Yasmin menuju parkiran ketika merasa seseorang mengikutinya. Yasmin memutar kepalanya melihat belakang dan menemukan Kaelan. Tak memedulikan laki-laki itu, Yasmin tetap berjalan dengan cepat. Perempuan itu berhenti dan membelalakkan matanya ketika melihat ban mobilnya kempes.
"Kenapa bisa kempes? Tadi masih baik-baik saja," kata Yasmin sambil memegang ban mobilnya.
Kaelan ikut menunduk, "Mungkin kamu enggak menyadarinya, Yasmin. Biar aku antar kamu pulang," kata Kaelan.
Yasmin menatap tajam Kaelan. "Tidak. Aku akan memesan taksi saja," kata Yasmin.
Kaelan menarik tangan Yasmin menuju mobilnya, "Lagian aku melewati rumahmu, kenapa kita harus pergi dengan mobil berbeda-beda. Itu sungguh menghabiskan bensin. Kamu tahu kan kalau bahan bakar fosil sudah menipis. Dan ayolah, sudah terlalu banyak orang di negara ini yang tak peduli. Jangan ditambah kamu juga, Yasmin," racau Kaelan.
Kening Yasmin berkerut, "Sejak kapan kamu peduli hal kayak gitu? Orang yang paling banyak menghabiskan bahan bakar fosil bukannya dirimu dan mobil sport mewahmu itu?" balas Yasmin tak mau kalah.
Kaelan tersenyum, "Nah, berhubung kamu menyinggungnya, aku sudah menjual mobil sport-ku. Sekarang aku membeli mobil hemat energi. Desainnya tidak terlalu bagus, tapi hemat bahan bakar dan bisa memakai listrik juga," kata Kaelan dengan senyum bangga.
Yasmin melirik Kaelan, "Enak ya jadi orang kaya. Bisa ganti mobil sesuai suasana hati," kata Yasmin.
Kaelan mendekatkan wajahnya pada Yasmin. Membuat perempuan itu terkejut dan melangkah mundur. Yasmin menahan napasnya saat Kaelan mendekati telinganya. Merasakan napas hangat laki-laki itu di lehernya.
"Kalau kamu mau menjadi pacarku, kamu juga bisa ganti mobil sesuai suasana hatimu, Yasmin," bisik Kaelan.
Yasmin mendorong da-da Kaelan. "Kamu pikir aku perempuan murahan?" tanya Yasmin dengan tajam.
"Aku tak bilang begitu," jawab Kaelan.
"Kamu merayuku dengan iming-iming mobil barusan. Memangnya apa namanya kalau kamu bukan menganggapku perempuan murahan? Sayangnya, aku tak tertarik dengan mobil mewahmu, Kaelan," kata Yasmin.
Kaelan tersenyum lagi. Yasmin tak tahu kenapa laki-laki itu suka sekali tersenyum padanya. Padahal tidak ada yang lucu sama sekali.
"Jangan terlalu baik, Yasmin. Tak baik jika kamu membuatku semakin menyukaimu, kan?" tanya Kaelan.
Yasmin memutar matanya lalu mendesah pelan. "Dimana mobilmu?" tanya Yasmin.
"Kamu mau pulang denganku?" tanya Yasmin.
"Kamu akan berhenti mengangguku seperti ini jika aku ikut kamu pulang, kan?" tanya Yasmin.
Kaelan tersenyum lagi. "Tentu saja. Aku akan diam, aku hanya akan bersuara sekeras suara nyamuk," kata Kaelan.
Yasmin menggelengkan kepalanya tak habis pikir dan mengikuti Kaelan. Yasmin masuk ke dalam mobil Kaelan saat laki-laki itu membukakan pintu untuknya. Laki-laki itu tersenyum kecil - senyum yang semakin menyebalkan bagi Yasmin.
"Aku berniat membiarkan ini, tapi bagaimanapun aku memikirkannya, kau tak boleh memanggilku Yasmin," kata Yasmin.
"Lalu aku harus memanggilmu apa? Bukankah namamu memang Yasmin?"
"Kamu tahu, saat kamu lahir ke dunia ini, aku sudah bisa membaca dan menulis dengan baik, aku bahkan sudah bisa memandikan Yasa tanpa bantuan siapapun. Saat kamu belum bisa melihat dunia ini dengan jelas, aku sudah mengenalnya dan merasakan semua kepedihannya, Kaelan."
Melihat Kaelan tampak tak mengerti dengan perkataannya, Yasmin kembali berkata. "Maksudku adalah - di mataku, kamu hanyalah anak kecil -"
Perkataan Yasmin terhenti ketika Kaelan mengerem mobilnya dengan tiba-tiba. Yasmin menatap tajam Kaelan dan laki-laki itu membalas tatapan Yasmin dengan sedikit kemarahan.
"Anak kecil?" tanya Kaelan.
"Iya, anak kecil. Bagiku kamu hanya anak kecil. Sama seperti aku menganggap Yasa masih kecil. Itulah kamu di mataku, Kaelan. Dan apapun yang kamu lakukan, itu enggak akan mengubah dirimu di mataku," kata Yasmin.
Kaelan tersenyum miring, "Kamu membuatku sangat tersinggung, Yasmin. Kamu baru saja menyamakan aku dengan adikmu?"
"Kenapa kamu berhenti?" tanya Yasmin ketika Kaelan menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
Kaelan melepas sabuk pengamannya dan mendekati Yasmin. Membuat perempuan itu menjauhkan tubuhnya hingga menempel pada pintu mobil. Yasmin perlahan membuka sabuk pengamannya. Menyentuh pintu di belakangnya dan mendesah pelan saat mengetahui pintu itu dikunci. Sedangkan tubuh Kaelan semakin mendekatinya.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Yasmin tajam.
"Mencari tahu, apakah benar kamu menganggap aku sebagai anak kecil. Karena tidak ada perempuan yang mengatakan hal seperti itu padaku sebelumnya," kata Kaelan.
"Itu karena mereka seumuran denganmu. Tapi aku delapan tahun lebih tua darimu, Kaelan. Aku adalah kakak dari temanmu. Kita sama sekali tak boleh melakukan ini," kata Yasmin dengan sedikit panik.
"Melakukan apa?" tanya Kaelan dengan wajah datarnya.
Wajah Kaelan sudah sangat dekat dengan wajah Yasmin. Membuat Yasmin menahan napasnya dan dengan ragu mendorong da-da Kaelan menjauhinya. Tangan perempuan itu menyentuh da-da Kaelan - yang sama sekali tak bergerak padahal Yasmin sudah mendorongnya dengan kuat. Yasmin membenci dirinya sendiri ketika ia sedikit berdebar saat merasakan kerasnya da-da Kaelan dari jari-jari tangannya.
Bagaimana kamu bisa berdebar karena laki-laki yang baru saja ia sebut anak kecil? Apa yang sekarang kamu lakukan Yasmin?
Kaelan menarik tangan Yasmin yang berada di da-danya, lalu mencengkeramnya ke sandaran kursi. "Tangan sekecil ini tidak akan bisa mendorongku," kata Kaelan.
"Menjauh dariku, Kaelan. Kita tak boleh melakukan ini," kata Yasmin lagi.
Kaelan tersenyum kecil, "Memangnya apa sih yang kita lakukan? Aku tak melakukan apapun," kata Kaelan.
"Menjauh dariku!"
"Apa jangan-jangan, kepalamu ini yang sedang memikirkan hal yang tidak-tidak," kata Kaelan sambil menyentuh kepala belakang Yasmin.
"Kaelan -"
Yasmin menghentikan ucapannya saat Kaelan mendekatkan wajahnya lagi. Membuat bibir mereka hanya berjarak satu sentimeter. Kaelan membuka bibirnya, lalu memiringkan kepalanya, seperti ingin mencium Yasmin. Cengkeraman Kaelan di tangan Yasmin semakin kuat dan tangannya yang lain merengkuh pinggang Yasmin mendekatinya.
Bibir Kaelan menyentuh bibir Yasmin sekilas, lalu laki-laki itu menjauhkan wajahnya segera. Menyadari tubuh Yasmin yang menegang dan tatapan berkaca-kaca perempuan di depannya itu. Kaelan semakin menjauh dan pertama kalinya dalam hidupnya - laki-laki itu merasa telah melakukan kesalahan besar. Padahal ia hanya ingin mencium Yasmin.
Tidak ada perempuan yang membuatnya merasa bersalah hanya karena ingin menciumnya selama ini.
"Yasmin?" panggil Kaelan dengan hati-hati.
Perempuan di depannya itu seperti tersadar dan Kaelan terbelalak saat Yasmin tiba-tiba menamparnya. Tentu saja - tamparan Yasmin tidak terasa sama sekali. Sampai Kaelan meragukan apakah perempuan itu sungguh ingin menamparnya. Tapi, tetap saja - kenapa perempuan itu menamparnya hanya karena sebuah ciuman? Kaelan bahkan belum sempat menciumnya.
"Kenapa kamu menamparku?" tanya Kaelan menyuarakan pikirannya.
"Kenapa? Kamu tanya kenapa?" kata Yasmin sambil merapikan duduknya.
"Benar. Kamu menunjukkan lagi padaku perbedaan kita, Kaelan. Kamu menganggap hal seperti tadi bukan apa-apa. Tapi bagiku, kamu sudah melewati batas. Kamu melakukan hal yang membuatku marah," ujar Yasmin.
"Kenapa? Aku bahkan tidak menciummu. Aku berhenti - meskipun aku sangat menginginkannya, aku berhenti. Aku tahu kamu tidak suka dan aku berhenti. Tapi kenapa kamu sampai menamparku, Yasmin? Aku benar-benar tak mengerti," kata Kaelan.
"Kau tak mengerti? Kalau masalah seperti ini kamu tidak mengerti, maka kamu tidak akan pernah mengerti aku seluruhnya." Melihat Kaelan masih menatapnya kesal, Yasmin berkata. "Tentu saja ini bukan salahmu. Bukan salahmu jika kamu tak bisa mengerti aku. Memang kita saja yang terlalu berbeda, jadi menjauhlah dariku dan jangan mendekatiku lagi karena kita sama sekali tidak cocok, Kaelan," kata Yasmin.
Kaelan menyalakan mobilnya lagi, "Aku tak mau," katanya sambil fokus ke jalanan.
"Apa?" tanya Yasmin bingung.
"Aku tak mau menyerah begitu saja, apalagi setelah aku mendapat tamparan seperti tadi," kata Kaelan.
Yasmin menatap Kaelan cukup lama. Melihat saat laki-laki itu memutar setir dengan tangan kokohnya. Kaelan memakai kaos putih dan kemeja biru muda yang lengannya digulung sampai siku. Memperlihatkan lengan laki-laki itu yang tampak kuat dan besar. Yasmin menelan ludahnya, memutar kepalanya ke depan dan mengutuk dirinya sendiri karena dengan sadar memperhatikan laki-laki itu.
***
Yasmin membuka sabuk pengamannya lalu keluar dari mobil Kaelan dengan cepat. Sebelum menutup pintu mobil, Yasmin menunduk dan dengan datar berkata.
"Terima kasih," ujar Yasmin cepat.
Tanpa menunggu jawaban Kaelan, Yasmin melangkah pergi dengan cepat. Perempuan itu membuka pintu dan hampir jatuh ketika dari kaca pintu, Yasmin melihat bayangan hitam di belakangnya. Yasmin akan jatuh ke lantai jika laki-laki di belakangnya tidak menahan pinggangnya.
"Kenapa kamu ikut turun?" kata Yasmin sambil mengatur detak jantungnya.
Kaelan memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan, "Boleh aku menumpang toilet? Perutku sangat sakit," kata Kaelan.
Mata Yasmin menyipit matanya tak percaya. "Jangan bohong. Kamu pikir aku akan percaya? Pulanglah, Kaelan. Aku tidak menerima tamu hari ini!" kata Yasmin dengan nada tinggi.
Kaelan tidak menghiraukan Yasmin dan mendorong kecil perempuan itu lalu berlari ke toilet dekat dapur. Yasmin mengangkat alisnya. Apa laki-laki itu benar-benar sakit perut?
Yasmin mendekati toilet dan menempelkan telinganya di pintu, tapi ia tak mendengar apapun. Merasa khawatir, Yasmin mengetuk pintu toilet itu.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Yasmin ragu-ragu.
"Menjauhlah, Yasmin. Aku baik-baik saja," kata Kaelan dengan nada aneh.
"Benarkah? Suaramu terdengar -"
"Aku tidak apa-apa. Jadi menjauhlah," potong Kaelan.
Perempuan itu menjauh, melangkah menuju dapur dan menunggu di meja makan beberapa menit. Tapi Kaelan ternyata lebih lama dari dugaannya. Membuat Yasmin mendekati pintu toilet lagi. Dan mendengar suara laki-laki itu menyiram toilet.
Yasmin membuka kulkas dan tersenyum saat melihat apel merah yang baru dibelinya kemarin. Yasmin memutuskan untuk membuat jus apel, sesuatu yang selalu dibuat neneknya saat perutnya sakit dulu.
Pintu toilet terbuka dan Kaelan muncul dengan wajah pias, "Yasmin..." panggil laki-laki itu dengan lirih.
"Kenapa?" tanya Yasmin.
"Apa kamu punya itu?"
"Itu apa?"
Kaelan mendesah pelan, lalu menutup pintu lebih dekat, "Penyedot toilet," kata laki-laki itu pelan.
"Ah, toiletnya tersumbat?" tanya Yasmin.
Laki-laki itu mengangguk dan Yasmin tanpa sadar tersenyum kecil. "Sebentar aku ambilkan," kata Yasmin.
Yasmin mengambil penyedot toilet dan memberikannya pada Kaelan. "Kamu yakin bisa memperbaikinya sendiri?" tanya Yasmin.
Kaelan mengeraskan rahangnya. "Tentu saja. Kamu pikir aku akan membiarkanmu membersihkan kotoranku? Yang benar saja, Yasmin!" kata Kaelan lalu menutup pintu toilet dengan keras.
Yasmin tersenyum kecil dan tetap berdiri di depan pintu toilet. Menunggu beberapa menit dan mulai khawatir ketika pintu toilet tak juga terbuka.
"Kaelan, kamu yakin tau cara memakai alat itu?" tanya Yasmin.
Terdengar jawaban dari dalam, "Tentu saja. Menjauhlah dari sini, Yasmin."
"Aku akan memberitahumu jika kamu tak tahu cara menggunakan penyedot toilet itu. Atau kamu bisa mencari di internet bagaimana menggunakannya," kata Yasmin lagi.
"Aku tahu. Pergilah, aku akan mengatasinya sendiri," kata Kaelan lagi.
Yasmin tetap menunggu di depan pintu toilet dan setelah lebih dari lima belas menit, pintu itu terbuka dan dahi Kaelan sudah dipenuhi keringat. Laki-laki itu segera menyekanya ketika melihat Yasmin.
"Sudah selesai?" tanya Yasmin.
Kaelan mengangguk, lalu melewati Yasmin menuju kulkas. Saat Kaelan mengambil sebotol air putih, Yasmin merebutnya dan memberikan jus apel yang sudah ia buat.
"Kata Nenekku, jus apel baik untuk pencernaan," kata Yasmin dengan senyum kecil.
"Apa kamu sedang menertawakanku sekarang?" tanya Kaelan sambil meminum jus apelnya.
Yasmin segera menutup mulutnya, lalu mengatur wajahnya kembali datar. "Tidak. Aku tidak menertawakanmu, jadi jika kamu sudah selesai meminum jus itu, segeralah pergi," kata Yasmin.
Jus itu habis hanya dalam hitungan detik. Kaelan meletakkan gelas di meja dapur dan berjalan menuju ruang keluarga. Kaelan meraih remote AC dan menurunkan suhunya. Sedangkan Yasmin hanya berdiri bersedekap di sampingnya.
"Kubilang pulanglah, Kaelan," kata Yasmin dengan tajam.
"Biarkan aku duduk sebentar. Aku harus mewaraskan pikiranku, aku baru saja melakukan hal paling memalukan dalam hidupku di depan perempuan yang aku sukai. Menurutmu bagaimana perasaanku sekarang?"
Yasmin menurunkan tangannya, "Aku tak ingin tahu perasaanmu. Aku hanya ingin kamu pergi sekarang, Kaelan," kata Yasmin lagi.
Kaelan berdiri dan menatap Yasmin, "Kamu tidak menganggapku aneh hanya karena hal ini, kan?"
"Aku sudah menganggapmu aneh sejak pertama kali bertemu denganmu," kata Yasmin.
Kaelan tersenyum kecil, "Benarkah? Lalu kenapa kamu membuatkanku jus apel? Apa kamu tidak merasa terlalu perhatian untuk laki-laki yang kamu anggap aneh, Yasmin?" tanya Kaelan.
"Tidak. Aku akan melakukan hal yang sama meskipun itu bukan kamu. Jangan berpikir ini hal yang istimewa, Kaelan."
"Benarkah?" Kaelan semakin mendekati hingga Yasmin mundur dan terjatuh di sofa di belakangnya. "Apa kamu juga pernah membuatkan jus apel pada kekasihmu. Siapa namanya? Kavin? Benar Kavin, kan?" tanya Kaelan sambil mengungkungnya dengan kedua tangannya.
"Tentu saja. Kamu pikir siapa dirimu, Kaelan?"
"Aku sungguh iri dengan laki-laki itu. Dia cinta pertamamu?" tanya Kaelan lagi.
Yasmin memojokkan kepalanya ke sofa saat wajah Kaelan semakin dekat. "Benar. Dia cinta pertamaku. Satu-satunya laki-laki yang aku sayangi selain Yasa dan kamu tidak akan bisa menggantikannya," kata Yasmin dengan mencengkeram bantal sofa.
"Jadi kamu benar-benar mencintai laki-laki itu..." lirih Kaelan.
Yasmin mengangguk cepat. "Benar. Aku mencintainya. Jadi menjauhlah dariku, Kaelan. Karena tidak ada tempat buatmu di sini. Tidak ada keuntungan untukmu melakukan ini. Aku percaya kamu bisa mendapatkan perempuan yang lebih segalanya daripada aku. Memangnya apa yang kamu lihat dariku? Tidak ada, kan?"
Kaelan menjauhkan dirinya dan akhirnya Yasmin bisa bernapas dengan normal. Perempuan itu merapikan kemejanya dan duduk dengan kaku.
"Ini pertama kalinya aku iri dengan orang lain. Aku sungguh ingin bertemu laki-laki yang kamu cintai itu. Dia sungguh beruntung," kata Kaelan.
"Aku yang beruntung memilikinya, jadi berhentilah berkata seolah aku sangat istimewa. Kamu belum mengenalku, Kaelan. Aku tak sebaik yang kamu kira. Aku tak secantik yang kamu lihat. Aku memiliki banyak lubang yang tak bisa aku tutup. Aku bukanlah seorang putri yang bisa bersanding dengan pangeran sepertimu. Jadi pergilah, karena kamu menghabiskan banyak waktuku belakangan ini," kata Yasmin.
Yasmin sebisa mungkin memperingati laki-laki di depannya itu agar tak mendekatinya lagi. Tapi tetap saja, Kaelan seperti tak peduli. Seperti laki-laki itu tak peduli jika Yasmin adalah itik buruk rupa sekalipun. Laki-laki itu tak peduli dengan kekurangan Yasmin dan tetap mendekati perempuan itu seolah Yasmin perempuan paling indah yang pernah ia temui.
"Semua yang kamu katakan - membuatku semakin menyukaimu. Jika kamu banyak lubang, aku akan menutupnya dengan apapun yang aku punya. Jika kamu bukan seorang putri, aku yang akan membuatmu menjadi seorang putri. Jadi jangan berusaha keras untuk menjelek-jelekkan dirimu sendiri, Yasmin. Karena dirimu di mataku tetap sama dan aku masih tetap ingin mengenalmu," kata Kaelan sambil menatap Yasmin serius.
Kalau sebelumnya Yasmin memilih untuk tidak peduli dan membiarkan Kaelan hingga bosan dengan sendirinya, sekarang Yasmin tak yakin lagi. Yasmin merasa jika ia membiarkan laki-laki itu terus mendekatinya seperti ini, Yasmin akan jatuh dan melukai dirinya sendiri - dan juga Kavin, kekasihnya yang sampai sekarang - Yasmin yakin dirinya mencintainya.
Kalau Kaelan tak ingin menjauhinya, maka Yasmin yang akan menjauh.
Yasmin akan menjauhi Kaelan. Membangun dinding pembatas yang sangat tinggi, hingga laki-laki itu tidak akan bisa masuk dan tidak akan bisa - bahkan hanya untuk melihat isi hatinya.