Kerokan

1540 Words
Ara menghentikan motornya di depan loby hotel.Beberapa tamu yang menginap kini menatapnya. Bukan, bukan Ara yang mereka perhatikan melainkan wajah pucat Julian dengan rambut berantakan. Kakinya pun gemetar serasa tidak memiliki tenaga untuk berjalan. Julian segera turun lalu duduk di undagan loby hotel. Jantungnya masih berpacu kencang, perutnya pun bergejolak ingin muntah. Julian pernah naik motor dibonceng kakaknya dulu, tapi tidak pernah sengebut itu. Layaknya pembalap amatir, Ara begitu ganasnya melajukan motor. “Bos,” panggil Ara setelah melepas helm lalu duduk di samping Julian. “Bos gak apa-apa? Bos sakit? Mukanya pucat banget, saya antar ke rumah sakit, ya,” kata Ara. Julian tidak bisa berkata-kata, membuka mulut pun tak saggup. Perutnya bergejolak dan kepalanya sedikit pusing. Ia ingin marah pada sekertarisnya, tapi apa daya Julian tidak mampu melakukannya. Tenaganya seperti disedot habis. Seorang pelayan hotel menghampiri lalu memberikan air untuk Julian “Terima kasih,” ucapnya pada pria yang ternyata seorang reception. Julian dipapah ke sebuah sofa yang biasa digunakan tamu hotel selama menunggu. Rasanya campur aduk, terlebih Ara masih berada di depannya. Ingin rasanya Julian membentak dan mengusir gadis itu, tapi ia masih membutuhkan Ara hari ini. Ya, hanya hari ini saja. Apa pun yang terjadi hari ini akan menentukan nasib gadis itu di perusahaan. “Bos baik-baik saja, ‘kan?” tanya Ara. Julian yang sudah lebih tenang pun menepis tangan Ara dari lengannya. Tatapan tajam pria itu seakan menusuk hati paling dalam. Tatapan tanpa toleransi. “Kamu tahu apa kesalahan kamu?” tanya Julian. Ara mengangguk pelan. Kapan dirinya melakukan hal yang benar di mata Julian. Pria itu selalu ingin menang dari orang lain. Ara bisa merasakan itu terpancar dari aura dan wajahnya. “Saya hampir berada di kantor polisi gara-gara kamu,” ucap Julian dengan suara kecil, tapi tidak mengurangi nada kerasnya. Beberapa orang berlalu-lalang di lobi membuat Julian tidak bisa mengeluarkan suara keras. “Maaf, Bos. Oh, iya Bos ruang meeting di mana?” Julian kembali teringat tujuannya datang ke hotel. Matanya membola saat melihat jam di tangan. Sekitar satu menit lagi acara akan dimulai sedangkan mereka masih di lobi duduk di sofa sambil berbincang kejadia di jalan. “Sekarang ke ruang meeting. Cepetan,” kata Julian. Ara membereskan semua barangnya begitu juga dengan Julian. Mereka bertanya pada staf hotel letak ruang pertemuan. Setelah mendapat arahan Julian dan Ara pun berlari naik tangga ke lantai dua. Pintu ruangan Rajawali meeting room sudah ditutup. Mrs. Karina berada di depan pintu menunggu kedatangan Julian. Mata Ara sudah melirik-lirik menu coffee break yang disiapkan di depan pintu masuk. Aroma kopi yang menggoda membuatnya tanpa sadar mematung. Julian yang tahu akan kelakuan norak sekertarisnya pun menarik tangan Ara untuk masuk ke ruangan. Di depan sana sudah ada seorang pria melakukan presentasi. Mereka duduk paling belakang di mana sudah ada satu orang marketing perusahaan yang menunggu. “Pak wajah Anda pucat,” bisik pria yang ada di samping Julian. Dia adalah ketua tim marketing paling dipercaya Julian. Mereka tampak akrab. Ara yang duduk di samping kanan Julian pun mencuri dengar pembicaraan mereka. “Ya, saya tahu. Gara-gara seseorang saya jadi seperti ini. Masih untung bisa