Bab 5. Aduh, Panas!

1507 Words
Sementara itu di kamar mandi, Dinda yang baru saja membasuh wajah sambil sesekali mengumpat baru sadar bahwa pintu belum tertutup rapat. Ia membuang napas panjang. Ia tak peduli jika Kevin mendengar umpatannya. Toh, seharusnya pria itu sadar ia memang tak punya niat seburuk itu. Usai menutup pintu, Dinda mengedarkan matanya. Ia terpukau. Kamar mandi ini jauh lebih besar dibandingkan kamar mandi yang ada di rumah Mahendra. Ia sudah belajar cara menggunakan beberapa alat mandi yang ada di rumah Mahendra, tetapi ada banyak hal yang berbeda di sini. Dinda menarik salah satu tuas yang ada di bathtup, air dingin mengalir. "Aku nggak mau berendam hari ini," gumamnya. Jadi, ia mematikan air. Dinda berdiri kemudian menatap ke pintu. Ia telah menguncinya dan ia jelas aman di sini. Kemudian ia mulai membuka pakaiannya satu per satu. Ia memasukkan pakaian kotor itu ke keranjang, tetapi Dinda berniat akan memakainya lagi nanti karena ia tak membawa baju ganti. Dinda mendekati shower, ia sangat ingin mendinginkan kepalanya yang pusing akibat obrolannya tadi dengan Kevin. Dinda pun menekan tuas dan air mulai mengalir. "Ah!" Dinda memekik seraya mundur dari bawah guyuran air panas. Ia bersumpah, itu panas sekali. "Aduh, ya ampun!" Dinda menyambar apa saja, tetapi tubuhnya sudah kepanasan dan limbung hingga ia menghantam rak sabun dengan punggung kemudian ia ambruk ke lantai. Pedih mendera tubuh Dinda. Air panas itu masih mengalir dari shower hingga ia harus menekuk kakinya. Belum menghilang rasa kaget Dinda, tiba-tiba pintu dipukul dari luar. Dinda menoleh dengan d**a berdebar tak keruan. Itu pasti Kevin. Kevin mungkin mendengar teriakannya. "Aku ... aku nggak apa-apa," ujarnya seraya menarik handuk. Dinda menutupi tubuhnya lalu mencoba berdiri. Ia sangat malu jika dianggap kampungan dan tak tahu cara menggunakan alat mandi. Pukulan di pintu masih terdengar, jadi Dinda segera mematikan air dengan hati-hati. Dinda memegangi handuk yang melingkar di dadanya lalu membuka pintu. Kevin menyambutnya dengan ekspresi ngeri. "Ada apa?" Kevin membuat isyarat. Dinda belum menjawab, tetapi Kevin langsung menangkup wajah Dinda. Kevin terlihat marah kemudian menunjuk ke dalam kamar mandi. "Apa airnya terlalu panas?" Ia bertanya. Dinda mengangguk. "Tuas mana yang kamu tekan?" "Yang kanan," jawab Dinda. Kevin mencebik lalu menarik lengan Dinda. Tubuh Dinda tertarik ke arah kamar. Ia masih mencengkeram handuk yang melingkar di tubuhnya erat-erat. Kevin mendudukkan Dinda di ranjang dan berdiri panik di depannya. "Tuas kanan untuk air panas, yang tengah hangat dan yang kiri dingin. Seharusnya kamu bertanya lebih dulu," kata Kevin. "Jadi itu salahku yang tak tahu apa-apa," batin Dinda kesal. Ia mencebik dan Kevin kembali memeriksa wajahnya. Dinda kepanasan, tetapi jelas bukan karena air yang tadi mengenai kulitnya. Namun, itu karena sentuhan Kevin. Tangan Kevin terasa begitu lembut. Anak konglomerat memang berbeda, pikir Dinda. "Diam di sini. Aku carikan salep," kata Kevin. "Nggak perlu! Aku belum mandi dan ...." Dinda menelan sisa kata-kata yang hampir terucap sebab Kevin telah berlalu dari kamar. Dinda membuang napas panjang. "Sial, kenapa aku pakai jatuh kepentok segala?" Dinda meraba pinggang. Bokongnya terasa sakit sekali dan ia harus sedikit memiringkan tubuh untuk meremasnya. Dinda tak tahu sejak kapan Kevin masuk kamar, tetapi ketika ia menoleh ke pintu, Kevin sudah di sana. Kedua mata Kevin melebar ketika ia melihat Dinda memiringkan tubuhnya yang hanya terbungkus handuk putih. Paha mulusnya terpampang dan Dinda tengah meremas bokongnya. Tentu saja, Dinda segera melepaskan bokongnya dan duduk dengan benar. Ia berdehem keras, menahan malu yang semakin menguasai dirinya. "Aku kepleset tadi." Ia mencoba menjelaskan situasi canggung ini. Kevin mendekat. Ia benar-benar tak habis pikir dengan Dinda. Bagaimana bisa gadis ini menarik tuas yang salah lalu jauh karena terpeleset. Sungguh kasihan. Kevin menahan gejolak dalam dirinya yang membara, ia pasti ikut memerah seperti wajah Dinda, tetapi ia juga masih panik karena Dinda yang sakit. "Aku belum jadi mandi. Harusnya aku mandi dulu," kata Dinda dengan suara. Ia tak ingin melepaskan handuk hanya untuk membuat isyarat. "Nanti bisa membekas." Kevin berlutut di depan Dinda. Ia menelan keras diam-diam ketika Dinda merapatkan kakinya. Gestur itu sangat lembut dan malu-malu. Ia mengalihkan tatapannya ke wajah Dinda lalu mulai mengoleskan salep. "Apa wajahku merah?" tanya Dinda. Kevin mengangguk. Ia menghindari mata Dinda, tetapi itu juga berbahaya karena ia terus melirik leher dan d**a putih Dinda. Handuk itu begitu kecil dan ia sangat ingin menyingkirkannya. Tidak, itu tak boleh. Kevin mengingatkan dirinya sendiri. "Aku malu, harusnya Mas tutup mata," protes Dinda yang menyadari ke mana tatapan Kevin tertuju. Pasti ke belahan dadanya! Dan sentuhan ujung jari Kevin sungguh menyiksanya. Mereka bertemu tatap. "Kalau aku merem, aku bisa salah pegang." Sial. Kevin benar juga, batin Dinda. "Aku bisa obati ini sendiri. Ini udah nggak panas." Kevin tampak ragu, tetapi kemudian ia mengangguk dan menyerahkan salep pada Dinda. Ia juga tak tahan lagi jika harus menyentuh Dinda. "Pakai baju setelah selesai. Nanti kamu masuk angin." "Ya." Dinda menatap Kevin masuk ke kamar mandi lalu kembali dengan sebuah handuk kering. Ia menyelimuti kepala Dinda dengan handuk itu. "Kamu bisa bikin ranjang kita basah. Airnya netes dari rambut kamu," katanya dengan isyarat. Dinda menelan keras. Bukan karena sikap baik Kevin, tetapi karena Kevin menyebut ranjang ini sebagai ranjang mereka. Mereka akan tidur berdua di sini malam ini. Dan ia yakin ia tak akan bisa tidur. "Apa kamu bisa jalan? b****g kamu ...." "Aku baik-baik aja!" Dinda berdiri cepat untuk membuktikannya. Dinda tentu masih malu karena ketahuan sedang memijat b****g. "Oke. Kalau kamu sakit, kamu nggak perlu turun untuk makan malam." Kevin kembali membuat isyarat. "Aku bisa jalan, tenang aja." Kevin mengangguk lalu memalingkan wajahnya. Dinda bisa melihat jakun Kevin bergerak ketika ia menelan. Dan Dinda sadar, ia masih setengah telanjang di depan Kevin. "Aku mau pakai baju," ujar Dinda. Ia melewati tubuh Kevin lalu menuju lemari. Baju-baju yang dikirimkan Mahendra ke sini sangat bagus dan pastinya mahal. Ia mengambil salah satu setelan dengan asal. Ketika ia menoleh, Kevin tak ada lagi. Jadi, Dinda segera memakai berpakaian. Matanya mengedar untuk waswas, tetapi Kevin memang tak ada lagi di kamar. Belum sempat Dinda mencari tahu di mana Kevin, pintu kamar kembali terbuka. Kevin tiba-tiba muncul dengan satu baki berisi makanan. Dinda menatapnya bingung. "Aku bilang aku baik-baik aja," ulang Dinda. Kevin meletakkan baki di atas ranjang lalu ia melambaikan tangan. Ia menatap Dinda menyampirkan handuk di sandaran kursi lalu mendekatinya. "Kamu sakit, jangan bohong." Yah, sebenarnya bokongnya terasa agak nyeri. Ia jatuh dengan keras ketika terpeleset. "Ehm, makasih. Aku boleh makan?" "Tentu." "Mas nggak makan?" Kevin menggeleng dan itu membuat Dinda merasa tak enak. Namun, tatapan Kevin seolah memintanya untuk segera makan. Jadi, Dinda mulai menyendok nasi dan sup yang ada di atas baki. "Apa Daniel sering ke sini?" tanya Dinda yang tak tahan dengan keheningan Ia hanya makan dan Kevin terus mengamatinya. Dinda juga agak cemas karena ucapan Daniel siang tadi. Ia merasa harus bersiap dan menghindari pria itu. "Kami nggak dekat," jawab Kevin. Dinda membulatkan bibir. Itu ada baiknya. Mungkin Daniel tak akan sering ke sini. "Kenapa kamu bertanya tentang Daniel?" tanya Kevin. "Ehm ...." Dinda menggumam panjang. Ia tak tahu apakah ia harus jujur atau tidak. Namun, ia memutuskan untuk menggeleng pelan. "Aku kenal sedikit dengan Daniel." Kevin mengangguk kali ini. "Daniel bukan adik kandungku. Kami lahir dari ibu yang berbeda." "Kayak aku dan Irish?" Dinda bertanya lagi. "Nggak. Aku lahir dari istri sah papa. Tapi, ibu Daniel akhirnya berhasil menggantikan posisi mama," jawab Kevin. Dinda ternganga. Yah, mereka berbeda. Kevin lahir dari istri sah. Sedangkan Dinda lahir dari rahim pelayan yang kabarnya berhasil menggoda tuannya di tempat kerja. "Aku nggak bermaksud menghina," kata Kevin. Dinda mengangguk. "Aku nggak tersinggung. Aku udah bilang, sebenarnya aku nggak tahu kalau aku anak orang kaya. Papa menjemput aku setelah Irish kabur. Aku hanya cadangan bagi papa." Kevin menatap Dinda dengan ekspresi sedih. Ia tak menyangka Dinda hidup seperti itu. Ia sendiri tak memiliki kehidupan yang baik. "Aku minta maaf." Kevin membuat isyarat setelah mereka saling diam lagi. "Kenapa?" tanya Dinda terkejut. "Aku udah kasar tadi. Aku udah menganggap kamu wanita yang haus uang. Aku cuma ... aku nggak mudah mempercayai orang baru," kata Kevin. Dinda tersenyum. "Aku mengerti. Mas nggak perlu cemas. Aku sama sekali nggak peduli dengan harta benda." Kevin mengangkat alisnya. Ia mulai menilai Dinda adalah gadis baik, tetapi ia belum bisa mempercayai gadis itu. Dinda bisa merasakan itu. Namun, ia yakin Kevin pasti akan mempercayainya suatu hari nanti. Sebab Dinda tahu Kevin bukanlah pria jahat. Kevin baru saja mengobati luka bakarnya. Bahkan membawakan makan malam. Padahal, itu tak perlu. "Kenapa kamu tersenyum gitu?" tanya Kevin yang menyadari bahwa Dinda tengah nyengir. "Aku tahu Mas adalah orang baik," ucap Dinda. Kevin berdiri. Ia membuang napas panjang. "Kamu jangan mengira begitu. Kalau kamu mengharapkan sesuatu dari pernikahan ini, jangan. Aku udah bilang pernikahan ini nggak ada artinya kecuali karena urusan bisnis." Dinda mengangkat bahunya. "Mungkin, kita nggak bisa jadi suami-istri normal. Tapi, mungkin kita bisa temenan." Tubuh Kevin bergerak seperti orang yang tengah tertawa. Namun, tak ada suara yang keluar. "Aku nggak bisa temenan sama kamu." Dinda mendecih. "Bisa, Mas hanya harus mencoba. Dan aku pasti akan jadi teman yang baik." Kevin cemberut dan Dinda membalasnya dengan senyuman. Diam-diam, Kevin berdebar karena senyuman manis Dinda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD