Ye Xuan bangun sebelum mentari menghangatkan bumi pertiwi. Ia sudah terbiasa bangun ketika langit masih gelap bersiap menyemburatkan warna emas terang.
Ia tapakkan kedua kakinya dan turun dari tempat tidur untuk menuju ke jendela dan berdiri diam di depan ambang jendela yang dia buka.
Hawa sejuk pagi dini hari itu terasa menyegarkan dan sarat akan energi kehidupan baru. Semilir angin dingin yang menenangkan terasa penuh persahabatan pada jiwa, memberikan sentuhan embun yang akan dituai beberapa saat kemudian.
Ye Xuan memejamkan mata sejenak meresapi ketenangan pagi beserta hembusan energi Qi alam yang mendesak berebut ingin masuk ke tubuhnya.
Pria yang terjebak di dalam tubuh wanita muda itu pun lekas ke tempat tidur kembali dan duduk bersila layaknya seseorang sedang bermeditasi. Ia ingin menyerap Qi alam yang sedang berlimpah ruah di luar.
Qi alam itu terserap masuk melalui pori-pori kulitnya menuju ke titik-titik penting meridian tubuhnya yang beredar ke segala penjuru raga hingga mencapai dantian-nya dan energi Qi alam tersebut diolah di sana.
Energi itu bagai segumpal udara tipis yang berputar di dantian Ye Xuan, sesekali membesar dan lalu mengecil untuk membesar kembali. Begitu terus hingga akhirnya masuk ke inti dantian dan tetap di sana sebagai tenaga untuk Ye Xuan.
Ia sekalian memeriksa meridian-meridian akupunktur-nya karena kemarin tubuh barunya sudah mengalami luka dan guncangan.
Selesai memeriksa meridian-meridian penting dan tidak mendapati sesuatu yang berbahaya di dalam sana, Ye Xuan pun mmenarik napas dan mengeluarkannya perlahan-lahan melalui mulut, tidak tergesa-gesa.
Hanya butuh waktu lebih dari setengah jam baginya untuk melakukan meditasi pagi menyerap energi Qi alam yang melimpah ruah, kemudian dia turun dari tempat tidurnya dan kembali berdiri di dekat jendela.
Mentari pagi sudah mulai mengeluarkan cahaya semburat keemasannya.
“Nona Fei,” panggil Ye Xuan pada pemilik asli tubuh itu. “Apakah kau sudah bangun?”
Tak ada jawaban untuk beberapa menit, hingga Ye Xuan merasa tidak enak hati sendiri karena mengira Fei masih tertidur dan Ye Xuan sudah mengganggunya.
“Tuan Ye Xuan...” Akhirnya suara gadis muda itu pun terdengar. “Aku tidak akan tertidur di sini. Di ruang jiwa ini, aku tidak merasa mengantuk, tidak merasa lapar, dan apapun yang biasa dirasakan manusia yang memiliki raga.”
“Oh!” Ye Xuan naikkan kedua alis. “Ternyata begitu. Syukurlah. Aku tidak perlu banyak mengkhawatirkan dirimu di sana kelaparan atau tidak kalau begitu.”
“Memangnya kalau aku lapar, Tuan Ye bisa memberiku makan apa?” Fei bertanya, tentu itu sebuah pertanyaan bernada sindiran.
Ye Xuan tersenyum. “Ahh, benar juga. Aku pasti juga takkan tau makanan apa yang pantas untuk kau di sana.”
Kemudian hening kembali beberapa saat sembari Ye Xuan memandangi alam di luar jendela.
“Nona Fei, bisakah aku meminta tolong padamu?” Ye Xuan teringat sesuatu.
“Apa?” Fei menyahut dari ruang jiwa.
“Bantu aku mempelajari kebiasaan orang-orang di jamanmu ini. Aku tak mau terlihat kikuk atau tidak mengetahui apapun segala hal yang ada di masa ini.” Ye Xuan memang harus lekas mempelajari semua hal-hal penting di jaman itu agar dia bisa bersikap yang layak.
“Oh.” Fei memberikan jawaban singkat.
“Nona, kau tidak keberatan, bukan?” Ye Xuan merasa was-was jika Feira menolak.
“Tentu aku tak bisa menolak kemauan Tuan Ye, iya kan?” Fei menyahut lagi.
“Hehe... kuharap mulai kini, kita bisa bekerja sama dengan baik, Nona. Aku berjanji tidak akan menyalahgunakan tubuhmu ini. Maka dari itu, ajari aku berbagai hal penting di jaman ini.”
Feira pun menyetujuinya. Ia pelan-pelan mengajari Ye Xuan mengenai benda yang ada di dalam kamarnya terlebih dahulu, dan apa saja kegunaan benda-benda tersebut.
Ye Xuan terus berkonsentrasi mendengarkan segala penjelasan Fei agar ia lekas memahami benda yang ada di sekelilingnya.
Benda yang paling susah dia mengerti adalah ponsel. Ia masih saja terkaget-kaget dengan benda canggih tersebut. Bahkan dia tak percaya benda seperti ponsel tidak memerlukan energi kultivator untuk pengoperasiannya.
Lebih buruknya lagi, Ye Xuan mengira ponsel memakai ilmu Dao Iblis karena saking memukaunya.
“Bisa berbicara dengan orang di belahan dunia manapun? Bisa berkirim pesan dengan siapapun? Bisa mengambil gambar kita sendiri? Bisa mencari segala informasi?” Ye Xuan bergumam sambil tangannya mulai mengutak-atik ponsel milik Fei.
Ia menekan tombol memanggil dengan nomor acak yang ada di sana. “Halo? Tuan Zhao? Halo?” Ia seenaknya saja berbicara dengan orang di seberang sana.
Tentu saja, orang yang dia telepon mulai kebingungan. “Fei! Ada apa? kenapa kau memanggilku Tuan Zhao? Apa kepalamu terbentur sesuatu?” Suara di seberang terdengar heran sekaligus kesal karena pagi indahnya di hari libur justru terganggu oleh telepon dari Fei.
Ye Xuan jauhkan ponsel dari telinganya dan menatap bingung benda pipih berwarna abu-abu metalik tersebut. “Kenapa bukan Tuan Zhao yang menjawab?”
“Tuan Ye, kau menekan nomor temanku, tentu saja dia yang menjawab panggilanmu, bukan Tuan Zhao yang kau maksud tadi.” Fei berujar dari ruang jiwa.
Akhirnya, Feira menjelaskan cara kerja dari ponsel.
Dokk! Dokk! Dokk!
Baru saja Ye Xuan selesai mendengar penjelasan Fei mengenai ponsel, terdengar gedoran di pintu kamar.
“Fei! Kenapa ini dikunci? Kok bisa dikunci? Bagaimana mungkin?!” Terdengar suara Bibi Ru di depan kamar dengan suara keras dan terheran-heran.
Ye Xuan mengabaikan wanita itu dan tetap menjalin komunikasi dengan Fei di ruang jiwa.
“Tuan Ye, Bibi sudah berteriak-teriak begitu. Tidakkah kau ingin melihat apa yang Bibi inginkan?” Fei masih saja ketakutan pada sang bibi.
Ye Xuan mendecak kecil. “Tsk, Nona Fei, untuk apa kau khawatir mengenai wanita jahat itu? Biar saja dia berteriak sesuka hati dia. Aku tak yakin dia bisa membuka pintu kamarmu, apapun caranya.”
“Kenapa begitu?” Fei heran.
“Karena aku sudah memasang penghalang di sekeliling kamarmu ini,” jawab Ye Xuan.
“Penghalang?”
“Ya, array penghalang. Apakah kau pernah mendengar mengenai itu?”
Fei seperti ragu di dalam sana. “Unghh... array? Sepertinya aku belum pernah mendengar tentang itu.”
“Ahh... nanti kapan-kapan aku akan mengajarimu hal mengenai array. Yang pasti, ilmu array-ku tidak remeh. Itu seperti segel, kau paham segel?”
“Oh~ segel. Kalau segel, aku paham, Tuan. Itu seperti penguncian.”
Ye Xuan tersenyum lebar. “Nah, itu. Kau benar, Nona Fei. Array itu bisa dikatakan semacam penyegelan, penguncian yang kita buat untuk beberapa tujuan.”
“Fei bocah sialan! Cepat keluar kau sebelum aku memanggil polisi ke sini untuk mendobrak pintu sialan ini! Awas saja kau! Akan aku seret kau keluar nanti!” Suara Bibi Ru masih menggelegar di depan pintu.
“Istriku sayank, kenapa pagi ini sudah sangat ribut? Aku sampai terbangun.” Paman San sudah berdiri di sebelah Bibi Ru dan menguap dengan piyama yang kusut.
“Ini! Keponakan sialan ini seenaknya saja mengunci kamarnya sehingga aku susah masuk!” Bibi Ru menunjuk-nunjuk dengan emosi ke arah pintu kamar Fei.
Paman San pun ganti mengetuk pintu pelan, tidak segila istrinya tadi. “Fei, hei Nak... apa kau sudah bangun? Feira... hei, kau ada di dalam, kan?”
Tak ada jawaban dari dalam kamar. Itu karena Ye Xuan mengabaikan mereka berdua dan lebih mementingkan bercengkerama dengan Fei.
“Apakah menurutmu dia baik-baik saja di dalam sana?” Paman San bertanya ke istrinya.
“Mana kutau!? Memangnya aku punya mata Superman? Kalau aku tau, untuk apa aku sibuk menggedor pintunya?!” Bibi Ru masih emosi.
“Istriku, kau tau sendiri, kan? Semalam dia berbuat aneh begitu. Apa kau tidak khawatir dia melakukan hal gila lainnya lagi? Bagaimana kalau ternyata dia kenapa-kenapa di dalam kamar?” Paman San berspekulasi.
“Kenapa-kenapa apa? Harusnya kita yang mengeluh karena kita semalam dikasari oleh si sialan itu!” Bibi Ru tak suka suaminya terkesan membela Fei.
“Heh! Bagaimana kalau dia mati di dalam sana?”
“Hah? Mati?” Raut Bibi Ru mulai berubah.
Paman San mengangguk. “Selama ini dia tidak pernah diam tidak menjawab kita, kan?”
Bibi Ru mengangguk.
“Bagaimana jika ternyata dia sudah menjadi mayat sekarang ini?” Paman San berbicara dengan nada seram sambil bergidik ngeri.
“Jangan menakut-nakutiku!” Bibi Ru memukul d**a suaminya. “Aku tak mau rumahku ada mayat, apalagi dari gadis b******k seperti dia! Bisa sial tujuh turunan jika ponakan sial itu jadi mayat di rumahku!’
“Ayo telepon polisi saja!”