edelisha mengabaikan ucapan Fhiona dan berjalan keluar dari rumah. Lebih baik dirinya nongki di kafe Gaven—kakaknya.             “Kalau mau ketemu Mama dan Papa, ke halaman belakang aja. Di situ juga ada Kak Gaven. Aku mau ke kafe Kak Gaven dulu. Mana tahu ketemu jodoh di sana.”             Fhiona mengangguk dan mengacungkan jempolnya pada Edelisha. Dengan senyuman manis masih bertahan di bibirnya, Fhiona langsung berjalan menuju halaman belakang. Dan menatap miris pada Gaven—yang seperti jomlo akut diantara orangtuanya.             Bagaimana tidak, Ayin dan Kean yang sudah tua masih saja bermesraan dan tidak akan segan-segan melihatkan kemesraan mereka di depan anak mereka. Fhiona berharap dirinya dan Gavin nanti akan seperti itu juga. Ingin bahagia sampai menua dengan Gavin. Tentunya Gavin harus mencintai dirinya dulu.             “Hai semuanya. Fhiona calon istrinya Gavin bawain kalian kue.” Fhiona dengan semangat mengambil duduk di samping Gaven dan meletakkan kuenya di atas meja.             Ayin dan Kean yang melihat Fhiona tersenyum manis. Mereka mengambil kue yang dibawakan oleh Fhiona dan memakannya sepotong. Ayin dan Kean mengangguk, kue buatan Fhiona tidak pernah tidak enak. Semuanya selalu enak dan membuat mereka ingin memakannya lagi.             “Ngapain sistah ke sini? Cari sibangsat? Dia lagi di apartemen. Kayaknya dia pulang subuh tadi malam,” ucap Gaven santai tanpa memerhatikan pelototan Mama dan Papanya.             Gaven berkata benar, untuk apa dirinya takut. Kembarannya itu tidak pernah bosan untuk bermain jalang yang tidak higienis itu. Jalang yang sudah banyak yang makai dan tetap saja laku oleh Gavin. Memang Gavin tidak takut dengan penyakit.             “Jaga omonganmu, Gaven,” tegur Ayin.             Gaven mengangguk dan menatap jengah pada ibunya. Sudah jelas Gavin itu sering salah, masih aja dibelain. Kalau dibelain hal yang baik tidak masalah ini hal yang buruk. Ingat, Ayin hanya membela Gavin di depan Fhiona. Agar Fhiona tidak mengakhiri pertunangannya dengan Gavin.             Mengingat Ayin sangat menyukai Fhiona dan sudah berharap lama Fhiona akan menjadi mantunya. Fhiona itu kandidat paling pas untuk menjadi mantunya dan jadi istri Gavin. Karena Fhiona mencintai Gavin sangat tulus. Walaupun Gavin sering menolak Fhiona.             “Kamu jangan dengerin omongan Gaven. Dia itu ember bocor. Belum ditambal mulutnya,” ucap Ayin pada Fhiona.             Fhiona yang mendengar ucapan Ayin mengangguk dan tertawa. Lagian dirinya sudah tahu tingkah Gavin seperti apa. Tidak heran lagi baginya. Walaupun di sudut hati Fhiona, merasakan perih akibat Gavin yang terus bermain dengan jalang.             “Nggak apa-apa, kok, Ma. Lagian Fhiona udah tahu kelakuan Gavin kayak apa,” ucap Fhiona tersenyum miris.             Kean mendesah kasar mendengarkan ucapan Fhiona. Dirinya merasa iba dengan anak sahabatnya ini, yang selalu disakiti oleh anaknya sendiri. Gavin tidak bisa melihat betapa cantik dan baiknya Fhiona. Mungkin mata Gavin memang sudah buta dan perlu dioperasi.             “Kamu nggak mau mengakhiri ini saja? Papa kasih sama kamu,” ucap Kean bernada lembut.             Ayin yang mendengar ucapan suaminya menggeleng. Tidak setuju hubungan Fhiona dan Gavin berakhir. Ayin sangat ingin melihat Fhiona dan Gavin menikah, dan nanti akan memberikan cucu yang banyak untuknya.             “Kamu jangan akhiri pertunagan kamu sama Gavin. Mama nggak mau itu terjadi.” Ayin menatap Fhiona dengan tatapan memohonnya.             Fhiona tersenyum pada Ayin dan menggenggam tangan wanita paruh baya itu. Lagian Fhiona tidak akan pernah mengakhirinya. Fhiona akan terus bersama dengan Gavin sampai maut memisahkan mereka.             “Aku nggak akan akhiri pertunangan ini, Ma. Aku cinta sama Gavin dan aku akan buat Gavin jatuh cinta sama aku,” ucap Fhiona membuat senyuman Ayin menggembang.             “Ma, Pa, kalian mau ‘kan bantu bujuk Gavin buat nikahin aku?” tanya Fhiona, takut orangtua Gavin akan menolak membantu dirinya. Fhiona tahu, dirinya harus berjuang sendirian. Tapi, Fhiona ingin segera menikah dengan Gavin.             Ayin dan Kean saling pandang dan menggeleng. Walaupun mereka senang membayangkan Fhiona dan Gavin menikah. Tapi, Gavin keras kepala dan akan marah pada mereka, karena memaksa Gavin menikah dengan Fhiona.                         Membuat Gavin mau bertunangan dengan Fhiona saja, harus membuat mereka tahan dengan mulut pedas anak mereka itu, dan Gavin sampai tidak pulang ke rumah selama sebulan waktu itu. Mereka memang salah, telah mencampuri perasaan Gavin atau lebih tepatnya jodoh Gavin. Tapi, mereka sangat senang Fhiona dan Gavin bertunangan. Mereka yakin, Gavin akan mencintai Fhiona.             “Kami nggak bisa sayang. Kami hanya bisa membantu sampai kalian bertunangan saja. Kami sudah berjanji untuk tidak memaksa Gavin menikah secepatnya. Kami nggak mau dia marah dan minggat  dari rumah ini.”             Fhiona mengangguk, mengerti dengan perasaan orangtua Gavin. Memang sebuah pernikahan bukan main-main, kalau Gavin tidak menyetujuinya langsung akan sulit untuk melaksanakannya. Karena Gavin yang akan menjadi mempelai prianya.             “Nggak pa-pa. Fhiona akan berusaha lagi, buat Gavin mau menikah dengan Fhiona. Walaupun bertunangan saja rasanya sudah sangat bahagia sekali.”             Gaven menepuk pundak Fhiona beberapa kali dan tersenyum pada Fhiona. “Sistah pasti bisa. Luluhkan hati sibangsat dan buat sibangsat nggak main jalang lagi.”             Fhiona mengangguk. Dirinya yakin, kalau dirinya bisa.             *olc*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD