"Kailan?"
Yasmin memasukkan daging ke atas wajan. "Benar. Teman satu jurusanmu," kata Yasmin.
"Oh, Kaelan..." Yasa mengambil minuman soda di kulkas. "Bener. Dia temenku. Kenapa memangnya?" tanya Yasa sambil melihat kakaknya.
Masakan Yasmin sudah matang dan dengan rapi ia menatanya di piring. Perempuan itu mencuci alat-alat masaknya lalu membawa makanan yang sudah ia masak ke meja makan. Menatap Kaelan yang masih memakai kemeja jurusannya. Adiknya itu baru pulang dari kampus.
"Sejak kapan kamu mengenalnya? Meskipun Mbak enggak mengenal temen-temenmu, tapi Mbak tahu wajah-wajah mereka. Dan si Kailan ini baru Mbak lihat kemarin," kata Yasmin yang sudah duduk di meja makan sambil mengambil nasi.
"Kemarin dia ke sini cuma buat ngerjain tugas aja. Kebetulan aku sama dia satu kelompok." Yasa meletakkan tas besarnya dan ikut duduk di depan Yasmin. "Aku juga enggak begitu mengenalnya," kata Kaelan lagi.
"Kamu ketua angkatan, kamu harusnya mengenal semua anak di angkatanmu, kan?" kata Yasmin lagi.
"Kaelan sedikit berbeda," kata Kaelan sambil memakan dagingnya.
"Berbeda bagaimana?" tanya Yasmin tak mengerti.
"Dia tak pernah main sama anak-anak lain. Setelah kuliah, biasanya dia langsung pergi. Enggak pernah mau main sama anak-anak sepertiku, mungkin Kaelan mengira kami seonggok sampah," kata Yasa.
Yasmin berusaha menyembunyikan ketertarikannya dengan bertingkah seperti biasa. Tak ingin Yasa tahu kalau ia bertemu dengan Kaelan lagi tadi pagi. Kalau Yasa tahu, adiknya itu akan memberi peringatan pada Kaelan agar tak menganggunya. Karena meskipun kadang menyebalkan, tapi Yasmin tahu adiknya adalah orang pertama yang akan berdiri di depan Yasmin jika ada masalah.
"Kenapa Mbak tiba-tiba bertanya tentang Kaelan?" tanya Yasa dengan curiga.
Yasmin menatap Yasa dengan datar, "Mbak hanya enggak ingin kamu salah pergaulan. Anak itu terlihat tidak baik. Kamu harus hati-hati," kata Yasmin.
Yasmin mengerutkan keningnya ketika melihat Yasa tertawa. "Yang benar, Mbak. Kaelan adalah anak yang paling ingin didekati di kampusku. Dia anak pemilik Universitas Harapan. Dia kalangan atas, mungkin ayahnya masuk 50 orang terkaya di Indonesia. Mbak enggak pernah mendengar nama Jourdin?" tanya Yasa.
"Jourdin?" Yasmin mengetuk meja makannya dan menunjuk merek yang tertulis di pinggir meja. "Maksudmu Jourdin ini?" tanya Yasmin.
Yasa melihat ujung meja makannya dan mengangguk. "Ya, ini salah satunya. Aku tak menyangka Jourdin Group juga memiliki perusahaan furnitur. Jourdin adalah perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia. Sekarang mereka sedang melebarkan sayap ke perusahaan properti. Mbak tahu Raison Hotel? Itu juga hotel milik Jourdin," kata Yasa santai sambil makan.
Yasmin tak bisa berkata-kata. Ia tahu Kaelan berasal dari keluarga kaya, tapi ia tak menduga keluarganya sekaya itu. Tentu saja Yasmin tahu Jourdin Group. Meskipun tak pernah mengikuti berita dan kadang tak tertarik dengan dunia luar, tapi nama Jourdin terlalu besar untuk Yasmin abaikan. Terutama masalah furnitur, Yasmin sangat menyukai desain furnitur dari perusahaan Jourdin. Karena itulah seluruh furnitur di rumah Yasmin kebanyakan bermerek Jourdin.
"Kenapa kamu tak memberitahu Mbak sebelumnya?" tanya Yasmin.
"Apa? Aku pikir Mbak tak peduli dengan hal-hal seperti ini. Lagian, memangnya apa urusan Mbak kalau Kaelan berasal dari keluarga Jourdin? Aku bahkan tak peduli dia berasal dari keluarga mana," kata Yasa lagi.
Yasmin berdiri, tiba-tiba tak selera makan lagi. "Mbak tak terlalu suka dengan keluarga seperti mereka. Jadi, lebih baik kamu jauhi Kailan itu, Yasa. Berhubungan dengan keluarga seperti itu hanya akan membuat masalah," kata Yasmin.
Yasa tersenyum tipis. "Masih saja, Mbak menilai seseorang dari kekayaannya. Meskipun berasal dari keluarga konglomerat, Kaelan tak seburuk itu, Mbak. Dan aku sudah dewasa, aku bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk," kata Yasa.
"Mbak tak mau tahu. Pokoknya jangan membawa anak itu ke rumah ini lagi. Mbak enggak suka," kata Yasmin lalu meninggalkan Yasa menuju kamarnya.
***
Yasa masuk ke kelasnya. Melirik kursi di belakang yang sudah penuh. Laki-laki itu akan meletakkan tasnya di kursi paling depan ketika seseorang mengangkat tangannya dan menyuruh Yasa duduk di sampingnya. Orang itu mengusir teman di sampingnya hanya untuk Yasa. Dengan kening berkerut, Yasa mendekati laki-laki itu.
"Ada apa? Tumben lo mau duduk sebangku sama gue," kata Yasa sambil duduk di samping Kaelan.
Kaelan tersenyum dan menghadap Yasa. "Hari ini lo diantar lagi sama kakak lo?" tanya Kaelan.
"Enggak. Dia masih tidur. Kenapa emangnya?" tanya Yasa dengan curiga.
Kaelan melihat jam tangannya, "Jam segini masih tidur? Gue pikir kakak lo tipe yang rajin bangun pagi. Kenapa perempuan itu bisa penuh dengan kejutan?" kata Kaelan sambil tersenyum kecil.
Melihat Kaelan membicarakan kakaknya membuat Yasa tak nyaman. "Lo sepertinya enggak tahu. Tapi gue enggak suka lo membicarakan kakak gue seolah lo tertarik dengannya seperti ini, Kae," kata Yasa.
"Kalau memang gue tertarik?"
Yasa menarik bibirnya tipis. "Sebaiknya lo cepet nyerah, karena kakak gue enggak gampangan seperti pacar-pacar lo yang lain," kata Yasa.
"Benarkah?"
"Benar. Dan kakak gue udah punya pacar. Pria dewasa dan bukannya laki-laki yang berada delapan tahun di bawahnya. Jadi sebelum lo kecewa, lebih baik lo cari incaran baru aja. Sekarang lagi ada mahasiswa baru, lo kan suka cari perhatian sama anak baru," kata Yasa seperti menyindir Kaelan.
Kaelan membelalakkan matanya, "Sejak kapan gue cari perhatian sama anak baru? Lo jangan ngawur, Yas. Gue bahkan enggak kenal satupun dari mereka," kata Kaelan dengan serius.
"Lo sangat menyakinkan sampai orang mungkin berpikir gue yang salah di sini. Semua orang juga tahu kalau lo lagi deket sama anak baru itu -" Yasa seperti mengingat nama seseorang. "Siapa namanya? Renata? Dia gadis tercantik di antara anak baru tahun lalu," kata Yasa lagi.
Kaelan tertawa ketika Yasa menyebut nama Renata, "Renata? Ya ampun, Yas. Dia cuma anak temen keluarga gue. Mami nyuruh gue jagain dia. Gue enggak ada perasaan apa-apa sama tuh cewek," kata Kaelan.
"Tapi Renata suka setengah mati sama lo," kata Yasa lagi.
"Darimana lo tahu?"
"Renata cerita ke gue. Gue jadi asisten praktikumnya taun kemarin," kata Yasa sambil mengeluarkan bukunya.
"Sepertinya lo lebih mengenal Renata daripada gue." Kaelan mencengkeram bahu Yasa dan memutarnya agar menghadapnya lagi. "Gue enggak pernah seserius ini sebelumnya. Lo adiknya, jadi gue rasa harus ngomong ini ke lo dulu. Gue bener-bener tertarik sama kakak lo - sampai ditahap dimana gue enggak peduli dia udah punya pacar. Lo paham maksud gue, Yas?" tanya Kaelan.
Yasa menggeleng cepat. "Enggak paham sama sekali," kata Yasa.
"Artinya gue bakal tetep deketin kakak lo. Meskipun harus menjadi orang ketiga di antara dia dan pacarnya," kata Kaelan lagi.
Yasa menepis tangan Kaelan dari bahunya. "Lo enggak akan berhasil karena kakak gue sangat mencintai Kak Kavin. Mereka bahkan sudah memiliki rencana untuk menikah tahun depan." Yasa menatap Kaelan dengan prihatin. "Gue ngomong ini bukan karena kakak gue aja, tapi gue udah nganggep lo sebagai temen gue. Lupakan ketertarikan lo sama kakak gue karena gue yakin lo enggak akan pernah diliriknya, Kaelan."
"Entah kenapa, omongan lo lebih nyakitin daripada penolakan kakak lo kemarin," kata Kaelan.
Yasa menoleh dengan cepat, "Lo ketemu sama kakak gue kemarin?"
Kaelan mengangguk, membuat Yasa terlihat kesal. "Apa yang lo lakuin?" tanyanya.
"Apa? Gue enggak ngapain-ngapain. Gue cuma numpang mobil kakak lo ke hotel gue," kata Kaelan.
"Lo ngajak kakak gue ke hotel?" teriak Yasa cukup keras.
Yasa menutup mulutnya saat menyadari seisi kelas tengah melihat mereka berdua. Laki-laki itu menatap Kaelan dengan tajam. Semakin kesal ketika Kaelan tampak santai di depannya.
"Ba-jingan, lo ngajak kakak gue ke hotel, Kae?" tanya Yasa lagi dengan nada rendah.
"Tenang, Yas." Kaelan menurunkan bahu Yasa yang menegang. "Gue enggak sebajingan itu buat ngajak kakak lo yang baru gue kenal ke kamar hotel gue. Meskipun jujur gue sangat ingin melakukannya," kata Kaelan diakhiri dengan tawa kecil.
Yasa mendorong da-da Kaelan, "Ba-jingan!" teriaknya.
"Oke. Gue minta maaf. Tapi gue serius -" Yasa merapikan kemejanya yang ditarik oleh Yasa. "Kakak lo ada pertemuan di Raison Hotel. Gue tinggal di sana jadi gue numpang kakak lo. Kami berpisah saat di restoran hotel. Gue enggak segila itu buat ngajak kakak lo ke kamar gue. Dan menurut lo nih - dengan sifat kakak lo yang seperti itu, apa dia akan setuju jika gue ajak begituan? Dia bahkan udah membangun tembok sejak awal," kata Kaelan panjang lebar.
Yasa menarik napasnya lega, lalu kembali menghadap ke depan. "Lo bawa mobil kemarin, kenapa lo numpang mobil kakak gue?" Yasa menggenggam penanya dengan erat. "Jangan deketin kakak gue lagi atau gue enggak akan tinggal diam, Kae. Kakak gue udah bahagia sama Kak Kavin. Lo cuma akan merusak hidupnya," kata Yasa.
"Bagaimana jika gue bisa membuat kakak lo jatuh cinta ke gue?" tanya Kaelan lagi.
"Itu enggak mungkin," kata Yasa.
"Beri waktu gue dua bulan -" Kaelan menutup mulutnya saat Yasa menatapnya tajam. "Oke. Satu bulan. Satu bulan ini - biarin gue deketin kakak lo dan kalau kakak lo tetep enggak tertarik, gue akan menyerah mendekatinya. Bagaimana?"
"Lo pikir kakak gue mainan? Gue enggak akan biarin lo deketin kakak gue selama sehari, apalagi satu bulan."
"Kalau gitu, gue bakal dekatin kakak lo selama yang gue mau, Yas."
Yasa menatap tajam Kaelan lagi. "Gue baru tau lo bener-bener menyebalkan. Kakak gue bener - gue harusnya menjauhi anak konglomerat yang merasa semua bisa didapatkan dengan mudah kayak lo," kata Yasa.
"Kakak lo ngomong sesuatu tentang gue? Apa yang dia katakan? Beritahu apa yang Yasmin katakan tentang gue, Yas!"
"Kakak gue bilang, kalau gue harusnya tak berhubungan dengan keluarga seperti Jourdin. Karena kakakku enggak pernah suka dengan keluarga kaya." Yasa menarik sudut bibirnya kecil. "Bahkan keluargamu adalah halangan besar, Kaelan. Apalagi perbedaan usia kalian dan Kak Kavin. Gue enggak tau kenapa lo bisa tertarik sama kakak gue. Mungkin hanya karena lo merasa tertantang karena kakak gue cewek pertama menolak lo. Tapi apapun itu - lo enggak akan bisa mendapatkan kakak gue. Perbedaan kalian terlalu besar," kata Yasa dengan serius.
"Kalau lo menganggap gue mendekati kakak lo hanya kerena tertantang, itu berarti lo enggak menyadari betapa cantik dan menariknya kakak lo, Yas. Gue bahkan langsung jatuh cinta saat pertama kali melihatnya."
