Usai makan malam, Dinda kembali sendirian di kamar. Kevin tak terlihat lagi dan gadis itu menyimpulkan bahwa Kevin sangat tak terduga karena sudah tiga kali ia mendapati Kevin mendadak tak ada. Namun, Dinda menebak bahwa kali ini Kevin tengah turun untuk makan.
"Banyak banget bukunya," gumam Dinda yang baru saja membuka salah satu pintu yang ada di ujung kamar. Ia sempat mengira itu adalah walk in closet, tetapi ternyata itu adalah ruang yang mirip dengan perpustakaan. "Mungkin, mas Kevin hobi baca buku."
Itu cocok untuk Kevin yang tak bisa bicara, pikir Dinda. Karena penasaran dengan ruangan itu, Dinda pun mulai melihat-lihat. Ia tak menemukan banyak buku yang menarik karena kebanyakan non fiksi, karya ilmiah dan buku-buku ekonomi. Namun, Dinda tiba-tiba menemukan buku kenangan sekolah di salah satu rak.
Dinda mengedarkan matanya, ia merasa lancang jika ia melihatnya tanpa izin. Namun, ia penasaran. Jadi ia mulai membukanya. Itu adalah buku kelulusan SMP dan Kevin bersekolah di sekolah biasa. Itu artinya, Kevin belum lama—bukan sejak lahir—bisu.
"Apa yang terjadi sama mas Kevin?" Dinda bergumam. Ia melihat foto-foto ceria Kevin di halaman demi halaman buku itu. Kevin pasti masih 15 tahun ketika itu. Dan Kevin yang sekarang sangat berbeda dari yang dulu. Kevin yang sekarang sangat pendiam, tidak pernah tersenyum dan dingin.
Dinda baru saja hendak mengembalikan buku ke rak, tetapi sesuatu terjatuh dari buku. Ia pun berjongkok untuk mengambilnya. Dinda ternganga menatap foto Kevin bersama seorang gadis cantik. Mereka sama-sama mengenakan seragam SMP dan mungkin mereka adalah teman sekolah. Atau mungkin mereka kekasih.
"Kevin & Yuna, forever love." Dinda membaca tulisan rapi di belakang foto. Mereka berpacaran, pikir Dinda. Ia sedikit berdebar melihat foto masa lalu Kevin. Namun, toh, itu masa lalu. Kevin tak mungkin masih mencintai gadis itu. Lagipula, untuk apa ia peduli?
Dinda meletakkan kembali buku album itu lalu ia memutuskan untuk mengambil salah satu buku dongeng yang ternyata ada di salah satu rak. Itu adalah dongeng anak-anak dan itu buku yang paling bisa ia baca di antara semua buku Kevin. Ia membawa buku itu ke kamar.
"Apa yang kamu lakukan di sana?" Kevin telah kembali ke kamar. Pria itu menyambut Dinda dengan pertanyaan. Wajahnya menyimpan rasa curiga.
Dinda memamerkan buku di tangannya. "Kalau nggak keberatan, aku mau pinjam ini."
Kevin cemberut, tetapi ia tak mengatakan apa pun lalu menutup pintu perpustakaannya. Ia menatap di Dinda yang kini duduk di tepi ranjang seraya membolak-balik halaman buku. Ini sudah cukup malam. Kevin tak tahu jam berapa Dinda biasanya tidur. Ia juga tak mengantuk dan ia cemas ia tak bisa tidur malam ini karena ada Dinda di kamarnya.
Kevin membuang napas panjang. Ia lalu mengetuk nakas untuk menarik perhatian Dinda. Ia menunjuk jam dinding. "Udah malem. Kamu nggak tidur?"
Dinda menelan keras. Tentu saja ia ingin tidur. Ia agak mengantuk dan lelah usai pesta tadi. Namun, ia juga sama cemasnya dengan Kevin. Mereka akan tidur satu ranjang.
"Apa nggak apa-apa kalau aku tidur di sini?" tanya Dinda. Ia mengedikkan dagu ke sofa. "Aku bisa tidur di sana, Mas, kalau Mas nggak nyaman tidur berdua."
"Kamu nggak mau tidur bareng pria cacat kayak aku?" tanya Kevin.
Dinda membelalak. Ia tak bermaksud menghina Kevin. "Bukan gitu. Aku cuma ... mungkin Mas nggak nyaman kita tidur bareng."
Ya, sebenarnya pasti Kevin tak akan nyaman. Namun, tak sopan jika meminta Dinda tidur di sofa. Ia menggeleng pelan. "Apa kamu senang tidur dengan lampu padam?"
Dinda mengangguk. "Kalau Mas?"
"Sama." Kevin mendekati saklar lalu mematikan lampu kamar.
Dinda berdebar. Ia tak bisa melihat Kevin karena kini kamar ini sangat gelap. Hanya ada cahaya dari balkon. Ia tak akan bisa melihat Kevin bicara jika begini.
Dinda hanya melihat gerak-gerik Kevin. Pria itu baru saja menyibak selimut lalu berbaring di belakangnya. Dinda pun meletakkan buku dongeng tadi di atas nakas lalu ikut berbaring. Ia mengerjap menatap langit-langit kamar. Hening. Dinda tak tahan lagi.
"Apa besok Mas udah kerja?" tanya Dinda memecah keheningan.
Kevin tak bisa memejamkan matanya. Ia menoleh pada Dinda lalu meraih ponselnya. Ia mengetik di sana. "Ya."
Dinda mengangguk. Walaupun gelap, Kevin bisa menulis di ponselnya. Ia mencoba untuk tak memiringkan tubuhnya ke arah Kevin, tetapi ia juga penasaran dengan pria itu. Kevin telah memejamkan matanya ketika Dinda menoleh. Kevin sangat tampan, jauh lebih tampan daripada Daniel.
Dinda terkesiap ketika Kevin membuka mata tiba-tiba lalu mereka bertemu tatap. Kedua mata Dinda melebar sepenuhnya karena Kevin baru saja memiringkan tubuhnya. Lengan besar pria itu melingkar di tubuh mungil Dinda. Mereka begitu dekat, tetapi tak ada kata yang terucap di antara mereka.
Dinda menurunkan tatapannya karena ia tak tahan dengan situasi ini. Dan tak lama, Kevin melepaskan tubuhnya. Pria itu meraih ponsel lalu mengetik di sana.
"Kalau kamu mengharapkan hal romantis di atas ranjang, jangan harap. Itu nggak akan terjadi."
Dinda membaca tulisan Kevin sambil melongo. Ia hanya sedikit mengagumi ketampanan Kevin. Ia tak mengharap adegan panas di atas ranjang.
"Udah aku bilang, aku bukan gadis murahan," kata Dinda dengan nada tak terima.
Kevin menarik ponselnya. Ia kembali mengetik di sana. "Papa menjanjikan saham yang besar untuk keluarga kamu jika kamu bisa mengandung anakku. Tapi, itu nggak akan terjadi."
Dinda membelalak saat ini. Ia tak tahu permainan seperti apa yang terjadi di perusahaan Kevin dan Mahendra. Ia merasa telah dijadikan boneka sekarang.
"Apa maksudnya?" tanya Dinda.
Kevin kembali menghapus layar ponselnya. Ia lalu mengetik lagi. "Papa sakit. Papa menginginkan cucu yang bisa dijadikan pewaris di masa depan. Entah itu dari aku atau Daniel. Siapa pun yang bisa melahirkan pewaris, dia yang akan dijadikan CEO di perusahaan.
"Jadi, papa sangat berterima kasih kepada orang tua kamu karena telah menikahkan kamu dengan aku. Mereka akan dapat hadiah yang besar jika aku bisa membuat kamu hamil. Tapi itu nggak akan terjadi."
Dinda menutup bibirnya. "Daniel masih muda. Nggak mungkin dia tiba-tiba diangkat jadi CEO."
"Mungkin aja." Kevin membuat isyarat kali ini. "Daniel cerdas. Ibunya juga berkuasa."
"Jadi, Mas nggak mau aku melahirkan keturunan bahkan jika itu bisa membantu posisi Mas di perusahaan?" tanya Dinda dengan bingung.
"Aku nggak cinta sama kamu. Aku nggak akan melakukan itu dengan gadis yang sama sekali nggak aku cintai. Dan aku nggak mau memberikan keuntungan bagi keluarga kamu," kata Kevin. Ia tersenyum miring pada Dinda.
"Lalu, gimana dengan posisi Mas? Gimana kalau Daniel merebutnya suatu hari nanti?" tanya Dinda yang semakin bingung.
"Pernikahannya kita sudah cukup membuat posisi aku kuat. Untuk saat ini, itu cukup. Melahirkan pewaris ... itu bisa ditunda," kata Kevin.
Ditunda. Dinda menelan keras. Ia memang tak ingin hamil jika ini hanya permainan. Apalagi ia masih kuliah, ia tak ingin hamil. Bagus jika Kevin tak mau menyentuhnya. Namun, ia langsung meremang karena ingat ucapan Daniel.
"Jangan pikirkan apa pun dan tidur aja." Kevin baru saja menyodorkan ponsel ke depan wajah Dinda.
"Aku juga mau tidur!" gerutu Dinda. Ia memiringkan badannya arah lain. Ia memunggungi Kevin lalu memeluk selimut dengan erat. Dadanya bergemuruh, seharusnya ia bersyukur karena Kevin juga tak ingin ia hamil. Namun, ia sangat kesal dengan ayahnya yang telah memaksanya menikah dengan tujuan yang besar.
"Sial! Papa beneran jual aku ternyata. Hampir 20 tahun aku ditelantarkan dan kini, aku harus melahirkan pewaris agar papa dapat untung. Itu nggak bakalan terjadi!" gerutu Dinda dalam hati. Ia memejamkan matanya seraya beringsut ke tepi ranjang.
Kevin menatap gestur Dinda yang menjauh darinya. Ia menggaruk kepala. Ia tak akan menyentuh Dinda, itu yang ia rencanakan. Ia masih tak mempercayai Dinda. Ia yakin Dinda sama saja dengan Mahendra yang memiliki minat besar dengan uang. Lagipula, ia tak mencintai Dinda.
Kevin memejamkan matanya ketika ia merasa Dinda telah tidur. Mereka tidur dengan posisi berjatuhan di atas ranjang, tetapi setelah menit demi menit berganti menjadi jam demi jam, tanpa sadar Dinda baru saja menelentangkan tubuhnya. Kevin merasakan sesuatu, tetapi ia terlalu mengantuk dan dingin.
"Hangat banget." Kevin membatin ketika ia memeluk tubuh Dinda. Ketika itu, Dinda beringsut mendekat lalu memeluk pinggang Kevin tanpa sadar.
Hal itu terjadi hingga pagi menjelang dan Dinda membuka mata. "Ehm ... apa udah pagi?"
Dinda meraba sesuatu yang keras. Ia terkesiap ketika sadar itu adalah d**a Kevin. "Ya ampun!" Ia mendesis. Ia mencoba mundur, tetapi lengan Kevin yang menindih tubuhnya terasa begitu berat. Ia langsung menyingkirkan tangan itu lalu memiringkan tubuhnya ke arah lain dengan berdebar.
"Apa yang aku lakukan?" Dinda memukul keningnya sendiri. "Jangan sampai aku dikira menggatal demi punya keturunan. Aku juga nggak akan menyenangkan papa jika aku berhasil hamil dengan mas Kevin!"