"Mbak, boleh aku bawa mobil hari ini?"
Yasa mengambil sepotong roti di meja makan. Melirik Yasmin yang duduk di meja makan. Kening Yasa berkerut ketika melihat kakaknya itu sudah rapi. Memakai gaun berwarna hijau muda dan lensa kontak, padahal biasanya Yasmin baru bangun saat tengah hari. Perempuan itu terbiasa begadang dan tidur pagi hari.
"Enggak bisa. Mbak ada meeting dengan Lauren pagi ini," kata Yasmin.
"Kenapa Lauren enggak menjemput Mbak aja? Dia tau kan kalau Mbak belum bisa mengemudi mobil dengan baik?" tanya Yasa.
Yasmin meletakkan susunya, "Aku pengen naik mobil hari ini," katanya sambil mengambil tasnya.
"Lalu, aku bagaimana?"
"Kamu biasanya juga jalan kaki, Yas."
"Tapi aku telat sekarang, Mbak. Kelasku akan mulai sepuluh menit lagi," kata Yasa dengan tatapan memohon.
Yasmin menatap adiknya itu tajam. "Makanya jangan telat bangun, Yasa. Apa gunanya kamu memasang alarm puluhan kali jika tidak bangun-bangun. Apa aku harus menyirammu dengan air setiap pagi? Tidak, kan? Jadi sebenarnya ini salah siapa? Salah kamu karena tidak bangun lebih pagi!" omel Yasmin.
"Oke, omelan Mbak membuat waktuku berkurang lima menit. Aku harus segera pergi atau Bu Sperisa akan menendangku dari kelas, Mbak!"
"Yaudah, ayo cepat, aku antar," kata Yasmin dengan cepat.
Yasa mengambil tasnya lalu mengikuti kakaknya keluar rumah. Laki-laki itu mengunci rumah mereka dan masuk ke mobil bersama Yasmin. Kampus Yasa hanya berjarak satu kilometer dari rumah mereka, jadi tak sampai sepuluh menit, mereka sudah sampai di depan gedung jurusan Yasa.
"Kamu kelar jam berapa? Bisa pulang sendiri, kan?" tanya Yasmin.
Yasa mengangguk, "Aku bakal minta Samuel buat nganterin," kata Yasa lalu keluar mobil Yasmin.
Perempuan itu melihat Yasa sampai adiknya itu hilang dari pandangannya. Yasmin menyalakan mobilnya saat melihat tabung gambar Yasa tertinggal. Yasmin mematikan mobilnya lagi dan keluar mencari Yasa. Bernapas lega saat melihat adiknya itu berbicara pada orang di jalan.
"Yasa!" panggil Yasmin.
Laki-laki itu menoleh, "Kenapa?" tanyanya dengan alis terangkat.
"Kamu selalu ceroboh. Kenapa ninggalin ini di mobil Mbak? Bukankah hari ini ada penilaian gambar?" tanya Yasmin sambil memberikan tabung gambar pada Yasa.
"Wah, aku lupa. Aku jarang membawa benda ini sampai lupa." Yasa memeluk kakaknya erat. "Makasih. Malam nanti biar aku yang masak," kata laki-laki itu.
Yasmin hanya mendengus kesal dan meninggalkan adiknya itu. Perempuan itu berjalan melewati beberapa mahasiswa. Merasa asing dengan suasana di sekitarnya karena sudah hampir delapan tahun ia lulus dari bangku perkuliahan. Kadang Yasmin juga merindukan masa mudanya dan melihat mahasiswa-mahasiswa itu membuat Yasmin teringat kembali.
"Ternyata benar kau."
Yasmin menoleh pada sumber suara di sampingnya. Merasa tak asing dengan wajah laki-laki muda di sampingnya. Rambutnya hitam dengan semburat kecoklatan di bawah sinar matahari. Bibirnya tipis dan Yasmin melihat sedikit lesung pipi ketika laki-laki itu tersenyum. Hidungnya mancung sempurna dengan mata yang dalam dan alis yang lebat. Secara keseluruhan, laki-laki di depannya itu sangat tampan - dan Yasmin merasa pernah melihatnya.
"Kamu tak ingat aku?" tanya laki-laki itu memecah pikiran Yasmin.
"Siapa, ya?"
Laki-laki itu tertawa, memperlihatkan giginya yang rapi. "Kamu membuatku terluka, Yasmin. Padahal kita baru ketemu tadi malam," kata laki-laki itu.
"Tadi malam?"
Ingatan Yasmin mengulang kejadian tadi malam seperti sebuah kaset hitam putih. Yasmin mengangguk dengan cepat ketika mengingat laki-laki di depannya itu. Dia adalah teman Yasa yang menolongnya saat Yasmin hampir terpeleset.
"Ah, kamu teman Yasa," kata Yasmin datar sambil melanjutkan langkahnya ke parkiran.
"Hanya itu?"
Yasmin berhenti, menatap laki-laki di sampingnya dengan kening berkerut. "Ada lagi?" tanya Yasmin.
Laki-laki itu tersenyum miring. "Enggak ada, Yasmin. Aku hanya enggak mau pembicaraan kita terhenti sekarang," kata laki-laki itu.
Kerutan di dahi Yasmin semakin tajam. Memperhatikan laki-laki di depannya dengan serius. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu manggil aku Yasmin? Kalau kamu teman Yasa, aku delapan tahun lebih tua darimu," kata Yasmin.
"Apa memanggil perempuan yang lebih tua dengan sebutan "Mbak" atau "Kakak" adalah kewajiban?" tanya laki-laki itu.
"Tidak. Tapi itu sopan santun." Yasmin melipat tangannya, mulai tak menyukai laki-laki di depannya itu. "Dan itu hal mendasar yang harus kamu tau sebagai orang Indonesia," kata Yasmin.
Laki-laki di depannya menepuk dahinya sendiri dengan tangannya. "Ah, kamu tipe yang seperti ini? Tapi, Yasmin -" Laki-laki itu tersenyum menggoda. "Aku tinggal di luar negeri selama lima tahun terakhir. Aku belum terbiasa dengan budaya di sini. Dan aku sama sekali tak ingin memanggilmu "Mbak". Aku lebih ingin memanggilmu "Sayang"," kata laki-laki itu.
Yasmin menurunkan tangannya. Mulutnya terbuka mendengar kata-kata laki-laki di depannya. Kenapa laki-laki itu tiba-tiba mengatakan hal seperti itu? Apa tadi malam benar-benar hari pertama Yasmin melihat laki-laki itu? Kenapa dia sangat percaya diri mengatakan hal itu pada Yasmin?
"Aku enggak ingin berdebat. Jadi aku anggap tak mendengar perkataanmu tadi," kata Yasmin lalu melanjutkan langkahnya.
Laki-laki itu menarik tangan Yasmin, "Sebentar, apa kamu akan pergi sekarang?" tanya laki-laki itu.
"Benar."
"Kemana?"
"Bukan urusanmu."
"Oke. Aku salah bertanya. Aku ganti pertanyaanku. Dengan siapa kamu pergi, Yasmin?"
Yasmin menatap laki-laki di depannya dengan tajam. "Apa kita saling mengenal sebelumnya? Bukan, kan? Kenapa kamu sok-sokan akrab denganku? Kita bahkan baru bertemu tadi malam dan asal kamu tahu - aku tak pernah menganggap teman adikku adalah temanku juga. Jadi, berhentilah mengikutiku!" kata Yasmin.
Namun, rupanya laki-laki itu tak mau melepaskan Yasmin. "Apa kau bahkan ingat namaku, Yasmin?" tanyanya.
Yasmin menggeleng tak peduli. "Maaf, aku tak ingat," katanya.
"Oke. Aku kemarin aku belum memperkenalkan diriku dengan benar." Laki-laki itu menjulurkan tangannya ke depan Yasmin, "Namaku Kaelan - Kaelan Jourdin. Kamu bisa memanggilku Kaelan atau "sayang"," kata Kaelan diakhiri dengan senyum lebarnya.
"Dasar laki-laki gila," kata Yasmin sambil membuka pintu mobilnya.
Yasmin sedang memakai sabuk pengamannya ketika pintu di sampingnya terbuka dan Kaelan duduk di kursi itu dengan santai. Sumpah demi apapun - Yasmin tak pernah bertemu dengan laki-laki menyebalkan seperti Kaelan ini.
"Kenapa kamu masuk? Siapa yang kasih izin kamu masuk?" tanya Yasmin dengan menahan amarah.
Kaelan melihat telinga Evelyn memerah dan mendekatkan wajahnya. "Jadi, kamu tipe yang tidak mudah marah, ya? Kamu menahan diri sejak tadi," kata Kaelan.
Yasmin tak bisa menahan amarahnya lagi. "Keluar sekarang!" katanya dengan tajam.
Kaelan tersenyum kecil, "Padahal aku menunggumu marah seperti ini sejak tadi. Kamu terlihat lebih menggemaskan saat marah," kata Kaelan lagi.
"Dengar Kailan - atau siapapun itu namamu. Aku tidak mengenalmu dan sedang tidak ingin bercanda! Aku harus pergi sekarang! Keluarlah dari mobilku!" kata Yasmin.
"Namaku Kaelan. K-A-E-L-A-N. Bukan Kailan."
"Aku tak peduli! Keluar dari mobilku sekarang!"
Kaelan melihat jam tangannya, lalu melirik GPS mobil Yasmin. "Kamu akan pergi ke Raison Hotel, ya? Aku juga mau kesana. Aku tak membawa mobil, jadi bolehkah aku menumpang?" tanya Kaelan dengan tatapan memohon.
"Tidak boleh!"
"Meskipun aku memohon?"
"Keluar saja, Kaelan!"
Kaelan tersenyum. "Aku suka mendengarmu memanggil namaku," kata Kaelan.
"Keluar!"
"Dengar, aku serius sekarang. Aku tak membawa mobil dan dompetku ketinggalan di hotel." Kaelan mengeluarkan sebuah kartu hotel dan memberikannya pada Yasmin. "Lihat, aku benar-benar menginap di sana," kata Kaelan dengan menyakinkan.
Yasmin menatap Kaelan dengan curiga, "Kenapa kau melakukan ini padaku?"
"Melakukan apa?"
"Apa kau tertarik denganku?" tanya Yasmin.
"Kamu baru menyadari? Aku sudah memperlihatkannya sangat jelas dari tadi malam." Kaelan mendekatkan wajahnya lagi hingga membuat Yasmin mundur ke belakang. "Aku menyukaimu dari sejak pertama bertemu denganmu, Yasmin," kata Kaelan.
Tatapan Yasmin semakin tajam, "Aku tak tahu kamu serius atau sedang mempermainkanku. Aku tak peduli. Tapi aku tak tertarik denganmu. Jadi berhentilah melakukan ini," kata Yasmin.
Laki-laki itu menarik sudut bibirnya dengan percaya diri, "Aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan, Yasmin," katanya.
Yasmin menggenggam erat setir mobilnya. Sungguh tak menyukai laki-laki di sampingnya itu. Dari pertama kali bertemu, Yasmin sudah tahu laki-laki itu pasti berasal dari keluarga berada. Semua barang yang digunakannya bermerek. Dari kartu hotelnya yang sempat Yasmin lihat tadi, laki-laki itu menginap di suite room Raison Hotel . Mana ada mahasiswa yang bisa menginap di kamar dengan harga jutaan permalamnya itu?
Laki-laki itu pasti berasal dari keluarga kaya. Tipe orang yang bisa mendapatkan semua dengan mudah sejak kecil. Tidak ada yang tak bisa ia dapatkan, karena dia memiliki semuanya. Keluarga kaya, umur yang masih muda, dan bahkan wajah yang tampan. Wajar saja jika laki-laki itu sangat percaya diri seperti sekarang. Dan Yasmin tak pernah suka berdebat, jadi perempuan itu mengikuti permintaan Kaelan dan memutuskan tak akan memedulikannya. Karena kehidupan Yasmin sudah cukup berat tanpa harus berurusan dengan anak kecil seperti Kaelan.
"Kamu akan mengantarkanku? Kupikir kamu akan mengusirku lagi," kata Kaelan setelah Yasmin menyalakan mobilnya.
Yasmin hanya fokus pada jalanan di depannya. Tak menghiraukan Kaelan yang sedang memperhatikan seluruh mobilnya. Dengan susah payah perempuan itu mengeluarkan mobilnya dari parkiran, terkejut ketika hampir menabrak mobil di depannya hingga membuat Kaelan tertawa pelan.
"Kamu ingin aku yang menyetir?" kata Kaelan.
"Tidak."
Yasmin menginjak remnya dengan mendadak lagi. Tangannya sedikit bergetar memegang setir mobil. Yasmin memang baru belajar mengemudi sebulan yang lalu. Setelah melawan dirinya sendiri dari ketakutan hingga ia berani mengemudi seorang diri.
"Apa kamu punya SIM, Yasmin?" tanya Kaelan dengan mata menyipit.
"Tentu saja. Aku adalah warga negara yang baik," kata Yasmin.
"Mustahil sekali lolos tes menyetir dengan kemampuan seperti ini." Tubuh Kaelan terhuyung ke depan ketika Yasmin menginjak rem mendadak lagi. "Aku tak ingin mengatakannya, tapi kamu benar-benar payah dalam menyetir, Yasmin," kata Kaelan.
Yasmin diam. Memutuskan tak membalas laki-laki di sampingnya. Selama ini Yasmin berusaha menjadi orang baik, tapi sekarang ia tak peduli lagi dengan sopan santunnya. Yasmin hanya tak ingin berbicara dengan laki-laki di sampingnya.
"Aku bertanya-tanya kenapa rumah Yasa sangat bersih, ternyata itu kau yang membersihkannya. Lihatlah mobilmu, aku bahkan tak melihat satupun makanan di sini. Kau pasti tak suka makan di mobil karena bisa mengotorinya, kan?" tanya Kaelan.
Yasmin tak menjawab hingga Kaelan berkata lagi, "Apa aku belum mengatakannya? Kamu lebih cantik jika diam seperti sekarang," katanya.
Yasmin melirik Kaelan dengan tajam. Menenangkan dirinya lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. Mengalunkan lagu di kepalanya agar tak mendengar ocehan Kaelan di sampingnya. Telinga Yasmin terasa melayang, tak menangkap sama sekali kata-kata Kaelan hingga mereka sampai di depan Raison Hotel. Mengurungkan niatnya untuk memarkiran mobilnya sendiri dan menyerahkannya pada petugas valet.
Yasmin turun dari mobilnya. Membuka ponselnya dan membaca pesan dari Lauren, editornya. Rupanya pria paruh baya itu ingin menemui Yasmin di restoran lantai dua. Yasmin menaiki tangga besar di tengah lobi menuju lantai dua.
"Ah, aku lapar. Sepertinya aku akan makan di lantai dua dulu," kata Kaelan sambil mengikuti Yasmin di belakang.
Merasa Kaelan tak berhenti mengikutinya, Yasmin berkata, "Apa kamu mengikutiku?" tanya Yasmin dengan kesal.
"Aku bilang aku akan makan," balas Kaelan.
"Katanya kamu tak membawa dompet!"
Kaelan menunjukkan kartu hotelnya, "Mereka akan langsung menambahkan tagihan ke kamarku. Kamu tenang saja aku tak akan mengutang padamu," kata Kaelan lagi.
"Apapun itu - jangan duduk di dekatku, Kaelan!" kata Yasmin memperingati.
"Oke. Aku akan menjaga jarak. Kamu tak perlu khawatir." Kaelan mendahului Yasmin dan berhenti di depan perempuan itu. "Tapi biarkan aku bertanya satu hal - siapa yang kamu temui? Apa seorang laki-laki?" tanya Kaelan.
Yasmin menggangguk, membuat Kaelan tersenyum kecil. "Wah, aku semakin penasaran dengan orang yang kau temui. Apa dia tampan?"
"Tentu saja," kata Yasmin cepat.
"Aku tak peduli, tapi kamu harus tau satu hal, Yasmin. Aku tak akan menyerah sebelum janur kuning melengkung. Jadi walaupun kamu memiliki kekasih, aku benar-benar tak peduli," kata Kaelan.
Yasmin berhenti - yang otomatis membuat Kaelan yang berjalan mundur di depannya juga berhenti. "Aku bertanya karena benar-benar tak mengerti denganmu. Kenapa kamu melakukan ini padaku?"
"Apa? Aku sudah bilang sebelumnya -"
"Kalau kau berpikir aku punya waktu untuk bermain-main denganmu, pikiranmu itu sangat salah. Aku delapan tahun lebih tua darimu, Kailan. Aku bukan perempuan yang bisa kau permainkan karena kau tertarik," kata Yasmin.
"Aku nggak mempermainkanmu, Yasmin. Aku mencoba mengenalmu karena aku tertarik denganmu. Apa itu juga salah?" tanya Kaelan.
"Hubungan pendekatan itu - jika hanya satu orang yang bersemangat hingga mengikutinya kemanapun, itu namanya pengganggu, Kailan. Dan sekarang kau menggangguku. Jadi, tolong tinggalkan aku sendiri," balas Yasmin sambil melewati Kaelan.
Kaelan mengejar Yasmin lagi. Berhenti di depan restoran yang ingin mereka tuju. "Setidaknya, beri aku kesempatan, Yasmin. Aku percaya bisa membuatmu berubah pikiran. Karena sudah kubilang sebelumnya-"
Kaelan tersenyum miring, tidak memedulikan Yasmin yang memasang wajah kesal. "Aku selalu bisa mendapatkan apa yang aku inginkan - dan aku akan mendapatkanmu, karena aku menginginkanmu sekarang," kata Kaelan dengan kepercayaan dirinya.