Jam menunjukkan pukul dua siang. Mereka telah sampai di rumah El. Sepanjang perjalanan, mereka tidak berbicara. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut pria itu. Hanya suara radio yang menemani perjalanan mereka. Rumah yang akan ditinggalkan oleh merek berdua adalah rumah yang begitu indah dan asri. Rumah tersebut berdiri kokoh di atas lahan yang cukup luas, dengan taman yang indah dan hijau yang mengelilinginya. Sebuah kolam renang yang kecil dan bersih terletak di sisi taman, memberikan kesan sejuk dan tenang di tengah hiruk pikuk kehidupan kota.
Baru saja masuk ke dalam rumah, El berdiri di salah satu sudut sambil memeluk tubuhnya. Matanya melirik ke arah Rena.
"Rumah ini ada tiga kamar kosong, dua di lantai atas, satu di lantai bawah. Kamar di lantai bawah kecil, dekat dapur. Kamu bisa memilih kamar mana saja yang kamu rasa nyaman. Kecuali kamarku," El mengatakan kepada Rena bahwa dia tidak nyaman tidur di kamar yang sama dengannya. Ia tahu Rena juga merasakan hal yang sama. Jadi, ia memberinya kesempatan untuk memilih.
"Tapi kalau ada yang datang dan tidur di rumah ini, kamu bisa pindah ke kamarku. Apalagi kalau Ibu dan Ayah datang. Bisa-bisa mereka membunuhku kalau tahu kita tidak tidur di kamar yang sama." tambah El.
"Aku tidur di bawah saja," jawab Rena dengan sedikit lega. Untung aku bisa memilih kamar sendiri. Hati kecil Rena berbisik. Lega, sangat lega.
"Terserah kamu saja. Anggap saja seperti di rumah sendiri. Tapi, tolong jangan melewati batas. Kamarku, wilayahku. Mengerti?!" Pertanyaan El seakan menjadi sebuah peringatan. El bahkan tidak menoleh ke arah Rena.
"Mengerti," jawab Rena pelan.
Aku harus sadar diri ini bukan rumahku. Aku hanya menumpang saja. Rena hanya bisa membatin.
"Kamu boleh melihat-lihat seisi rumah. Tapi, jangan ke kamarku. Jangan masuk ke kamarku tanpa seijinku. Aku tidak suka orang luar masuk ke kamarku. Apakah itu jelas?" Peringatan lain diberikan dengan matanya yang masih terfokus pada layar ponsel. Jemari El dengan cepat mengusap layar ponsel pintarnya.
"Sudah jelas," jawab Rena singkat.
Menjunjung tinggi perintah guruku. Rena mengejek dalam hati.
"Sekarang aku tahu sifat aslimu yang sebenarnya. Terlihat baik di depan orang-orang. Tapi, pada intinya ...." Hati Rena benar-benar kesal dengan sikap yang ditunjukkan pria itu sekarang. Ia mengeluarkan keluhan yang cukup terdengar di telinga El.
"Kenapa?" Pertanyaan El setelah mendengar keluhan itu keluar dari mulut Rena. "Kamu sedang mengeluh? Mengeluh karena alasan apa? Seharusnya kamu senang karena aku membiarkanmu memilih kamarmu sendiri atau kamu lebih senang kalau aku mengirimmu kembali ke rumah kontrakanmu!"
"Kenapa kenapa?" Pertanyaan Rena mengejutkanku.
Tiba-tiba bertanya mengapa. Gila?
"Mengeluh? Kenapa? Apa karena kau keberatan tantang bagaimana aku menetapkan peraturan di rumahku sendiri kau mengeluh?" El bertanya dengan mata yang menatap Rena. Rahang Rena ternganga mendengar pertanyaan itu. Air liurnya ditelan dengan susah payah.
"Tidak ada. Aku hanya... lelah," jawab Rena mencoba bersikap tenang.
Aku mendengar dia mengeluh!
"Kalau kamu tidak mau tinggal di sini, kamu bisa pulang ke kontrakanmu," hanya itu yang dikatakan El. Dia tahu bahwa Rena mengeluh tentang peringatan yang dia berikan sebelumnya.
"Aku sangat lelah, aku menyetir dari tadi." El bergumam dalam hati. Tanpa menunggu, ia masuk ke kamarnya dan meninggalkan Rena sendirian di sana. Rena meringis melihat El berjalan pergi. Ia menarik napas panjang.
"Tenang Rena, tenanglah. Hormati tuan rumah. Sabarlah, bersabarlah, wahai hati." Rena membujuk dirinya sendiri. Setelah itu, ia terus melangkah masuk ke dalam kamar yang telah dipilihnya tadi.
Ya, kamarnya memang kecil. Tapi, dekat dengan dapur, dekat dengan wastafel dan kamar mandi. Kamar ini memang strategis dengan akses mudah ke beberapa ruang yang dibutuhkan. Rena senang dengan keputusan yang di ambil.
