Bab 7. Ciuman Daniel

1507 Words
Ketika Kevin terbangun, ia tak mendapati Dinda di atas tempat tidurnya. Ini masih sangat pagi hingga ia menebak Dinda adalah gadis yang tidak malas bangun pagi. Yah, Dinda adalah pekerja keras. Dinda juga memiliki banyak pekerjaan sambilan. Dinda pernah bekerja di kantin perusahaan Kevin. Di sana, ia berkenalan dengan Daniel dan mereka akhirnya berpacaran tanpa Dinda tahu bahwa Daniel adalah salah satu petinggi di perusahaan. Karena Dinda cantik, itu cukup bagi Daniel untuknya bermain-main. "Pagi," sapa Dinda yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ia bertemu tatap dengan Kevin. Pria itu masih duduk di atas tempat tidur. Kevin mengangguk. Ia menghindari tatapan Dinda karena pagi ini Dinda terlihat sangat cantik dan segar. Ada handuk yang menutupi rambutnya, itu terlihat lucu. "Kamu nggak salah tekan tuas lagi?" tanya Kevin. Dinda menggeleng. Ketika ia masuk kamar mandi, ia melihat ada tulisan di tuas-tuas itu. Panas, hangat, dingin. Entah kapan Kevin menempelkan stiker di sana. "Aku baik-baik aja." "Bagus. Luka bakar kamu?" tanya Kevin lagi. "Udah sembuh," jawab Dinda canggung. Ia membuka handuk yang menutupi kepalanya karena ia ingin mengeringkannya. Ia telah melihat ada hair dryer di laci meja rias. "Boleh aku pakai ini?" Kevin mengangguk lagi. Ia menurunkan kakinya dengan gelisah karena aroma shampo Dinda menguar seiring dengan rambut itu digerai. Berantakan, basah, tetapi itu sangat menarik perhatian Kevin. Sudah lama ia tak melihat wanita seperti itu. Dinda mencolokkan hair dryer lalu mulai mengeringkan rambutnya. Ia menoleh ke arah Kevin. Pria itu masuk ke ruangan lain, ia baru tahu di sana walk in closet Kevin. Ia langsung berpaling ketika Kevin berjalan kembali ke kamar, tetapi pria itu masuk ke kamar mandi. "Ah, bikin deg-degan aja," gumam Dinda. Sama seperti Kevin, ia sama sekali tak terbiasa dengan kondisi ini—tinggal sekamar dengan seorang pria. Usai mandi, Kevin mulai bersiap dengan setelannya. Ia mengenakan jam tangan dan dasinya. Kedua mata Kevin sesekali melirik Dinda. Gadis itu membaca bukunya seperti semalam dan ia hanya bisa membuang napas panjang. Ia mengetuk meja untuk meminta perhatian Dinda. "Apa?" tanya Dinda. "Kita harus turun sarapan. Kamu belum melihat-lihat rumah ini," kata Kevin. Dinda mengangguk. Ia yakin rumah ini sama mewahnya dengan rumah Mahendra. "Mas pulang kerja jam berapa?" "Nggak pasti. Kadang sampai malam," jawab Kevin. Dinda mengangguk lagi. Bekerja hingga malam setelah menikah, itu jelas aneh bagi kebanyakan orang. Namun, ia mencoba untuk tak peduli. Toh, pernikahannya memang terasa tak nyata baginya. Dinda mengedarkan matanya ketika ia turun ke lantai satu. Ia menatap foto besar Kevin bersama Alan dan seorang wanita yang ia tebak adalah ibu kandung Kevin. Di foto itu, Kevin masih kecil dan Kevin tersenyum dengan sangat lebar. Dinda menghabiskan sarapannya bersama Kevin. Pria itu langsung pergi usai berpamitan dengannya. Dinda langsung merasa kesepian. "Ehm, Nona, kalau Anda sudah selesai sarapan, Anda diminta tuan besar untuk datang ke kediaman beliau," ujar salah seorang pelayan. "Tuan besar?" tanya Dinda. "Ya. Tuan Alan meminta Anda untuk berkunjung ke rumahnya," kata pelayan itu lagi. Ia tersenyum. "Nama saya Icha. Saya kepala pelayan di sini." Dinda membalas senyuman Icha. "Ya, salam kenal Bi Icha. Tapi ... saya nggak tahu di mana rumah papa." "Ah, Anda hanya harus ke halaman lalu berjalan ke kanan. Akan ada pintu yang menghubungkan rumah ini dengan rumah tuan besar, Nona," ujar Icha. "Rumahnya jejer?" tanya Dinda. "Betul, Nona. Apa saya perlu mengantarkan Anda?" tanya Icha. Dinda menggeleng. Ia meneguk air minumnya hingga habis lalu berdiri. "Aku bisa ke sana sendiri, Bi." Dinda mengikuti instruksi dari Icha. Ia berjalan ke halaman yang sangat luas lalu mengedarkan matanya. Benar, ada pintu gerbang di sisi kanan pagar tinggi. Ia segera mendekat. Seorang satpam menyambutnya lalu membukakan pintu gerbang untuknya. "Wah, rumah yang ini jauh lebih besar," kata Dinda. Ia merapikan pakaiannya lalu mulai berjalan. Namun, ia langsung menghentikan langkahnya ketika ia melihat Daniel keluar dari pintu utama rumah ini. Mereka berdua bertatapan. Daniel tersenyum miring. Ia langsung mendekati Dinda. Ditariknya tangan kecil itu dengan kuat. Dinda memberontak, tetapi Daniel jauh lebih kuat dibandingkan dirinya. Seketika, tubuh Dinda terdorong ke dinding samping rumah itu. Dan Daniel berdiri tepat di depannya, membungkam bibir mungil Dinda dengan telapak tangan. "Halo, Kakak Ipar!" ledek Daniel dengan senyuman miring. Dinda menyentak tubuhnya ketika ia tahu Daniel berada dalam jarak yang sangat dekat dengannya. Ia bisa merasakan napas panas Daniel di wajahnya. "Apa malam pernikahan kamu berjalan dengan baik?" Daniel menatap Dinda dari atas hingga bawah. Ia menggeram ketika melihat Dinda malu-malu di depannya. Perlahan, ia membuka bibir Dinda. "Jangan teriak!" "Apa yang kamu lakukan, Dan?" tanya Dinda. Ia menoleh ke kanan-kiri. Rasanya tak nyaman karena Daniel mengunci tubuhnya dengan posisi seperti ini. "Aku masih jengkel sama kamu!" gerutu Daniel. "Seharusnya kamu nggak nikah sama mas Kevin." "Itu bukan urusan kamu!" gertak Dinda. "Minggir! Lepasin aku! Jangan gini!" Daniel menggeleng. "Bilang sama aku, apa pria cacat itu udah menyentuh kamu?" Dinda mengerutkan keningnya. Entah bagaimana ia tak suka jika Daniel menyebut Kevin sebagai pria cacat. "Ya. Dia udah menyentuh aku." Dinda tak berbohong. Kevin memang menyentuhnya, berkali-kali ketika mengoleskan salep. Di depannya, Daniel langsung mengumpat keras. Pria itu melepaskan dinding lalu mondar-mandir. Ia kembali mendorong bahu Dinda karena tak ingin Dinda kabur. Ia sangat marah karena jawaban Dinda. Ia mengira Dinda telah melakukan malam pertama dengan Kevin. Jadi, ia menatap kembali tubuh Dinda dari d**a hingga ke bawah. "Jangan percaya dengan mas Kevin. Dia cuma memanfaatkan kamu. Dia cuma butuh keturunan dari kamu," kata Daniel. Dinda memerah. Namun, ia senang Daniel salah paham padanya. "Dia baik, nggak kayak kamu!" "Din! Jangan percaya sama mas Kevin! Dia cuma mau jadi penguasa di perusahaan papa. Padahal, dia jelas nggak pantas. Dia cacat! Kamu tahu itu, dan dia juga nggak pantas untuk bersama kamu!" kata Daniel penuh amarah. "Jadi, siapa yang pantas untuk aku?" tanya Dinda dengan nada menantang. "Aku! Tentu aja aku. Lebih baik, kamu bercerai dengan mas Kevin secepatnya dan jangan sampai kamu mengandung anaknya," kata Daniel. Dinda tersenyum miring. Ia tahu bahwa ia diharapkan untuk melahirkan pewaris bagi keluarga ini. Dan jika Kevin melahirkan bayinya, maka tamat sudah Daniel. Kevin akan menjadi CEO jika itu terjadi, dan ia akan menjadi istri yang beruntung. "Mungkin aja, aku bakal segera hamil," kata Dinda seraya membelai perutnya. Tentu saja, ia hanya menggertak Daniel agar ia tak diganggu lagi. "Sial. Itu nggak akan terjadi. Kamu harus mengandung bayi aku!" hardik Daniel. Dinda meremang. Ia mencoba melepaskan diri lagi, tetapi Daniel langsung mendorong bahunya. "Jangan main-main, Dan. Aku bukan milik kamu." "Kamu bakal jadi milik aku. Sekarang, kamu emang masih milik mas Kevin, tapi seperti biasa aku pasti bisa ngerebut apa yang jadi milik dia. Dan kamu nggak akan mengandung bayinya! Hanya benih aku yang harus tumbuh di rahim kamu!" gertak Daniel seraya meraba perut Dinda. Dinda semakin meremang. Ia memberontak lagi, tetapi tubuhnya dipepet oleh Daniel dan bibir Daniel semakin dekat ke arahnya. Ia berpaling. Bibir Daniel mendarat di pipinya. Ia langsung memerah, berdebar tak keruan dengan napas naik-turun. "Jangan munafik, Din. Kamu kangen sama ciuman kita, kan?" tanya Daniel. Ia membelai pipi Dinda. "Siapa yang lebih lihai mencium kamu? Aku atau pria cacat itu?" "Jangan nyebut mas Kevin kayak gitu!" Dinda hampir menampar pipi Daniel, tetapi pria itu lebih cekatan dibandingkan dirinya. "Kenapa? Kamu puas sama pria kayak gitu? Nggak ada suaranya! Apa dia bisa mendesah ketika tidur dengan kamu?" tanya Daniel dengan nada mencemooh. "Dia sama sekali nggak pantas untuk gadis secantik kamu, Din. Kamu harus buka mata kamu dan lekas cerai sama dia!" Dinda mengepalkan tangannya. "Itu nggak akan terjadi!" "Kamu nggak cinta sama dia. Kamu cinta sama aku," kata Daniel. Ia ingat, ia hampir terlambat berangkat ke kantor. Sudah cukup bermain-main dengan Dinda. Jadi, ia melepaskan tubuh Dinda. Ketika itu Dinda sangat lengah dan ia dengan cepat langsung mencium bibir Dinda. Dinda tentu saja melawan. Namun, tubuhnya kembali terpepet ke dinding. Ciuman Daniel membuatnya kehilangan pijakan. Lumatan lembut itu membuat ia memejamkan mata dan sentuhan Daniel, astaga! Dinda lupa diri. Ia membalas ciuman Daniel selama beberapa detik hingga ia tersadar ia tak boleh seperti ini. Daniel meringis ketika tangan kecil Dinda mendarat di pipinya. Ia tertawa pelan seraya mengusap pipinya. "Aku tahu, kamu juga merindukan ciuman aku, Din. Jangan bohong. Kita bisa diam-diam berciuman atau mungkin ... tidur bareng meskipun kamu udah menikah." "Sembarangan!" teriak Dinda. Daniel tertawa lagi. Ia sudah puas bermain-main dengan Dinda pagi ini. "Aku harus pergi. Bibir kamu ... selalu terasa manis meskipun mas Kevin udah menyentuhnya." Dinda menggigit bibirnya. Ia sangat malu karena ulah Daniel berhasil membuatnya seolah menjadi gadis murahan. Ia benar-benar harus menghindari Daniel. Namun, itu mungkin tak akan mudah karena rumah mereka hanya dipisahkan oleh pagar. "Aku bakal cium kamu setiap hari, diam-diam di belakang suami kamu," kata Daniel. Ia meraba perut Dinda lagi. "Dan aku pastikan, kamu hanya akan mengandung bayi aku." Senyuman licik Daniel membekas di benak Dinda hingga pria itu berlalu. Ia masih mencintai Daniel hingga beberapa hari yang lalu, tetapi jika ia ingat hinaan pria itu, Dinda tentu tak ingin mencintainya lagi. Apalagi mengingat mereka adalah ipar. Tentu saja ini salah. Dinda mengusap bibirnya. Selama ini hanya Daniel yang telah menciumnya. Dan kini, ia dibuat bingung dengan perasaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD