Kaizar Berubah

1067 Words
Bab 10 "Kudengae Anda sakit?" sapa Dimas yang berpapasan dengan Kaizar di lobby kantor. "Aku baik-baik saja, dari mana kamu mendapatkan kabar itu?" selidik Kaizar. "Tentu saja dari istrimu, semalam dia mengabariku, menanyakan jadwalmu untuk hari ini, apakah ada meeting penting atau tidak? Ini dan itu!" jelas Dimas. "Apa? Dia meneleponmu malam-malam? Apa kalian sering berhubungan? Apa kalian tidak memiliki batasan?" sembur Kaizar, dia mendadak kesal saat mendengar Nara menelepon Dimas. "Ya, sering tapi tidak sesering itu, kami memang akrab—" "Ssttt!" potong Kaizar, dia menempelkan telunjuknya di bibir Dimas. "Apa? Kenapa?" tanya Dimas, lalu menyingkirkan tangan Kaizar dari bibirnya. "Mulai sekarang, jangan pernah menghubungi atau berhubungan dengan Nara lagi, bukankah setelah menikah, wanita dan laki-laki itu tidak boleh berteman?" oceh Kaizar. "Apa? Anda sedang cemburu, Bos? Padaku?" tekan Dimas dengan mata membeliak, menatap Kaizar. "Apa? Cemburu?" Kaizar gelagapan seperti seorang pencuri ikan yang ketahuan. "Enak saja! Cemburu! Kamu pikir aku pria macam apa, aku hanya enggak suka kamu—" Tiba-tiba saja Kaizar terdiam dan tak meneruskan perkataannya, lekas dia pergi dari hadapan Dimas. "Apa Bos? Anda enggak suka kalau aku masih berhubungan dengan Nara, begitu? Iya kan!" terka Dimas, seraya tersenyum meledek dan mengejar Kaizar. "Aku tak punya kewajiban untuk menjelaskan semuanya!" ketus Kaizar. "Aaah, aku mengerti, baiklah, nanti akan kutolak jika dia meneleponku, atau kujelaskan saja jika suaminya cemburu, hahaha!" ledek Dimas. "Diam!" sergah Kaizar, wajahnya memerah. "Jadi, pernikahan kontrak jadi cinta sejati, nih?" ledek Dimas masih belum puas menggoda Kaizar, yang saat ini masih mencoba menutupi rasa malunya. "Berhenti mengoceh!" kecamnya. "Mengaku dulu padaku!" pinta Dimas. "Nanti malam kita rapat ada beberapa yang harus kita bahas tentang poin-poin di kontrak itu," ujar Kaizar, mencoba mengalihkan agar Dimas tak terus mengusik dengan ledekannya. "Traktir aku steak," sahur Dimas. "Cih, dasar materialistis!" "Kontrak? Kontrak apa yang kalian maksud?" Tiba-tiba saja Kirana muncul menyela percakapan keduanya, entah sejak kapan gadis itu mendengar apa yang mereka bincangkan. "Tentu saja kontrak dengan klien," jawab Dimas, spontan saja. "Hah? Klien? Klien yang mana, Kai? Kenapa aku tidak mengetahui tentang itu, setahuku malam ini Kaizar tidak ada pertemuan kontrak," tepis Kirana, dia memang bukan orang yang mudah dibohongi. "Sudahlah tidak semua urusanku harus kamu ketahui," sergah Kaizar, ketus. "Tentu saja aku harus mengetahui, jika itu tentang pekerjaan, aku ini sekretaris pribadimu sekarang," ujar Kirana, tak mau kalah. Dia melangkah semakin mendekat, lagu-lagi tanpa ragu berusaha menggoda Kaizar. Dimas pun mencoba mengalihkan semua itu, dia tahu pasti jika bosnya tidak nyaman. "Bos, sepertinya Anda harus bergegas, banyak laporan yang harus Anda periksa." Kaizar pun mengerti kode itu, lalu dia menuju ruangannya tanpa mengindahkan Kirana. Namun, Kirana masih penasaran dengan kontrak yang dibahas keduanya, dia pun tak ingin tinggal diam. *** "Bolehkah aku bawakan makan siang untuk Anda, Tuan?" Sebuah pesan masuk mengusik Kaizar, di tengah kesibukannya. Ekor matanya melirik sudut kiri benda pipih yang tergeletak di meja kerja itu. "Ah, dia sungguh manis, sayang sekali, aku ada janji hari ini," gumamnya. "Aku ada janji dengan orang lain." Kaizar pun membalas singkat pesan dari Nara. "Baiklah." Tak lama kemudian, Nara membalas, walau tak tampak, tetapi Kaizar bisa merasakan jika pesan itu penuh kesedihan. "Besok saja!" Balasnya lagi dengan singkat, dan berharap itu bisa menghibur Nara di seberang sana. Nara tak membalas