Mulut Yasa terbuka tak mengerti. "Bukankah terlalu cepat untuk menyimpulkan kalau lo jatuh cinta sama kakak gue, Kae? Lo bahkan belum mengenalnya," kata Yasa.
"Gue sadar enggak tau apa-apa tentang Yasmin. Tapi gue yakin - apapun tentangnya, gue akan menyukainya. Satu yang pasti - kakak lo orang yang baik dan karena itu gue enggak ingin melakukan sesuatu yang melukainya," kata Kaelan lagi.
Yasa membuka bukunya ketika dosen masuk ke kelas. "Gue enggak tau lagi. Gue enggak tau harus seneng atau sedih. Gue seneng karena ada orang lain yang mencintai kakak gue dan mengharapkan kebahagiannya, tapi gue takut - perasaan lo ini hanya akan menyakiti kakak gue, Kae. Karena percayalah - kakak gue udah melalui banyak cobaan berat selama hidupnya. Karena itu, meskipun lo berjanji akan membuat kakak gue hidup seperti di dongeng pun, gue tetep enggak setuju. Karena gue tahu perjalanan menuju negeri dongeng itu sangat berat - dan gue enggak mau kakak gue melewatinya. Sedangkan gue sendiri enggak yakin dunia dongeng itu benar-benar ada atau enggak," kata Yasa.
"Gue enggak bilang akan membawa kakak lo ke negeri dongeng," kata Kaelan.
"Lalu apa? Gue enggak pernah berpikir seperti sebelummya, tapi kenyataannya - kehidupan kita berbeda seratus delapan puluh derajat, Kaelan. Apa lo pernah enggak makan dua hari karena makanan di rumah lo hanya cukup untuk makan adik lo?"
Kaelan mengedikkan bahunya. "Gue enggak punya adik."
"Yasa melirik dosen yang sedang menjelaskan sesuatu di papan tulis. "Bukan itu yang gue maksud. Maksud gue adalah - gue dan kakak gue enggak punya apa-apa. Kami hanya memiliki satu sama lain. Ketika lo menginap di hotel keluarga lo yang semalamnya bisa jutaan rupiah, kakak gue bekerja sampai tengah malam hanya untuk membiayai kuliah gue yang enggak seberapa. Kami enggak pernah bermimpi tinggal di negeri dongeng seperti kehidupan lo dan kami bahkan membencinya," kata Yasa.
"Lo pikir kehidupan gue semudah itu, Yas?"
"Iya. Semudah itu."
"Tapi lo juga enggak tahu seluruhnya. Lo hanya lihat gue dari luar. Seperti gue yang lihat lo dan Yasmin dari luar. Jadi, gue enggak boleh menilai kakak lo sembarangan, tapi lo boleh menilai gue seenak lo?" kata Kaelan dengan nada cukup tinggi.
Dosen yang sedang menjelaskan di depan menoleh dengan wajah tajam. Mencari siapa yang membuat keributan di kelasnya. Ketika menyadari Kaelan yang bersuara, wajah dosen itu mulai melunak. Semua orang di kampus tahu jika tidak ada satu pun dosen yang berani menegur Kaelan.
Memangnya siapa orang gila yang ingin kehilangan pekerjaannya karena dengan bodoh menegur anak pemilik kampus? Tidak ada yang berani menyentuh seorang pangeran di kerajaannya sendiri.
"Abiyasa! Bapak dengar kamu mengobrol di kelas! Keluar dari kelas saya sekarang!" kata dosen tua itu pada Yasa.
Yasa menatap datar pada Kaelan. Ini pertama kalinya ia diusir dari kelas selama berkuliah di kampus itu tiga tahun. Yasa merapikan buku-bukunya untuk keluar karena laki-laki itu tak ingin membuat masalah lebih runyam hanya karena merasa tidak adil. Tapi lain lagi dengan Kaelan yang sudah berdiri di sampingnya.
"Kenapa Bapak mengusir Yasa? Jelas-jelas saya yang berbicara keras tadi!" kata Kaelan pada dosen mata kuliah Struktur Jembatan itu.
"Saya hanya mendengar suara Yasa, jadi jangan menambah keributan dan kembali duduk, Kaelan." Dosen itu menatap Yasa dengan tajam lagi. "Dan kamu Yasa, segera keluar dan kamu saya anggap tak masuk kuliah tanpa alasan hari ini," katanya sambil kembali menulis di papan tulis.
Yasa mengambil tasnya dan menarik bibirnya tipis pada Kaelan. "Sekarang, lo paham apa yang gue maksud, Kae? Inilah perbedaan besar kehidupan lo dan kakak gue," kata Yasa lalu pergi meninggalkan kelasnya.