Yasmin turun dari mobilnya. Tak menyangka ia masuk lagi ke kampus adiknya itu. Yasmin merapikan gaun hitam selututnya dan menurunkan bucket hat yang ia kenakan karena tak ingin wajahnya terkena sinar matahari.
Perempuan itu dengan setengah kesal masuk ke ruang aula dengan jumlah kursi lebih dari seribu dan duduk di paling ujung. Melihat kursi-kursi di depannya masih kosong. Tiba-tiba, Yasmin teringat percakapannya dengan editornya kemarin.
"Kamu tau kan kalau bukumu sekarang sedang sepi? Itu karena kamu jarang keluar publik, Yasmin. Aku tau kamu menginginkan privasi, tapi coba sebutkan penulis terkenal di negara ini yang tetap merahasiakan dirinya!"
Lauren menunggu Yasmin menjawab, tapi perempuan itu hanya diam. "Tidak ada, kan? Karena kalau kau tidak dikenal, karyamu juga akan perlahan menghilang. Kamu harus muncul baru kamu bisa menaikkan lagi bukumu. Kau cantik, kenapa tak memanfaatkan kelebihanmu untuk mendapatkan segmentasi pembaca yang lebih luas? Orang-orang di negara ini, lebih tertarik dengan wanita cantik yang menulis n****+ biasa daripada n****+ luar biasa yang ditulis wanita tak cantik. Kau mengerti apa yang aku maksud?"
Yasmin menatap Lauren kecewa, "Jadi kamu menyuruhku menjual kecantikanku agar novelku laku? Aku seorang penulis, Lauren. Bukan seorang model. Aku harus dikenal karena karyaku, bukan wajah ataupun tubuhku. Aku pikir kita sepemikiran, kenapa kamu tiba-tiba menyarankan hal seperti ini padaku?" tanya Yasmin dengan sedikit dongkol.
"Oke. Sepertinya aku menjelaskan ke arah yang salah. Tidak ada yang ingin kamu menjual wajah atau tubuhmu, Yasmin. Aku hanya ingin kamu lebih muncul di publik, dengan cantik dan kesan baik, karena memang tidak ada yang memalukan darimu. Kau sempurna dan novelmu juga sempurna, jadi kenapa kau menyembunyikan dirimu? Kau jelas bukan itik buruk rupa."
"Aku hanya ingin privasi. Itu saja."
"Tapi privasi ini yang membuatmu diam di tempatmu sekarang. Banyak penulis pendatang baru yang menggesermu dari toko buku, Yasmin. Kau pasti menyadarinya, kan? Royaltimu pun menurun tahun ini," kata Lauren.
"Jadi aku harus bagaimana?" tanya Yasmin akhirnya.
Lauren tertawa, "Bagus. Aku tentu saja memiliki rencana. Kau tahu?" Lauren menatap Yasmin seperti seorang ayah yang menatap anaknya. "Aku sangat menyukaimu. Aku sudah mengenalmu sejak kamu masih kuliah dan aku tahu kamu luar biasa. Kamu pintar dan lulusan terbaik jurusan Sastra Indonesia saat itu. Karena itu, aku juga ingin kamu keluar dengan image yang cocok denganmu, Yasmin. Sebagai penulis cantik dan pintar, penulis terbaik Gramelita Book," kata Lauren sambil memberikan Yasmin proposal tebal.
"Kamu tahu Universitas Harapan? Aku lupa, kamu pasti tahu. Kampusnya ada didekat rumahmu dan Yasa bukannya kuliah di sana juga?"
Yasmin mengangguk, lalu Lauren kembali berkata, "Kampus itu sedang mendirikan jurusan Sastra Indonesia. Mereka mengajak Gramelita Book untuk bekerja sama dan meminta salah satu penulis kami untuk mengisi workshop menulis di sana. Mereka secara khusus bertanya apakah kamu bisa mengisinya, Yasmin. Mereka juga berkata kalau tahun ini akan membuka pendaftaran dan ingin membentuk tim promosi - singkatnya, mereka sepertinya tertarik menjadikanmu wajah jurusan barunya," kata Lauren dengan semangat.
Yasmin melempar ringan proposal yang belum sempat ia baca. "Aku tak menyangka kamu benar-benar menyuruhku menjadi model," kata Yasmin.
"Bukan model, Yasmin. Ini lebih ke -" Lauren tampak berpikir. "Aku tak tahu. Tapi mereka tak hanya menginginkan kamu menjadi model, tapi kerja sama jangka panjang dengan Gramelita Book. Dan jujur - bayaran yang mereka tawarkan sungguh menggiurkan. Lagian tak ada ruginya untuk kita. Bagaimana menurutmu?" tanya Lauren dengan hati-hati.
"Aku tak suka wajahku terpampang dimana-mana. Aku bersedia sebagai pengisi workshop, tapi model? Aku tak mau," kata Yasmin.
"Menurutku, kamu harus memikirkannya lebih dulu. Kesempatan ini sangat pas untuk mendongkrak namamu," kata Lauren lagi.
Yasmin yakin Lauren hanya menyuruhnya untuk memikirkan tawaran itu. Tapi tanpa sepengetahuan Yasmin, editornya itu malah menyetujui perjanjian bodoh itu. Membuat Yasmin mau tak mau harus datang ke Universitas Harapan untuk mengisi seminar dan workshop selama tujuh hari. Belum lagi pemotretan yang akan dimulai minggu depan.
"Kak Yasmin dari Gramelita Book?" tanya seorang perempuan muda memakai kaos panitia.
Yasmin mengangguk dan perempuan itu tersenyum sangat lebar. "Silakan masuk ke ruang tunggu, Kak. Kami sudah menunggu Kakak dari tadi. Wah, aku tak menyangka penulis Winter Flower ternyata secantik Kakak," kata perempuan yang Yasmin yakin seorang mahasiswa itu.
Yasmin hanya tersenyum kecil lalu mengikuti perempuan itu ke ruang tunggu. Di sana sudah ada pembicara lain, termasuk kepala jurusan baru dan seorang penulis tua yang sangat Yasmin hormati. Setelah menyapa mereka, Yasmin duduk di kursi yang disediakan panitia. Melirik perempuan cantik di sampingnya yang tampak menghafal sesuatu.
Merasa diperhatikan, perempuan itu menoleh. "Kak Yasmin?" tanyanya dengan Ragu.
Yasmin mengangguk lagi, kemudian perempuan itu menjabat tangan Yasmin. "Aku Renata. Moderator acara ini. Mohon bantuannya, Kak. Aku benar-benar penggemarmu," kata perempuan itu dengan senyum lebar.
Yasmin tak pernah melihat senyum yang lebih manis dari senyum perempuan di depannya ini. Perempuan itu pasti sangat terkenal di antara mahasiswa di kampus itu. Tipe perempuan populer yang digilai banyak orang.
"Aku yang harusnya meminta bantuanmu," kata Yasmin singkat.
Perempuan itu seperti akan mengatakan sesuatu, tapi panitia masuk dan menyuruh mereka untuk keluar karena acara akan segera dimulai. Entah kenapa, Yasmin sedikit gugup membayangkan dia akan tampil di depan ratusan orang. Perempuan itu menarik napasnya, lalu keluar dan mencoba percaya diri.
Menatap semua orang di aula itu dan sedikit terkejut saat melihat Yasa dan Kaelan duduk di kursi paling pojok. Apa yang dilakukan anak teknik sipil itu di seminar sastra seperti ini?
****
"Terima kasih untuk hari ini, Kak Yasmin," kata panitia yang mengikuti Yasmin sejak tadi.
Setelah seminar selesai, dekan fakultas ilmu bahasa mengundang Yasmin ke ruangannya. Seperti yang Yasmin duga, pria paruh baya berkacamata itu mengucapkan terima kasih pada Yasmin karena sudah mau menjadi pembicara di acara terbesar fakultas mereka. Pihak fakultas akan mengadakan makan malam setelah acara selesai dan meminta Yasmin datang. Yasmin hanya bilang akan datang jika ia memiliki waktu. Bukannya jual mahal, Yasmin hanya tak suka berada di tengah banyak orang asing, apalagi makan malam itu akan dihadiri panitia acara juga.
Yasmin menerima nasi kotak itu dan tersenyum canggung. "Sama-sama. Besok acaranya pukul satu siang lagi, kan?" tanya Yasmin.
"Benar, Kak. Besok workshop-nya di kelas-kelas gitu, jadi pesertanya tak sebanyak seminar tadi pagi," kata panitia lagi.
Yasmin mengangguk lalu meninggalkan panitia itu. Berniat akan pulang saat Yasmin melihat Yasa berada di lobi gedung fakultas itu. Melihat adiknya itu sendirian, Yasmin menghampirinya.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Yasmin saat sudah di depan Yasa.
"Yang pasti bukan untuk bertemu Mbak," kata Yasa.
Kening Yasmin berkerut, "Kalau bukan untuk melihat Mbak, memangnya apalagi alasan anak teknik datang ke seminar sastra seperti ini?" tanya Yasmin lagi.
"Yasa!"
Mereka berdua menoleh saat mendengar seseorang memanggil Yasa. Yasmin melihat perempuan yang menjadi moderator acara tadi keluar dari lift dan berjalan menghampiri mereka dengan langkah anggunnya. Perempuan itu tersenyum lebar seperti yang ia tunjukkan pada Yasmin tadi pagi.
"Aku pikir kamu udah pulang," kata perempuan bernama Renata itu.
"Gue masih nungguin Kaelan," kata Yasa sambil melirik kakaknya.
Yasmin menatap Renata dan Yasa bergantian. "Kalian saling kenal?" tanyanya penasaran.
"Kak Yasmin juga mengenal Yasa?"
Yasa membuka mulutnya. "Ini kakak gue," kata Yasa.
Renata menutup mulutnya seolah tak percaya. "Bagaimana bisa? Orang bilang dunia kecil, aku tak percaya sampai hari ini aku merasakannya sendiri," kata Renata.
"Sepertinya kalian sudah dekat. Jarang ada yang langsung dekat sama kakak gue di pertemuan pertama," kata Yasa lagi.
"Benarkah? Kak Yasmin orangnya ramah, kok. Enggak ada alasan aku enggak bisa dekat dengannya. Benarkan, Kak Yasmin?" tanya Renata.
Yasmin hanya mengangguk kecil lalu Renata berkata lagi. "Dimana Kaelan?" tanya perempuan cantik itu.
Yasmin bisa melihat perubahan wajah Yasa saat Renata menanyakan Kaelan. Dari luar terlihat datar seakan tak peduli, tapi Yasmin melihat rahang adiknya itu sedikit mengeras. Yasa selalu terlihat seperti itu saat tak menyukai sesuatu.
"Makasih banget buat hari ini, Yas. Kalau bukan karenamu, Kaelan pasti enggak akan mau datang ke sini. Aku meneleponnya berulang kali, tapi enggak diangkat. Aku juga mengirimnya pesan untuk datang dan memberi undangan juga, tapi dia enggak membalas. Kalian akhir-akhir ini terlihat dekat, jadi aku menghubungi agar mengajak Kaelan ke sini dan dia benar-benar datang. Aku sama sekali tak menduganya," kata Renata panjang lebar.
"Sebenarnya dia datang ke sini bukan karena gue juga. Dia - " Yasa tak melanjutkan perkataannya. "Itu Kaelan," kata Yasa sambil menunjuk Kaelan yang baru keluar dari toilet.
Yasmin mengikuti arah pandang Yasa dan melihat laki-laki itu berjalan ke arahnya. Laki-laki itu juga tampak terkejut ketika melihat Yasmin. Kaelan semakin mempercepat langkahnya dan Yasmin mengakui bahwa laki-laki itu memang tampan. Apalagi dengan penampilannya sekarang. Tampak santai dengan kaos putih yang ditutup jaket besar hitam dan celana jeans yang sobek di bagian lutut. Entah kenapa, penampilan santai Kaelan semakin mengingatkan Yasmin akan perbedaan umur di antara mereka.
"Yasmin..." panggil Kaelan dengan saat sudah berdiri di samping Yasmin.
"Yasmin? Kae, kamu enggak tau siapa orang di depanmu ini? Dia adalah penulis terkenal dan juga kakak Yasa, Kae. Kak Yasmin sembilan tahun lebih tua dari aku, artinya dia delapan tahun lebih tua darimu. Bagaimana bisa kamu memanggilnya dengan namanya tanpa tambahan "Kak"?" kata Renata pada Kaelan.
Kaelan tak memedulikan Renata dan tetap berbicara pada Yasmin. "Kamu keliatan keren tadi," kata Kaelan sambil mengangkat dua ibu jarinya.
Renata mendekati Kaelan dan menarik tangan laki-laki itu. "Bagaimana denganku? Apa aku tampil baik tadi? Aku enggak pernah jadi moderator seminar sebelumnya. Kenapa mereka tiba-tiba memilihku yang baru semester lima ini?" tanya Renata.
"Bukannya lo yang minta ke Kak Karin waktu itu?" tanya Kaelan datar.
"Ah, benar. Aku lupa." Renata merapikan poninya. "Oh ya, aku tadi melihat Kak Karin. Dia datang ke seminar ini, kan?" tanya Renata pada Kaelan.
Yasmin memperhatikan wajah Yasa dengan serius. Seketika tahu Yasa memiliki ketertarikan pada Renata. Adiknya itu mengalihkan pandangannya saat Renata berbicara pada Kaelan. Meskipun terlihat seakan tak peduli, tapi Yasmin bisa tahu dari mata adiknya yang tampak sedih.
"Yas, kamu masih ada kegiatan di kampus? Mbak akan pulang," kata Yasmin.
"Aku masih ada kelas nanti pukul dua sing," jawab Yasa.
"Kalau begitu -"
"Kaelan!"
Ucapan Yasmin terpotong oleh suara perempuan yang memanggil nama Kaelan. Semua orang di depannya menoleh ke belakang. Seorang perempuan berambut pendek dengan setelan hitam berjalan mendekati mereka. Yasmin yakin tak mengenal perempuan itu, tapi wajahnya tampak tak asing. Yasmin merasa menjadi orang asing lagi ketika Renata tersenyum lebar dan memeluk perempuan itu dengan erat.
"Kak Karin..." panggil Renata.
Perempuan bernama Karin itu tersenyum tipis, lalu melepas pelukan Renata. Perempuan itu berjalan lalu menepuk bahu Kaelan ringan.
"Akhirnya aku melihatmu," kata Karin pada Kaelan.
"Kakak ada apa ke sini?" tanya Kaelan pada perempuan itu.
"Tentu saja untuk bekerja." Perempuan itu seperti sadar ada orang lain di sekitarnya lalu menatap Yasmin dan Yasa bergantian. "Kamu Yasmin, kan? Aku melihat seminarmu tadi. Rupanya panitia tidak salah memilih pembicara untuk acara tahun ini-"
Karin mengulurkan tangannya ke Yasmin. "Aku Karin, ketua Yayasan Harapan, kau tahu - yayasan yang mendirikan universitas ini," kata Karin.
Yasmin menyambut uluran tangan Karin, "Yasmin," kata perempuan itu.
"Aku tak menyangka kalian saling mengenal," kata Karin.
"Iya, Kak. Ini Yasa, temanku yang ternyata adiknya Kak Yasmin. Yasa juga teman Kaelan, karena itulah mereka saling mengenal," kata Renata.
Karin menatap orang-orang di sekitarnya satu-persatu. "Bagaimana? Apa kalian ada waktu untuk makan siang? Aku memang ingin mengucapkan terima kasih pada Yasmin karena sudah mau menerima tawaran kerjasama kami." Karin mendorong bahu Kaelan dengan ringan. "Sekaligus juga, aku udah lama enggak makan siang sama ini bocah. Bagaimana? Apa ada yang memiliki acara lain setelah ini? Aku sudah memesan restoran enak di depan kampus," kata Karin sambil menunjuk gedung restoran di depan kampus.
"Setuju," kata Renata dengan bersemangat.
"Sepertinya aku-"
"Ayo, Kak Yasmin." Renata mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Yasmin. "Kak Karin adalah orang penting di kampus ini. Dia memiliki banyak koneksi dan - pokoknya ini kesempatan langka buat Kak Yasmin. Enggak biasanya Kak Karin ngajak orang asing makan siang," kata Renata.
Yasmin tak terlalu suka dengan perkataan Renata. Seperti menekankan kalau Yasmin orang bodoh jika menolak ajakan makan siang Karin. Memangnya kenapa jika perempuan itu ketua Yayasan Harapan? Yasmin bahkan tak peduli sama sekali.
Tapi Yasmin tak mengatakan apapun, karena dirinya tak ingin membuat masalah di pertemuan pertama mereka. Apalagi melibatkan pekerjaannya. Lauren pasti akan memarahinya jika tahu Yasmin menolak ajakan keluarga Jourdin itu.
"Oke, lagian aku juga ingin makan siang setelah ini," kata Yasmin akhirnya.