pesannya lagi, itu membuat Kaizar cemas. "Apakah dia marah?" "Apakah dia kecewa?" "Jangan-jangan dia akan mendiamkan aku seperti kemarin? Ah, tidak-tidak, itu sangat tidak nyaman!" Kaizar terus mengoceh sendirian seperti seorang pria yang kerasukan arwah penasaran. Sejurus kemudian, Kaizar kembali terhenyak oleh notifikasi pengingat dari ponselnya. "Janji temu." Entah siapa yang akan dia temui sebenarnya. *** Winda yang sedang meregangkan otot-otot setelah seharian bekerja terusik oleh dering ponsel tanda panggilan masuk. "Bestie! Ada apa dengannya? Apa dia akan curhat di siang bolong?" gumam Winda, lalu meraih ponsel dan menjawab panggilan itu. "Halo bestie, ada apakah?" sahut Winda. "Nanti ada ojek yang nganter makan siang buatmu, aku sudah janji, kan? Kamu jangan jajan," ujar Nara, nada bicaranya terdengar begitu menyedihkan. "Ada apa denganmu? Kamu merasa tertekan dengan janjimu sendiri?" sembur Winda yang merasakan kejanggalan dari sahabatnya itu. "Bukan, hanya saja aku kesal sudah repot-repot membuatkan makan siang untuk Kaizar, tapi dia menolaknya dengan alasan ada janji dengan orang lain," ungkap Nara. "Oh, jadi makanan yang tadinya buat Kaizar, kami kasih ke aku, menurutmu aku ini apa? Hah!" ledek Winda. "Tenang saja, itu makanan kan baru, Winda." Nara menggerutu. "Aku cemburu pada si b******k itu, gara-gara dia mendadak jadi suamimu, aku jadi pilihan nomor dua bagimu, ah menyebalkan," oceh Winda. "Apa kamu merasa cemas, Nara?" tanya Winda memastikan. "Hmm, sedikit tidak nyaman," jawab Nara, lalu mengembuskan napas berat. "Aish, itu bukan sedikit, tapi sangat tidak nyaman. Kamu mau aku membantumu mengawasi suamimu, memastikan jika janjinya bukan dengan wanita itu?" Winda menawarkan bantuan untuk sahabatnya. "Apa kamu bersedia?" sahut Nara antusias. "Tentu saja, tapi tidak ada yang gratis di dunia ini." Winda menyeringai dan menaik-turunkan alis. "Apa yang harus kulakukan untukmu?" tanya Nara. "Akan kupikirkan nanti, oke!" Winda pun mengakhiri panggilan, buru-buru dia bangkit dari duduk dan berlari kecil menuju lantai dasar. Saat dia berlari di koridor, tanpa sengaja dia bertabrakan dengan Sean yang saat ini juga bermaksud mengajak Kaizar untuk makan siang bersama. "Aw!" pekik Winda. "Kalau jalan pakai mata, donk!" sembur Sean. Keduanya terduduk di lantai. Lalu, bangkit dan membersihkan pakaian masing-masing. "Makhluk apa yang berjalan pakai mata? Guru mana yang mengajarkan hal itu? Dasar bodoh!" rutuk Winda, lalu dia kembali berlari tanpa mengindahkan Sean yang hendak memarahinya. "Wah, dasar wanita kurang ajar, berani-beraninya dia menjawabku," omel Sean. Kemudian dia bertemu dengan Dimas, yang baru saja keluar dari ruangannya. "Ada apa denganmu?" tanya Dimas, "kenapa kamu sering sekali datang ke sini? Mau pindah tempat kerja?" sindirnya kemudian. "Sialan! Gak bos, gak asisten, sama-sama menjengkelkan," gerundel Sean. "Di mana Kaizar? Aku akan membuat perhitungan dengannya, berani-beraninya dia menolak ajakan makan siangku," rutuk Sean sekali lagi. "Ck! Jika kamu terus menggerutu seperti itu, bulan depan kamu pasti jadi kakek-kakek, Sean!" ledek Dimas, lalu merangkul Sean, dan mengubah arah tujuannya. "Ada yang kalian sembunyikan dariku?" tanya Sean. "Manusia mana yang tak memiliki rahasia, hah?" Dimas membalikkan pertanyaan Sean. Sean menatap Dimas penuh curiga, dia yakin jika sahabatnya memang memiliki rahasia yang tak diketahuinya. * "Psikiater? Kenapa Kaizar pergi ke tempat seperti ini? Apa yang terjadi dengannya?" Kirana menginjak rem, ketika mobil Kaizar berbelok di sebuah klinik. Lalu dia juga ikut turun, dan buru-buru mengikuti Kaizar ke dalam klinik itu. "Apa yang sebenarnya terjadi?" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD