Suatu kebetulan memang ada di dunia ini, tetapi Ara tidak menyangka kalau mantan bos temannya kini menjadi bosnya. Ini seperti cerita yang masih bersambung. Setelah pulang dari rumah Tina membuat Ara menjadi gundah. Ia duduk dekat jendela menatap ke langit yang mendung. Tidak ada bintang dan bulan, mungkin sebentar lagi akan hujan.
Prediksi cuaca sejak pagi kalau daerahnya akan dilanda hujan ringan, tapi dari pagi hanya terlihat mendung. Mungkin malam ini akan turun hujan. Ara kembali teringat ajakan Tina untuk tinggal di sebuah apartemen. Obrolan berawal ketika Tina mengeluh jarak tempat kerja dan rumahnya yang cukup jauh. Jika lalu lintas dalam keadaan lenggang mungkin tidak masalah baginya pulang pergi. Namun, semua orang tahu ibu kota adalah kota terpadat yang menjadi langganan kemacetan lalu lintas.
Tina berencana pindah ke apartemen yang dekat dengan tempat kerjanya, tapi ia masih memikirkan matang-matang mengingat biaya sewa yang terbilang mahal. Walau hanya untuk satu kamar apartemen kecil. Ini ibu kota, semua serba mahal. Kerasnya ibu kota sangat terasa bagi mereka yang baru bekerja. Tina berencana mengajak serta Ara tinggal di apartemen. Tidak perlu apartemen mewah, cukup untuk mereka tidur dan masak.
Ara juga ragu. Ia ingin mandiri tinggal di apartemen sederhana dan hidup jauh dari keluarganya. Namun, ia tidak tega melihat ibunya di rumah sendiri ketika ayahnya bekerja sampai malam. Ara berada dalam pilihan sulit. Ia ingin bebas sama seperti remaja lainnya, tapi ia berjanji akan mengirim uang untuk kedua orang tua. Selama ini ia tidak pernah jauh dari orang tuanya.
Lagi-lagi, pikiran untuk pindah itu harus dipatahkan saat melihat ibunya berkeringat membuat kerupuk untuk dijual. Penghasilan menjual kerupuk beras tidaklah banyak, tapi cukup untuk membeli lauk. Meski ibunya cerewet dan pemarah tidak membuat Ara dengan mudah memutuskan untuk pergi.
Ara kembali tertarik dalam dunia nyata. Ketukan pintu membuatnya beranjak dari dekat jendela yang sedang ditutupnya. Wajah keriput dan menua ibunya yang pertama kali ia lihat. Perjuangan masa kecilnya pun terlintas. Itu masa buruk untuk pertumbuhan anak sekecil Ara. Ia tidak pernah merasakan bermain ketika pulang sekolah, untuk itu sekolah menjadi tempat yang menyenangkan untuknya.
“Ada apa, Bu?” tanya Ara membuka lebar pintunya.
“Makan dulu, kamu belum makan sejak pulang kerja.” Ara tertegun, untuk pertama kalinya Diana bicara baik-baik,biasanya sang ibu tidak peduli apa Ara sudah makan atau belum meski sering kali ia menyisakan makanan di dapur. Siapa tahu Ara lapar di tengah malam.
“Ara sudah makan, Bu. Si Yanti maksa buat makan bareng sebelum Ara pulang,” jawabnya.
“Jadi kamu ke rumahnya Yanti? Kenapa dia gak main lagi ke sini?” Ara tersenyum tipis.
“Dia sibuk banget maklum staf baru sama seperti Ara,” ucapnya. Diana yang mulai merasakan lapar pun segera pergi. Ara kembali menutup pintunya tidak lupa untuk mengunci. Sudah menjadi kebiasaan ketika ia tidur mengunci pintu kamarnya.
Malam yang mendung diikuti suara gemuruh dan gemericik air hujan. Ara berharap besok langit cerah, kalau pun hujan semoga tidak banjir. Ara meletakkan ponselnya setelah menyetel alarm pagi. Tidurnya akan sangat nyenyak ketika hujan mengguyur.
***
Doa-nya terkabul. Di langit awan hitam sudah menghilang digantikan cahaya kuning yang mulai menerangi. Ara sudah bersiap menyambut hari cerah dengan harapan meeting berjalan lancar. Walau semalam hujan mengguyur cukup deras dalam waktu yang sebentar, tetap saja Ara tidak bisa tidur nyenyak.
Bayang-bayang ruang meeting menghantui dirinya. Ini pertama kalinya selama hidup ia akan menyaksikan presentasi dari pengusaha. Ara berharap perusahaannya memenangkan tender. PT. Genery Kontruksi akan bertaruh dengan PT lainnya untuk memenangkan sebuah proyek pembangunan perumahan elit. Ini akan menjadi proyek Triliunan.
