Karena merasa bosan di dalam kamar, Rena memutuskan untuk keluar dari kamar dan mendapati El tengah duduk sambil menonton televisi di ruang tengah.
"Kenapa bengong di sana? Kalau mau nonton TV, duduk di sini aja. Gratis kok," kata El setelah melihat Rena mematung tak jauh dari ruang tamu.
Rena terkejut mendengar suara El. Dia tak tahu ternyata El menyadari kehadirannya dan meminta dia duduk di dekatnya. Rena merasa sedikit agak canggung, karena sikap El yang menyebalkan siang tadi, tiba-tiba berubah ramah. Ada sedikit rasa penyesalan kenapa dia tadi harus keluar kamar, seharusnya kalua ia tetap di dalam kamar Rena tidak akan merasa canggung seperti sekarang. Tapi, meskipun demikian dia tetap melangkahkan kakinya ke arah El dan duduk di dekatnya dengan masih tetap mengenakan kerudungnya.
"Aku kan sudah bilang. Jadi, tolong lepaskan…," sebelum El sempat menyelesaikan kata-katanya, Rena dengan malas menarik kerudung dari kepalanya dengan benar. Rambut ikal sebahu yang menutupi wajahnya dirapikan dan diikat. Menampilkan leher jenjang yang mulus putih dengan sedikit bulu halus pada bagian belakang tengkuknya.
El terpana melihat Rena tanpa kerudung untuk pertama kalinya.
Cantik sekali! Hanya itu yang terlintas di hati El ketika memandang sosok di sampingnya.
Tidak... Tidak... Tidak... Anggun lebih cantik dan seksi darinya. Ayolah El, tetaplah fokus pada Anggun. Monolognya lagi dalam hati, melawan apa yang ada di pikirannya. Kemudian El kembali mengalihkan pandangannya ke arah televisi.
Semoga saja dia tidak memperhatikan kalau aku sedang melihatnya! Batin El lagi.
"Eemm... Bapak mau dimasakin apa untuk makan malam nanti?" Tanya Rena.
Emm... Berbeda sekali rasanya membuka tudung di depannya. Rena merasa tidak nyaman. Tapi, mau tidak mau, dia harus melakukannya, karena bagaimanapun sekarang El yang merupakan atasannya di kantor sekarang adalah suaminya.
"Gak usah masak. Di sini juga tidak ada apapun yang bisa dimasak. Pesan saja makanan lewat online," jawab El tanpa menoleh ke arah Rena. Matanya sepenuhnya fokus pada layar TV. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat ke arah Rena. Padahal hatinya meronta-ronta untuk kembali menatap Rena sekali lagi. Ia berusaha menahan gejolak di hatinya saat ini.
Tahan El! Tahan. Jaga mata dan hatimu, jangan sampai goyah.
Baguslah aku jadi gak perlu repot-repot masak, ucapnya dalam hati. "Bapak mau dipesankan makanan apa?" Tanya Rena.
"Tolong berhenti panggil aku Bapak atau Pak. Ini bukan kantor. Ini rumah. Di depan ibu dan ayah, jangan panggil begitu juga? Ganti dengan nama yang lebih baik. El ke, Barra kek, apa saja yang kedengarannya lebih bagus," Ucap El nyerocos lagi.
Rena terkesiap. Ia menarik napas dalam-dalam. "Kamu lebih suka aku memanggilmu dengan sebutan apa?" Tanya Rena. Lebih baik dia yang menentukan mau dipanggil apa. Nanti kalau aku yang memutuskan dan dia gak menerima, aku bisa diomelnya lagi. Gerutu Rena dalam hati.
"El lebih baik," jawab El singkat. Rena mengangguk mengerti.
"Biar aku yang pesan. Kamu mau makan apa?" El bertanya sambil membuka aplikasi online.
"Aku nggak makan," jawab Rena singkat.
"Kenapa?" El bertanya sambil mendekatkan matanya ke wajah Rena.
Iya, cantik! Sangat cantik. Jantung El kembali berdetak kencang. Hatinya diam-diam mengakui kecantikan Wanita yang duduk di sampingnya. El menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk kembali fokus pada percakapan mereka.
"Aku sudah kenyang. Kalau boleh, aku mau ke kamar dulu," kata Rena seraya buru-buru bangkit dari duduknya. Dia bisa merasakan apa yang sedang dipikirkan El. Rasanya sedikit berbeda ketika mata lelaki itu menatapnya. Ia merasa tidak nyaman berlama-lama di sana. Lebih baik ia melangkah masuk ke dalam kamar.
"Aku akan memesan makanan nanti malam saja," jawab El sambil meletakkan kembali ponselnya di atas meja.
"Duduklah di sini sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," kata El.
Aku mengiyakan. Tidak mungkin aku akan marah saat ini juga. Jantung Rena terasa sesak dan dengan langkah berat, Rena berjalan ke sofa ruang tamu dan duduk kembali.
"Ibu menelepon tadi. Hari Jumat setelah pulang dari kantor, kita disuruh pulang ke rumah ibu. Karena malamnya ibu nyuruh kita fitting baju," El menjelaskan dengan mata yang masih terpaku pada layer TV. Rena hanya mengangguk mengerti.
"Baiklah. Ada lagi?" Rena bertanya. Dia tidak ingin berlama-lama di sana.
"Dan besok. Aku akan memberitahu semua staf tentang kita. Jadi, siapkan mentalmu. Itu akan menjadi mimpi burukmu," El memperingatkan Rena tentang apa yang akan terjadi besok. Dia mengukir senyum jahat.
"Pasti," jawab Rena mencoba bersikap tenang.
Apa dia ingin menggertak dan membuatku takut? Kamu memang tidak bisa menutup mulut orang. Tapi kamu bisa membungkamnya! Teringat Rena akan kata bijak itu.
"Owh... Apa kamu terbiasa dikritik, dihina dan dibuli? Jadi, tidak masalah kan kalau besok orang bilang kamu..?" El sengaja membangkitkan rasa gelisah dalam diri Rena.
"Ya tak masalah." Jawab Rena singkat
"Wah percaya diri sekali... besok jangan nangis ya kalau kenak bully!" Seloroh El lagi.
Apa yang salah dengan dia? Di mobil tadi mulutnya seperti dikunci tak mau bicara. Sekarang ringan sekalai dia ngoceh sana sini. Inginku jahit mulutnya atau kusumbat dengan kain pel. Rena bergumam pada dirinya sendiri.
"Terserah orang mau ngomong apa itu hak mereka, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mulut-mulut orang, terserah !" Rena membentak balik. Geram dengan peringatan seperti itu.
"Baiklah. Kita lihat saja nanti. Semoga berhasil!" El membalas dengan senyum sinis.
Apakah kamu bisa tahan dengan omongan dan bulian orang di kantor nanti? Aku punya beberapa staf yang gila-gila kalau urusan bully membuli!
"Kalau tidak ada lagi, aku balik dulu ya," melihat El terdiam dan tidak menjawab, Rena terus berjalan menuju kamar.
Sesampainya di kamarnya, Rena duduk bersandar di dinding. "Ah sialan, kirain masalah apa yang mau dibahas. Jadi cowok kok gak peka, minimal perhatian dikit kek. Tanya soal kamar kek, apa barang-barang di dalam kamar sudah cukup? Apakah bantal tempat tidurnya ada semua. Apakah kamarnya nyaman? " Rena bergumam pada dirinya sendiri. Ia mendengus marah. Sudah minta tolong, bawa anak orang ke sini, malah nggak di perhatikan.
"Aku sudah di sini kurang dari sehari. Aku sudah banyak makan hati .... Oh Tuhan, hambamu ini," Rena menangis sambil merebahkan kepalanya di lantai dengan hanya menggunakan kedua tangannya sebagai penopang.
Hari ini terasa sangat panjang baginya. Tidak ada kepastian kapan semuanya akan berakhir. Perjalanannya terasa sangat menyiksa dan menyesakkan. Ia berharap bisa bertahan untuk sementara waktu.