Tidak Mungkin!

1073 Words
"Ra, apa suamimu gila? Atau dia lagi nyiapin tempat buat ngurung kamu?" Tiba-tiba sebuah pesan teksa dari sahabatnya membuat Nara tersentak. "Maksud kamu apa?" balas Nara mencoba menanyakan apa maksud dari pertanyaannya. Tak lama kemudian, Winda mengiriminya sebuah poto saat Kaizar masuk ke sebuah klinik psikiater dan diikuti oleh Kirana. Dahi Nara sontak mengernyit, semakin kebingungan. "Jadi ini janjinya, dia ada janji dengan psikiater? Memangnya siapa yang kurang waras?" gumam Nara, tetapi dia tak membalas lagi apa yang Winda kirimkan. "Ra, kamu baik-baik saja? Aku jadi khawatir sama kamu, jangan-jangan Kaizar nyiapin niat buruk, gimana kalau ssperti di film-film? Kamu dikurung di rumah sakit jiwa, lalu Kaizar menikah lagi dengan mantan pacarnya, gimana kalau kayak gitu?" Sebuah pesan teks masuk lagi, yang seketika membuat Nara bergidik ngeri. "Jangan ngadi-ngadi!" balas Nara dengan tangan gemetar. "Iya kan, aku cuma takut, Ra. Malah kamu sebatang kara, lagi." Winda membalasnya lagi. Hati dan pikiran Nara semakin tak karuan. "Kalau emang dia sudah tidak menginginkanku, dia kan bisa menceraikanku. Kenapa harus mengurungku?" Nara pun terus menepis segala argumen buruk tentang Kaizar. "Bisa saja demi reputasinya, bukan? Pokoknya mulai sekarang kamu harus hati-hati. Kayaknya hidupmu dalam bahaya, kalau kamu merasa terancam, kabur saja, mumpung masih bisa." Alih-alih menenangkan, pesan terakhir dari Winda seketika membuatnya syok dan sedikit stres. Hal itu membuat perutnya sesikit kram. Nara pun mencoba menenangkan diri dengan minum s**u hangat, lalu dia menyalakan TV mencoba mencari hiburan untuk meredakan stresnya. Akan tetapi, semua acara TV kebetulan sedang menyiarkan berita sela yang mengabarkan beberapa penculikan dan pembunuhan yang terjadi dengan motif ini dan itu. Lekas, Nara pun mencari-cari saluran lain, dan dia dapati justru film tentang mafia yang mengurung wanitanya. Hal itu lagi-lagi membuat Nara bergidik ngeri. Buru-buru Nara mematikan TV teesebut, dan pergi ke balkon saja. "Waaah, benar-benar hari yang menyebalkan," gerutu Nara. "Aduh!" Nara merintih saat perutnya merasakan kram lagi. "Maaf, ya, Nak. Harusnya ibu tak memikirkan hal-hal buruk," ucap Nara sembari mengusap perutnya yang mulai buncit itu beberapa kali. * Di sisi lain, Kaizar sedang berhadapan dengan seorang pria tua yang mengenakan jas putih. "Bagaimana keadaan Anda, apa lebih baik?" tanya pria yang rambutnya nyaris musnah itu. "Enggak!" jawab Kaizar singkat. "Dokter bisa lihat ruam-ruam ini, begitu menyiksa dan mengganggu. Beberapa hari ini aku terus-terusan merasa mual, pusing, dan sesak napas seperti orang yang nyawanya tinggal seuprit," oceh Kaizar. Dokter tersebut tiba-tiba melongo, lalu membenarkan kacamatanya yang melorot. "Ruam yang mana?" tanyanya. "Aish, masa Dokter enggak lihat, wajah tampanku kan kacau gara-gara ruam merah sialan itu," jelas Kaizar. "Sepertinya keadaan Anda memang semakin memburuk," komentar dokter tersebut, kemudian mengembuskan napas panjang. Dokter tersebut pun menyodorkan sebuah cermin pada Kaizar. Dengan bingung Kaizar pun mengambil cermin tersebut. "Untuk apa?" tanya Kaizar, raut wajahnya yang garang, tiba-tiba menjadi polos. "Untuk bercermin," jawab Dokter begitu singkat dan sederhana. Kaizar pun menurut, dia bercermin dengan saksama. Benar, wajahnya mulus dan tampan, dengan rahang lembut dan hidung mancung. Bibirnya merah muda, dan alisnya simetris bagai semut yag berjejer. "Ah, aku memang tampan," ujar Kaizar. "Lalu, ruam merahnya?" tanya dokter. "Eh, hah? Kok?" Kaizar heran hingga merasa tertohok dengan keadaannya. Dia tak menemukan ruam merah yang mengganggu itu. "Ceritakan yang terjadi! Mungkin saja ini ujung dari stres dan alergi Anda terhadap wanita, bukan?" tukas Dokter Luhur. Ya, nama itu yang tertulis di papan namanya. "Begini, saya merasa ada yang aneh. Saya kan sempat menceritakan tentang wanita yang tidur dengan saya," Kaizar pun mulai menceritakan keluh kesahnya. "Ya, lalu?" "Dia sekarang menjadi istri saya, saya serumah dengannya, makan masakannya, dirawat dengan baik olehnya. Hanya saja saya tidak tidur dengannya seperti waktu pertama. Dan saya, tidak merasakan reaksi itu saat dengan dia, bagaimanapun kami berinteraksi," jelas Kaizar. "Terus, kenapa Anda tadi khawatir dengan ruam?" tanya Dokter setelah mencatat apa yang Kaizar katakan. "Emh, sebenarnya saya bertemu dengan mantan kekasih saya baru-baru ini," ungkap Kaizar, "dan lebih sering mendapatkan reaksi alergi tersebut. Bahkan, terkadang reaksinya lebay, sampai-sampai sesak napas." Dokter Luhur pun kembali mencatat apa yang Kaizar jelaskan. "Ada dua kemungkinan, karena Anda merasa nyaman dengan istri Anda yang sebelumnya merupakan sekertaris Anda. Jadi, bisa membuat reaksi itu tidak terjadi saat bersamanya. Karena memang Anda, tidak memiliki perasaan negatif terhadap istri Anda," jelas Dokter Luhur. "Lalu? Kemungkinan keduanya apa?" tanya Kaizar masih penasaran. "Anggap saja istri Anda itu pelindung, sekarang ruam yang begitu lebay, saja menghilang dengan cepat. Padahal, biasanya Anda lebih lebay dari ruam itu, bukan? Meminta salep, meminta suntik, dan apalah, apalah," jelas Dokter Luhur sedikit meledek Kaizar. Kaizar tersenyum kecut, bisa-bisanya dia diledek dokter sendiri. "Saya turunkan dosisnya, ya, sering-seringlah menempel dengan istri Anda itu, agar mental Anda cepat stabil, dan gangguan kecemasan itu hilang," jelas Dokter Luhur. Sontak Kaizar tertohok dengan apa yang dikatakan dokternya itu. * "Ngapain kamu ke sini?" Sean terkejut saat melihat Kirana datang ke rumahnya padahal hari sudah malam. Kirana menerobos masuk, saat Sean berdiri di ambang pintu. "Ceritakan padaku, bagaimana Kaizar dan Nara bisa menikah!" sembur Kirana lalu duduk di sofa dan bertumpang kaki. Sean mendengkus, lalu berbalik dan menatap Kirana dengan penuh kekesalan. "Minimal sapa orang rumah, kalau mau bertamu itu!" protes Sean. "Kamu masih bad attitude seperti biasanya, Kiran!" lanjut Sean, dia kembali mendengkus kesal. Kirana menoleh ke arah Sean seraya melipat tangan di depan d**a, lantas dengan angkuh menyandarkan punggung ke sandaran sofa. "Ayoklah, jangan kaku seperti itu, kita ini teman, bukan?" sahut Kirana, dengan senyum penuh percaya diri. "Inilah alasan kenapa aku tidak begitu suka terhadapmu, kamu terlalu percaya diri karena kecantikan dan kedudukan ayahmu." Sean menatap Kirana dengan tatapan tajam, dia sama sekali tak terusik dengan paras menawan gadis itu. Dia tetap sinis dan tegas dalam menghadapinya. "Kiran, apa tujuanmu bekerja di perusahaan Kaizar?" selidik Sean. Lagi-lagi Kirana tersenyum simpul. "Kamu belum menjawab pertanyaanku, Sean," balas Kirana. "Aku tidak berniat menjawabnya, Kiran. Karena itu bukan urusanmu lagi," jawab Sean. "Dan aku pun tidak berkewajiban menjawab pertanyaanmu kan? Karena itu bukan urusanmu!" Tak mau kalah, Kirana pun menjawab dengan kalimat serupa. Dia memang tak berniat menjelaskan tujuannya pada Sean. Tentu saja, karena semuua orang tahu Sean dan Kaizar bersahabat sejak lama. Dia tahu segala hal tentang Kaizar. Sudah pasti pria itu pun tahu apa yang dulu terjadi antara Kaizar dan dirinya. "Ya, oke, kita urusi saja urusan kita masing-masing!" pungkas Sean. * "Mulai sekarang, tidur di kamarku!" ucap Kaizar. "Aku sudah memperbarui kontrak, kamu bisa menambahkan apa yang kamu mau," ucap Kaizar datar usai dia makan malam bersama Nara, dia pun menyerahkan dokumen kontrak tersebut. "Hah?!" Nara tercengang. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD