PART. 9

734 Words
Meera cukup lama menumpahkan tangisnya, kemudian ia sadar berada di dalam pelukan Banyu. Dipukul lengan Banyu yang memeluknya. "Jangan mencari kesempatan ya." "Kesempatan apa?" "Sana, jauh-jauh, jangan peluk-peluk!" Meera berusaha mendorong tubuh Banyu, tapi Banyu malah mengeratkan pelukannya. 'Meera, itu tubuh istrinya, kamu tidak bisa menolak dia. Berikan haknya!' "Tidur lagi yuk, Mi. Hujan, dingin, enak tidur sambil berpelukan. Lebih enak lagi kalau sambil Mimi s**u Mami." Banyu meremas d**a Meera lembut. "Apa!?" Ingin sekali Meera berteriak memaki Banyu. 'Sudah miskin, belagu, m***m pula! Dasar tukang sayur norak. Ya Tuhan, tidak pernah terbayangkan kalau aku akan merasakan dipeluk, dan dicium tukang sayur. Apa aku harus melayani dia untuk bercinta juga. Huuuh! Awas ya, kamu Banyu. Kalau jiwaku sudah kembali ke tubuhku. Akan aku cari kamu, akan aku buat perhitungan denganmu. Akan aku sengsarakan hidupmu!' 'Meera, meski itu kata hatimu, tapi aku bisa mendengarnya. Ingat peraturannya.' Meera menghembuskan kuat nafasnya. "Awww!" Meera berseru tertahan, saat merasakan miliknya disentuh. Ditolehkan kepalanya, senyum Banyu menyambutnya. "Apa yang kamu lakukan, lepaskan!" Meera berusaha menarik tangan Banyu yang menyusup ke balik celana dalamnya. "Yakin, ingin dilepaskan?" Meera menutup matanya, merinding seluruh tubuhnya. Pinggulnya terangkat, satu tangannya mencengkeram sprei, yang satu mencengkeram lengan Banyu. Tangan Banyu yang menjadi bantal Meera menggapai buah d**a Meera, diremas lembut d**a Meera yang masih tertutup pakaiannya. Meera menggigit bibirnya, punggungnya terangkat, pinggulnya bergoyang. Ini memang tubuh Mira, tapi ia yang merasakan sentuhan Banyu. "Mi ...." Banyu bangun dari berbaringnya. Ia berlutut di dekat kaki Meera. Kedua tangannya sudah memegang pinggang celana dalam Meera, saat terdengar panggilan dari pintu samping rumah mereka. "Assalamualaikum, Papi, Mami!" "Anak-anak." Banyu tidak jadi melepaskan celana Meera. Ia turun dari kasur, lalu mengenakan celana pendek, dan kaos oblongnya. Ia ke luar dari kamar. "Walaikum salam, sebentar, Neng!" Banyu mencuci tangan, dan wajahnya dulu, di tempat wudhu, sebelum membukakan pintu untuk kedua putrinya. "Assalamualaikum, Papi." "Walaikum salam." "Mami sudah pulangkan?" "Mami masih tidur. Kalian langsung mandi ya. Papi panaskan dulu sayur sopnya " "Ya, Papi." Sementara itu di dalam kamar, Meera turun dari kasur, ia masuk ke dalam kamar mandi, ia buang air kecil, lalu mencuci mukanya. Ia sering pacaran, hanya untuk kesenangan, tapi sentuhan hanya sampai pada tahap berciuman, dan berpelukan. Kejadian sesaat tadi, membuat bulu tubuhnya seperti tidak berhenti meremang. Meera merasa jemari Banyu masih menempel di sana. Tubuhnya bergidik, membayangkan andai anak-anak Banyu tidak datang. 'Si Mira ini badannya jelek sekali, tapi Si Banyu kok bisa nafsu sekali ya. Mungkin karena Si Banyu tidak punya pilihan, dia butuh pelampiasan untuk kemesumannya. Ingin jajan tidak punya uang, untuk selingkuh, siapa yang mau selingkuh dengan tukang sayur. Kecuali satu level, sesama tukang sayur, atau dengan tukang jamu keliling.' 'Meera, aku mendengarkanmu. Ingat jangan menghina siapapun. Jangan merendahkan orang lain.' "Kenapa kamu selalu menempel di di dekatku. Tidak bisakah kamu pergi saja, dan melihat aku hanya dari kejauhan?" Pria berbaju putih muncul di dalam cermin di hadapan Meera. "Aku ada di dalam dirimu," ucapnya sambil tersenyum, lalu menghilang. Meera memejamkan mata, apa yang terjadi padanya sungguh di luar akal sehat. Andai ia ceritakan pada orang lain, pasti tak ada yang percaya padanya. Meera ke luar dari dalam kamar mandi. Lalu ia ke luar kamar. Ia penasaran dengan kedua putri Mira. Apakah gendut seperti Maminya juga. Sebelum ke luar kamar, Meera berdiri di depan cermin yang bisa memantulkan seluruh tubuhnya. Daster merah yang ia kenakan terlihat Kumal di bagian d**a, itu karena pekerjaan m***m Banyu. Seumur hidupnya, baru kali ini Meera mengenakan daster. Baginya, daster itu pakaian para pembantu. Sosialita kaya raya seperti dirinya tidak pantas memakai daster. Meera mengusap bagian yang kusut, namun usapannya tidak merubah yang kusut menjadi rapi kembali. "Dasar pria m***m! Miskin, m***m, belagu!" Meera ke luar dari dalam kamar. Aroma sayur sop, menggugah penciumannya. "Mami!" Meera terpaku di tempatnya, dua orang gadis gendut memeluknya bersamaan. "Kita berdua kangen sekali sama Mami." "Iya, Mi." "Neng, Papi sudah bilang, Mami itu sedang amnesia, lupa segalanya. Kalian perkenalkan dulu nama kalian sama Mami. Biar Mami teu bingung, kalau memanggil kalian." "Mami duduk dulu, Mi." Salah satu dari gadis kembar itu menarik tangan Meera, ia mendudukan Meera di atas kursi. "Nama Neng, Ayuning Armila, dipanggil Lala. Ini adik Neng, namanya Ayunda Almira, dipanggil Rara. Kami kembar, Mami. Usia kami lima belas tahun." Gadis yang memakai baby doll bergambar Dora Emon memperkenalkan dirinya, dan saudaranya yang memakai baby doll gambar keropi. Meera bingung harus bicara apa. Aroma sop membuat perutnya terasa lapar. Meera menatap Banyu. "Aku lapar," ucapnya tanpa rasa malu, sambil menatap sop di dalam mangkok. Banyu, dan kedua putrinya saling tatap. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD