Banyu memang hanya memasak seperlunya saja. Untuk makan malam, nanti masak lagi, agar apa yang mereka makan berbeda untuk tiga kali makan. Hanya nasi saja yang dimasak sekalian untuk tiga kali makan.
Mira sendiri, tidak banyak makan. Mira lebih banyak makan cemilan dari pada makan nasi.
"Nasinya habis ya?" Tanya Meera, karena tiga orang di depannya diam saja.
"Nasi banyak, Mi. Tapi ...." Ucapan Banyu menggantung.
"Ini, Mami makan sama sop ini. Rara, makannya berdua Lala, iya'kan La?"
"Iya. Ini nasinya belum dimakan kok, Mi. Lala biar ambil lagi nasi."
Rara menyodorkan mangkuk sopnya, Lala menyodorkan nasinya. Banyu segera mengambil nasi lagi untuk putrinya.
Meera makan bertiga dengan kedua putri Mira. Ia menyuap makanannya tanpa bicara. Rara, dan Lala saling tatap. Mereka merasa Mami mereka bagai orang asing yang tidak mereka kenal sebelumnya.
Mami mereka yang sebelum kecelakaan itu cerewet, bawel, selalu bertanya sampai mendetail tentang sekolah mereka, ataupun tentang apa saja. Tapi, Mami mereka yang ada di hadapan mereka saat ini, sangat jauh berbeda.
Banyu sendiri, setelah mengambilkan nasi untuk putrinya, langsung ke belakang rumah untuk mencuci pakaian.
Sesekali Rara, dan Lala saling tatap. Mereka berbicara lewat mata mereka. Mereka merasa, tubuh Mami mereka masih sama, tapi jiwanya sangat berbeda.
Banyu sudah selesai mencuci pakaian, dan menjemurnya di bawah atap plastik. Ia masuk ke dapur, Rara, dan Lala mencuci perabot bekas makan.
"Mami mana?" Tanya Banyu.
"Masuk kamar, Pi," jawab Rara.
"Pi, yakin itu Mami kita?" Tanya Lala.
"Papi mengerti apa yang kalian pikirkan. Tapi, dia memang Mami kalian. Mami terlihat berbeda, karena sedang amnesia. Dia lupa semuanya, melupakan kita juga. Dia masih bingung, jadi kalian harus mengerti kondisi Mami ya."
"Iya, Pi."
"Kalian istirahat ya, masih ada waktu sebelum Ashar."
"Ya, Pi."
Rara, dan Lala ke luar dari dapur. Mereka masuk ke dalam kamar mereka, begitupun Banyu juga. Ia masuk ke dalam kamar tidurnya, dan Mira.
Dilihatnya Meera tengah berdiri di dekat jendela, menatap kebun sayur mini mereka.
"Mi ...." Banyu menyentuh bahu Meera. Meera mengusap pipinya. Ia tengah merindukan Maminya. Merindukan kamarnya, merindukan teman-temannya, merindukan saudara, dan saudara iparnya. Tapi, ia tidak merindukan Papinya. Sejak ia tahu, Papinya berselingkuh, rasa hormat pada Papinya sirna. Rasa cintanya menguap.
"Mi ... ungkapkan apa yang Mami pikirkan sama Papi. Jangan terbebani oleh apapun. Papi mencintai Mami, Papi tidak ingin ada air mata kesedihan menetes dari mata Mami."
"Andai kamu diberi kesempatan menjadi orang kaya, apa kamu akan tetap mencintai istrimu ini? Apa kamu tidak akan mencampakkannya, dan mencari istri baru."
Meera memutar tubuhnya, wajahnya mendongak, untuk menatap wajah Banyu.
Banyu menundukkan wajahnya, tatapan mereka bertemu.
"Papi tidak tahu apa yang Mami pikirkan, sehingga muncul pertanyaan seperti ini. Tapi, akan Papi jawab." Banyu menarik nafasnya, dinaikan dagu Meera dengan ujung jari telunjuknya.
"Papi cinta Mami. Dari dulu sampai sekarang tak ada yang berubah. Dan, Papi yakin, cinta Papi tidak akan berubah, meski kehidupan kita berubah lebih baik dari sekarang. Hidup Papi, hanya untuk membuat Mami, dan anak-anak bahagia."
Meera tersenyum sinis. Ia menepiskan tangan Banyu yang memegang dagunya.
"Pria selalu begitukan, tapi kenyataannya, tidak seindah janji yang ia ucapkan." Meera memutar tubuhnya, tatapannya kembali pada kebun kecil yang memanjakan mata.
Terong dengan warna ungunya, cabe dengan warna hijau, dan merah. Tomat dengan warna kuning, orange, dan juga merah.
"Memang perlu pembuktian untuk hal itu, Mami. Tapi, kita juga harus punya keyakinan, apapun yang berubah di dalam hidup kita, tidak akan merubah perasaan cinta di antara kita. Heehh ... sebelumnya kita tidak pernah membicarakan hal seperti ini, Mami. Persoalan paling serius yang kita bicarakan, biasanya tentang anak-anak."
Meera hanya diam saja. Banyu mengusap lembut bahu Meera.
"Entah kenapa, Papi merasa Mami seperti tidak sedang amnesia. Papi merasa, seperti ada jiwa baru yang menghuni tubuh Mami."
Meera memutar tubuhnya.
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Karena tidak terlihat ada satu hal pun yang Mami ingat tentang kita. Papi rasa, orang yang mengalami amnesia, setidaknya memiliki kelebatan tentang masa lalunya. Tapi, Mami ...." Banyu menggantung ucapannya.
Meera terdiam sejenak, sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya. Bagaimana kalau ia mengakui saja, kalau yang saat ini berada di dalam tubuh Mira adalah jiwanya. Bukan jiwa Mira, bukan karena Mira amnesia. Tapi, karena kedua jiwa mereka yang berkelana, lalu jiwanya berlabuh di dalam tubuh Mira. Jiwa Mira sendiri entah di mana.
Meera mendongak, menatap wajah Banyu dengan lekat.
"Kamu benar, aku memang ...."
BERSAMBUNG