Ara mempersiapkan diri dengan baik. Satu kesalahan saja bisa membuat proyek besar itu raib diambil perusahaan lain. Konsep green & smart city memang lagi diminati oleh orang-orang perkotaan. Ara rasa keyakinan yang besar kalau Julian akan memenangakn proyek ini.
“Oke, semua sudah siap. Sekarang berangkat,” gumamnya. Baru saja Ara memasukkan ponsel ke kantong jaket tiba-tiba ponselnya bergetar. Pesan singkat dari Julian.
Cepat ke hotel, saya tidak mau kamu terlambat dan mempermalukan saya.
Ara segera membalasnya kemudian bergegas berangkat. Naik motor butut yang selalu menemainya ke mana pun. Namanya Bejo, si putih kesayangan Ara. Sejak SMA si Bejo selalu menemani, bahkan hanya sekadar beli gula di warung depan gang. Bejo selalu bisa diandalkan ketika kaki malas bergerak.
Situasi lalu lintas masih berada dalam keadaan normal. Meski sudah banyak yang berlalu-lalang, tapi lalu lintas tetap lancar. Andai Ara berangkat tiga puluh menit lagi mungkin keadaan akan berbeda.
Saat asyik memikirkan kontribusi kendaraan dalam menyumbang polusi udara di ibu kota, tanpa sengaja Ara melihat sosok tampan Julian mejeng di jalan. Ini adalah fenomena langka yang jarang terjadi. Wajah tampan yang nampak kusut begitu pas dengan backgroud seng pembatas berkarat di belakangnya. Ada warung kecil reot yang masih tutup, mungkin karena masih pagi. Rumput liar yang cukup rimbun berlomba-lomba menampakkan diri dari balik seng. Ara mulai menerka apa yang dilakukan Julian di sana. Ia tampak kesal sembari memegang ponsel di tangan kanan sedangkan tangan kiri memijat kening.
Ara segera menepikan motornya. Julian menutup telepon kemudian menatapnya.
“Pagi, Bos,” kata Ara. Julian meneliti motor dan penampilan sekertarisnya. Kalau dilihat-lihat ia cukup malu dengan dandanan Ara seperti preman. Jaket kulit hitam yang Julian tahu itu KW super yang dibeli di pasar. Mungkin bisa ditawar dengan harga murah.
“Kenapa Bos? Belum pernah lihat cewek cantik naik motor?” ucap Ara sembari meneliti penampilannya.
“Cih, cewek cantik. Saya sudah pernah lihat kamu naik motor,” jawab Julian. Ponselnya bergetar. Julian membuka pesan yang masuk lalu menendang ban belakang motor sampai ia menjerit kesakitan.
“Aish, sial,” gumamnya yang masih bisa di dengar Ara.
“Gak baik ngomong kayak gitu Bos. Ingat kata-kata itu doa.”
“Iya, saya tahu bawel.” Julian melirik motor Ara, lalu menggeleng cepat. Naik motor ke hotel bukan pilihan yang tepat. Ia harus mencari kendaraan lain yang lebih berkelas untuk menunjukkan citranya sebagai pemimpin. Bos perusahaan besar yang akan mewarisi triliunan aset keluarga.
“Mobilnya kenapa, Bos?” tanya Ara sembari menopang dagu, tangannya bertumpu pada kepala motor. Julian menutup kap mesin mobil lalu mengambil barang-barang yang ada di dalam. Tidak lupa kaca mata hitam yang tidak pernah absen bertengger di hidungnya.
“Mobil saya mogok. Saya harus nyari taksi,” ucapnya sambil sibuk mendownload aplikasi taksi online. Beberapa kali ia melihat jam, berharap sampai tepat waktu di hotel.
“Bos,” panggil Ara sembari menepuk jok motornya. Ia memberi isyarat agar bosnya berboncengan dengannya ke hotel.
“Saya nggak mau naik motor,” ucap Julian sedikit ketus.
“Yaelah Bos, turunin gengsinya dikit kenapa? Kalau kita telat, tender bisa gagal. Saya sudah punya sim (tapi pakai calo sih) surat-surat lengkap, bensin motor penuh, tapi rem agak blong,” ucapnya menakut-nakuti . Julian semakin ngeri dan jelas menolak. Ia juga tak berniat naik motor butut.
“Becanda, Bos. Kalau blong saya udah nyungsep dari tadi.” Ara mengusap-usap joknya menggoda Julian supaya mau duduk di sana.
“Saya naik taksi online saja. Kamu pergi saja duluan ke hotel, tunggu saya di sana,” kata Julian. Matanya masih awas pada layar ponsel yang menampilkan aplikasi yang sedang mencari kendaraan. Namun, takdir seakan mempermainkan dirinya pagi ini. Secara jelas tertulis maaf, driver kami sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi . Lengkap sudah masalahnya pagi itu. Motor mogok, bengkel belum buka sedangkan anak buahnya masih dalam perjalanan. Lama ia berpikir, lebih baik naik motor dari pada bemo atau angkutan umum lainnya.
“Benar bos gak mau naik? Saya hitung sampai tiga, ya. Satu ….” Julian menggigit bibir bawahnya.
“Dua ….” Julian meremas ponselnya. Ia ingin membanting benda itu saking jengkelnya.
“Ti--” Ara berhenti bicara saat merasakan Julian sudah duduk di belakangnya. Berpikir lebih lama lagi akan memperlambat kedatangannya ke hotel.
“Jalan,” perintah Julian. Ara mulai men-stater motornya, tapi Julian malah turun dan berdiri di sampingnya.
“Helm saya mana?”
“Gak ada. Saya cuma bawa satu,” jawab Ara.
“Ya, sudah saya pakai helm kamu saja,” kata Julian. Ara jelas tidak memberikan helm-nya.
“Terus kalau ada apa-apa dengan saya bagaimana Bos? Lagi pula Bos duduk di belakang pasti aman biar saya saja yang pakai. Aman kok Bos,” kata Ara.
“Kalau terjadi apa-apa dengan saya kamu mau tanggung jawab. Kalau kamu mengalami luka saya akan menjamin perawatan kamu. Jadi berikan helm itu pada saya.” Julian menengadahkan tangan agar Ara menyerahkan helm satu-satunya.
“Iya, kalau cuma luka bagaimana kalau mati?” kata Ara.
“Saya bisa siapkan santunan kematian sekarang,” ucap Julian membuat Ara geram. Bosnya memang tidak punya hati. Selalu mementingkan diri sendiri. Ia kira nyawa bisa diganti dengan uang? Sebanyak-banyaknya punya uang belum bisa membeli nyawa. Uang hanya bisa membinasakan nyawa.
“Bos di sini saja nunggu taksi online. Saya sendiri saja ke hotel,” kata Ara. Julian memegang tangannya yang ingin memutar gas. Dengan berat hati Julian akhirnya kembali duduk dan menikmati perjalanan.
“Ya, sudah jalan.” Ara tersenyum senang, ia pun mulai meninggalkan mobil mogok itu di pinggir jalan. Julian yang memakai kacamata hitam dan masker menutupi wajahnya menjadi pusat perhatian. Julian melihat ada gerombolan polisi yang turun dari mobil patroli untuk mengamantakn lalu lintas. Perasaan Julian sudah tidak enak ketika seorang polisi berperut buncit, berjidat lebar itu menatapnya.
Ara pun sama. Ia takut di tilang apa lagi Julian tidak pakai helm. Di sinilah masalah kembali muncul. Ara melihat lampu menyala kuning. Ia harus ngebut saat melihat beberapa motor terjaring razia. Ini masih pagi dan masyarakat sipil sudah dikejutkan oleh operasi dadakan polisi. Ara yakin mereka yang mengantuk seketika segar kembali saat melihat polisi.
Lampu akhirnya berubah hijau. Dengan kekuatan penuh Ara melesatkan motornya. Suara peluit memintanya berhenti semakin nyaring di telinga. Namun, gadis itu tidak peduli. Ia yakin akan diperiksa dan ditilang, tapi untuk saat ini hanya sekali saja ia melanggar aturan. Pentongan warna merah nyaris mengenai kepalanya saat melewati seorang polisi muda.
“Hei kalian berhenti!” teriaknya, Ara mengebut agar bisa menjauh dari polisi. Julian sudah lemas, tangannya melingkar di pinggang Ara. Ia sudah tidak tahu harus bicara apa lagi. Ara sangat senang bisa bebas dari polisi itu. Berbeda dengan Julian yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pucat pasi. Ia tidak bisa berkata-kata atas apa yang baru saja ia alami. Julian, pria yang dikenal disiplin baru saja melanggar aturan. Bagaimana kalau jalanan itu dilengkapi CCTV? Hancur sudah reputasi yang ia jaga selama ini kalau-kalau media mengangkat beritanya ke televisi. Rambutnya pun berantakan ditiup angin. Julian sudah pasrah,
Tuhan, kenapa pagi hariku sangat buruk?