Setelah itu, Rena mulai berkemas. Butuh waktu hampir dua jam untuk memastikan kamarnya bersih dan akhirnya selesai. Dia tersenyum sendiri saat melihat kamarnya sudah siap digunakan. Puas!
"Aku lupa belum ambil laundrian di dekat rumah kontrakan. Untung saja barang bawaanku tidak terlalu banyak," gumam Rena dalam hati. "Minta tolong Kak Wanda saja lah," tambah Rena.
Wanda, teman di rumah kontrakkan Rena sejak ia mulai bekerja hingga sekarang. Ia adalah satu-satunya teman yang ia percaya di kota ini. Ia sempat bercerita kepada Wanda tentang pernikahannya yang mendadak itu. Rena menceritakan panjang lebar kepada Wanda apa yang telah terjadi melalui sebuah pesan singkat. Awalnya, Wanda sangat terkejut mendengar kabar tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, Wanda mengerti dan menerima kabar tersebut dengan hati yang lapang.
Rena termenung sejenak, kemudian tersadar karena lantunan lagu Soegi Bornean yang digunakan sebagai nada dering smartphonenya berbunyi. Rena tidak langsung mengangkatnya, dia ingin sedikit menikmati lagunya karena dirasa pas menggambarkan suasana hatinya yang sedih dan ingin sejenak ditemani alunan musik yang indah sebagai penenang hatinya. Namun dia juga tak ingin berlama-lama dan membuat orang diseberang sana menunggu jawaban telfonnya, terlebih lagi orang itu adalah Wanda. Kemudian dia pun menjawab telfon itu.
"Assalamualaikum... sudah balik ke Mataram kah dirimu say?" Sepertinya Wanda sudah tidak sabar untuk berbicara dengan Rena.
"Walaikumsalam... A'ah.. Jam dua aku sampai di Mataram. Aku sudah berada di rumah dengan El. Besok, rencananya aku ingin ke rumah kontrakkan untuk mengambil barang-barang yang masih tertinggal lah Kak," kata Rena sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar. Pintu kamar didorongnya dengan ujung kaki ketika suara langkah kaki terdengar dari dapur.
Pasti orang itu. Apa dia gak bisa jalan pelan-pelan. Suaranya mengganggu saja. Rena menggerutu dalam hati.
"Boleh. Jam berapa? Sedih rasanya ditinggal teman sekamar setelah ini. Eh, aku lupa bilang. Selamat menjadi pengantin," jawab Wanda sambil tertawa kecil. "Akhirnya adikku ini menikah."
"Eeemmmm... Terima kasih," jawab Rena perlahan. Sejujurnya dia tidak suka mendengar ucapan itu. Namun, ia tetap menyambutnya dengan baik demi sopan santun.
"Besok jam enam lebih. Setelah jam pulang kantor. Aku akan mengambilnya di sana," tambah Rena lagi.
"Okay. Apa suamimu akan ikut?" Tanya Wanda mengusik.
Rena memasang wajah masam meskipun Wanda tidak melihat riak di wajahnya. Ia tidak suka nama pria itu disebut-sebut dalam percakapan mereka.
"Kaaak.... Dia bahkan tidak menganggap aku sebagai istrinya," jawab Rena sedikit kesal. Namun, ia berusaha menyembunyikan perasaannya.
“Maaf…Maaf.., kakak cuma bercanda kok. Mau minta tolong apa?" tanya Wanda.
Dibecandain sedikit saja, sudah ngambek. Gerutu hati Wanda.
"Boleh minta tolong, anterin aku ke rumah kontrakan ya kak?" minta Rena.
"Boleh adik ku sayang," balas Wanda dengan ikhlas. Meskipun mereka bukan saudari kandung tapi Wanda sangat sayang Rena. Dia sudah menganggap Rena seperti adiknya sendiri. Mereka senantiasa bersama dikala susah dan senang.
"Terima kasih kakakku yang manis. Nanti, pasti kangen saat- saat kita bergosip ria. Rena juga mau berterimakasih atas kebaikan dan bantuan kakak selama ini, apalagi kakak juga mengizinkan Rena ngontrak dengan harga yang murah," tutur Rena dengan nada yang sayu. Hampir dua tahun Rena menyewa di rumah milik Wanda. Pasti dia akan merindui suasana kontrakan dan teman serumahnya itu.
"Kakak juga menyewakannya karena kesepian gak ada teman. Sekarang bakalan sedih karena sudah tak ada dirimu lagi.," Wanda turut berasa sedih. Matanya berkaca.
"Aku sebenarnya tidak mau tinggal di sini. Tapi, Pak El takut kalau sampai ketahuan sama ibunya kalua kita gak tinggal serumah," jelas Rena.
Aku benar-benar tidak ingin tinggal di rumah ini. Dengan tuan rumah yang menyebalkan dan gak tahu diri.
Mereka berbicara selama hampir satu jam dan tidak lama kemudian, percakapan berakhir. Rena meregangkan tubuhnya sambil melihat jam di tangannya.
"Sekarang sudah sore. Sudah masuk waktu Ashar." Dia keluar dari kamar dengan kerudung yang masih ada di kepalanya. Rasanya canggung dan kikuk untuk melepas kerudung di rumah ini.
Setelah mandi, Rena keluar dari kamar mandi. Ia terkejut melihat El sedang duduk di meja makan dapur.
"Mengapa terkejut? Saya selalu duduk di dekat meja ini. Kenapa masih pakai kerudung di dalam rumah? Tidak ada laki-laki lain di rumah ini. Buka kerudungnya," ucap El dengan nada yang agak keras. Itu adalah kalimat paling keras yang keluar dari mulut El.
Suka-suka aku lah, kenapa harus jadi masalah. Gerutu Rena dalam hati..
Ya Allah, kesabaranku benar-benar diuji. Semoga aku terus bisa bersabar menghadapi orang maca ini ya Allah. Sesungguhnya Kau bersama orang-orang yang sabar. Doa Rena di dalam hati. Ketika ini, hatinya seakan menggelegak menahan marah.
Rena tak menggubris omongan El. Dia malas untuk meladeninya dan langsung masuk ke kamar. Ketika akan sampai di pintu kamar, dia berbalik dan berkata "Besok setelah pulang dari kantor aku mau ke kontrakkan buat ambil barang-barang yang masih tertinggal," tutur Rena memberitahu El. Kemudian, tanpa menunggu respon orang yang diajak bicara ia langsung masuk dan menghempaskan pintu.
El mengerutkan kening dan bangkit menuju pintu kamar Rena. "Jangan katakan padaku apa yang akan kamu lakukan, karena aku pun tak mau tahu. Oh, tak ada istilah minta izin denganku. Kamu lakukan apa yang kamu suka, aku lakukan apa yang aku suka," El seperti setengah berteriak dari luar kamar Rena. "Dan satu hal lagi. Di rumah ini, tolong lepaskan saja benda yang ada di kepalamu, karena kamu sudah di rumah. Jangan sok alim," tambah El dengan kasar. Kemudian ia berbalik dan meninggalkan kamar dimana di dalam kamar, Rena terkejut dan tertegun mendengar ocehan El di luar pintu kamarnya. Ia mendengus pelan. Wajahnya terasa terbakar. Ia geram dengan sikap El yang suka mengoceh tak tentu arah. Hatinya merasa kesal.
Dia lupa siapa yang memelas meminta tolong. Dia lupa bagaimana dulu dia bersimpuh untuk ditolong dengan muka memelas supaya dikasihani agar mau menjadi mempelai perempuan menggantikan pacarnya yang tak kunjung datang menepati janjinya. Bentak Rena dalam hati.
Dasar tak tahu diri. Tak tahu terimakasih. Sekarang, sesudah keinginannya tercapai, dia memperlakukanku seperti sampah pula. Rena kembali memasuki kamarnya dengan hati yang masih panas. Ia menarik nafas panjang mencoba menenangkan diri. Mukenah disarungkan ke tubuh. Berkali-kali wajahnya dia usap-usap. Ia masih belum bisa menghilangkan amarahnya pada El.
setelah solat Ashar, Rena duduk termenung melihat sekeliling ruangan yang kosong. Ruangan kecil yang akan menjadi dunia barunya. Ia menghela napas panjang.
Apa yang akan terjadi padaku. Kapan semua ini akan berakhir? Baru sehari aku menghadapi kelakuan El, aku sudah tidak tahan! Ketusnya dalam hati.
Sikap dia itu sangat berbeda ketika bekerja. Jika diperhatikan, El adalah orang yang ramah dan baik hati. Mungkin karena Anggun selalu ada bersamanya sebelum ini. Kata orang bijak, cinta bisa membuat seseorang berubah.
"Aku pikir mungkin karena Anggun meninggalkannya, dia menjadi seperti ini. Dia senang sekali marah-marah seperti Wanita lagi mmmh," gumam Rena dalam hati.
Setelah agak lama Rena duduk di dalam kamar, dia pun keluar menuju ke ruang tamu. Kelihatan El sedang menonton TV di sana sambil memainkan smart phonenya, saking fokusnya sampai tak merasakan kehadiran rena. Pasti lelaki itu sedang mengirim pesan atau menanti panggilan telefon dari Anggun. Masih berharap sepertinya! Rena jadi agak kasihan melihat lelaki macam dia, sudah gagah, pintar, karir bagus tapi jadi b***k cinta dan diperbudak wanita.
Besok, El akan mengumumkan pernikahan mereka di kantor. Entah bagaimana reaksi teman-teman kerja El nantinya. Mereka pasti kaget karena setahu mereka, El memang ingin menikah, tapi dengan Anggun, bukan Rana. Pasti ada banyak spekulasi yang akan bertebaran di kantor nanti. Nama Rena akan menjadi perbincangan hangat. Mereka akan menuduh Rena sebagai perebut suami orang. Dengan status Rena yang seorang janda, mereka akan memandang Rena dengan curiga.