tiba di hotel bukan di kantor polisi,” kata Julian melirik Ara dari ekor matanya. Ara tidak membalas karena ia sadar telah berperan cukup banyak dalam memperburuk hari bosnya. “Bos rambutnya berantakan,” kata Ara. Julian baru sadar akan keadaan rambutnya yang acak-acakan. Ia merapikan rambut dan juga jasnya. Ara menengok ke samping dan ke depan, meja orang-orang sudah tersedia air dan kudapan, berbeda dengan mejanya hanya disediakan air dan permen. “Bos boleh ngopi gak?” bisik Ara. Setelah kabur dari polisi tiba-tiba perutnya lapar. Terbayang akan kudapan di luar sana. Pasti akan lebih enak dimakan dengan kopi atau teh. Julian yang tahu arah pembicaraan mereka pun memberikan izin Ara mengambil makanan. “Bawakan saya juga. Ingat jangan banyak-banyak. Malu,” katanya membuat Ara mengangguk. Gadis itu keluar mengambil beberapa cemilan dan minuman kemudian masuk lagi. “Ini Bos.” Ara meletakkan piring B&B plate di depan Julian lengkap dengan kopi hitam aroma wangi. Dari baunya saja sudah bisa dirasakan betapa nikmatnya kopi itu. Julian menangkap kecurangan sekertarisnya. Ara menyuguhkan tiga macam cemilan yang berbeda untuknya, sedangkan gadis itu mengambil lebih dari tiga. Julian merasa sangat malu, tapi untungnya mereka duduk di belakang. Julian sudah bersiap untuk presentasi dan dibantu staf marketing. Awalnya berjalan lancar sampai akhirnya beberapa orang dalam ruangan itu tertawa. Ara sendiri heran apa yang ditertawakan begitu juga dengan Julian.Ketika ia berbalik ke belakang Julian jadi paham mengapa orang dalam ruangan itu menertawakan dirinya. Ada animasi kelinci sedang meloncat-loncat. Itu memalukan untuk seorang Julian. Tatapannya mengarah pada Ara yang sedang menundukkan kepala. Sadar apa yang telah sekertarisnya lakukan Julian pun ikut tertawa untuk mengurangi rasa malu. Ia sedang menertawakan kemalangannya sendiri. “Kamu mau mempermalukan saya?” kata Julian ketika mereka akan makan siang. Ara berusaha tenang untuk meredakan amarah Julian. “Enggak, Bos. Saya tidak bermaksud seperti itu.” “Terus kenapa ada kelinci loncat-loncat?” Julian berkacak pingang menatap Ara intens dan menyeramkan. “Dia lagi bahagia makanya loncat-loncat. Kelincinya imut jadi―” “Terus kenapa kalau kelincinya imut, apa hubungannya dengan pekerjaan saya?” Ara mengulum bibir bawahnya. Saat ia menambahkan animasi itu yang terpikirkan di kepalanya adalah presentasi akan jadi menarik. Namun, justru itu membuat ia terkena omelan. Julian tidak suka sesuatu yang imut, mungkin. Atau pria itu tidak menyukai sesuatu yang indah. Seleranya sangat kaku. “Pak Julian.” Panggilan seseorang membuat tatapan Julian teralihkan. Wajah dinginnya berubah hangat lengkap dengan senyuman. Itu adalah topeng, Julian sering menggunakannya untuk menipu lawan. Seperti sekarang ini, wajahnya yang menakutkan terlihat sangat tampan dan menawan dalam waktu sepersekian detik. “Hai, Mr. Robert.” Julian menyalami Robert dan Karina yang ada di belakang. “Apa kalian sedang diskusi?” tanya Robert. “Ya, kami sedang diskusi, tapi tidak terlalu penting. Hanya masalah kecil.” Pak Robert mengangguk. Pria yang memiliki tinggi tidak sampai 170 cm itu menatap Ara sejenak. “Sekertaris baru Anda?” Lagi. Julian mengangguk. Pak Robert semakin memperlebar senyumnya. “Saya suka sekali presentasinya, sangat menghibur,” kata Pak Robert membuat Julian malu. Antara mengejek atau memuji beda tipis. “Terima kasih. Sekertaris saya memang kreatif, itu yang membuat saya suka karena idenya berbeda dari yang lain” jawab Julian membuat Mrs. Karina pun ikut tertawa. Ara tersenyum kaku. Baru saja Julian bilang menyukainya? Dia yakin itu adalah bohong. Ara benci orang pembohog seperti itu. “Baiklah, saya lunch dulu. Semoga nanti kita bisa bekerjasama. Saya akan mengumumkan pemenang tender minggu depan,” ucapnya lalu pergi meninggalkan Julian. Ara menatap bosnya yang terlihat tertekan. Wajahnya terlihat frustrasi. Julian sudah melakukan pekerjaan dengan maksimal. “Kalau kali ini gagal lagi, saya akan mengundurkan diri,” gumam Julian lemas membuat Ara kaget. Julian lalu pergi meninggalkan Ara yang mematung di depan pintu masuk ruang meeting. “Bos tunggin saya!” teriak Ara lalu berlari menyusul Julian. *** Sudah lebih dari sepuluh menit Ara berdiri menatap Julian yang sedang tiduran di sofa. Wajahnya ditutup satu tangan. Ara belum bertanya prihal ucapan Julian di hotel tadi. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada bosnya. “Kamu gak ada kerjaan lihatin saya tidur?” tanya Julian. Kali ini Ara mendekatinya sembari meremas kedua tangan. “Bos?” Julian hanya bergumam. Ara bersimpuh di lantai dekat Julian. Butuh keberanian untuk bicara pada bosnya. Ara mengatur napas sebelum berujar. “Bos capek, ya. Mau saya pijit?” tanya Ara membuat kening Julian menyatu. Pria itu menurunkan lengannya lalu menoleh pada Ara. Ditatapnya lekat-lekat gadis itu untuk melihat kesungguhannya. “Beneran kamu bisa pijit? Saya lagi gak enak badan kayaknya masuk angin gara-gara naik motor,” ucapnya. Ara mencoba bersabar karena Bejo sedang difitnah. Tentu bukan karena naik motor Julian langsung masuk angin, tapi karena Julian hanya menggenakan kemeja saja saat ke kantor tadi. “Saya punya cara ampuh buat ngilangin masuk angin.” Julian semakin ragu dengan ucapan Ara. Bagaimana gadis itu akan mengatasi masuk angin tanpa obat? Ara merogoh tasnya mengambil satu keping koin dari dompet. “Pakai koin. Kerokan,” kata Ara memberikan jawaban untuk Julian. “Kamu yakin masuk angin bisa hilang pakai koin itu?” Ara mengangguk semangat. Julian ragu-ragu, tapi Ara kembali meyakinkan dirinya. Mau tidak mau Julian akhirnya mencoba. Ia membuka pakaian atasnya lalu telungkup di sofa. “Kalau saya tidak sembuh kamu saya hukum.” “Iya, Bos. Siap. Kalau masuk anginnya hilang Bos harus menjawab pertanyaan saya. Bagaimana?” Julian memalingkan wajahnya pada Ara. “Tentang apa? Saya tidak mau jawab pertanyaan yang tidak berguna.” “Hanya tiga pertanyaan yang ingin saya tahu.” Julian diam sejenak lalu akhirnya mengangguk. Ara mulai membuat garis-garis merah di punggung Julian. Kulit putih bersih dan halus itu membuatnya iri. Sebagai pria Julian memiliki kulit yang sehat dan terawatt, wanita mana pun akan iri melihatnya. Suara dengkuran membuat Ara sadar kalau bosnya sudah terlelap. Ara melambaikan tangan di depan wajah Julian, tapi pria itu tak terusik sedikit pun. Wajah tampan itu terlihat damai dan menenangkan. Andai Julian bisa mengontrol emosinya lebih baik, mungkin banyak gadis yang menyukainya. Ara duduk di lantai menekuk kedua lututnya menatap Julian dari jarak yang cukup dekat. Andai Bos bersikap baik mungkin gue bakalan suka dan betah kerja di sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD