Bab 6

1167 Words
Happy reading *** “Maaf tadi saya telat,” ucap Viola. “Kamu tidak telat, saya yang datang terlalu awal,” ucap Jeff, ia memperhatikan kulit wanita itu, kulitnya putih bersih dan mulus, karena Sarah mengenakan dress dengan bahu terbuka. “Kamu sudah lama di sini?” Tanya Viola. “Baru sepuluh menit yang lalu.” Jeff menuangkan beer ke dalam gelas, “Kamu bisa minum beer?” Viola mengangguk, “Iya, bisa.” Sungguh ia tidak menyangka bahwa yang menemuinya itu benar-benar Jeff yang merupakan seorang CEO. Yang menjadi pertanyaannya saat ini adalah, apakah pria itu tidak punya kerjaan, sehingga bermain dating apps? Apa wanita di dunia nyata tidak ada menarik perhatiannya? Apa dia hanya iseng saja? Atau dia pria kesepian? Atau dia tidak punya waktu untuk berpacaran, sehingga mencari jodoh di sana. Pertanyaan-pertanyaan itu tertumpuk di isi kepalanya. “Kamu ternyata lebih cantik aslinya dari pada di foto,” ucap Jeff to the point. Viola tertawa, “Thank you, kamu juga tampan,” ucap Viola. Jeff lalu tertawa, ia sebenarnya suka dengan wanita yang tidak pelit atas pujian atau apresiasi kepada pria. “Macet nggak tadi?” Tanya Viola. “Lumayan, harusnya lima belas menit dari kantor ke sini;. Tapi you know lah bagaimana macetnya Sudirman kalau jam pulang kantor.” “Iya bener.” “Oiya, silahkan makan, kita sambil ngobrol saja,” ucap Jeff mempersilahkan wanita itu menyantap hidangan yang tersaji. Viola mengangguk, “Iya,” ia bersyukur bahwa ia mengerti dengan table menner yang baik. Di atas meja terdiri dari appetizer hingga dessert dengan kelengkapan table setting. Viola bersyukur bahwa ia mengenakan pakaian resmi di sini, ia mengambil sendok dan ia menyicip makanan pembuka itu. Ia melihat Jeff melakukan yang sama, ia tahu bahwa sekelas Jeff pasti sejak kecil pasti diajarkan table menner yang baik. Dia adalah pria yang berasal dari old money atau anak yang terlahir dari keluarga kaya sejak lahir. Segala kemewahan seperti ini pasti sudah terbiasa baginya. “Kamu sudah lama main dating apps?” Tanya Viola membuka topik pembicaraan. “Saya baru download tadi malam, karena iseng saja. Sebelumnya saya tidak menggunakannya. Teman saya mungkin menertawakan saya, karena saya menggunakannya. Sepertinnya setelah bertemu kamu, saya tidak menyesal menggunakannya,” ucap Jeff terkekeh. “Kalau kamu bagaimana?” Jeff balik bertanya. “Kalau saya, memang ada dating apps. Hanya saja saya jarang menggunakannya. Iseng aja kemarin swipe kamu, ternyata kita match.” Jeff tertawa, “Berarti kita jodoh.” “Sepertinya begitu.” Jeff kembali memandang Sarah, “Apa kamu percaya jodoh?” Viola meraih gelas berisi beer dingin itu dan menyesapnya secara perlahan, rasanya sangat segar. Viola lalu berpikir, “Dulu mungkin saya salah satu orang yang percaya dengan konsep takdir jodoh seperti itu. Cerita-cerita yang bertebaran, bahwa jodoh adalah takdir dan cinta sejati dari kisah dongeng dan n****+-n****+ romance. Lalu romantis seumur hidup, but semua itu salah.” “Salahnya di mana?” “Ternyata, yang dulu saya anggap jodoh saya, malah mencampakan saya. Apalagi saya sering mendengar jodoh pasti tidak akan ke mana-mana atau tidak akan tertukar. Ternyata itu salah besar, saya yakin tidak ada orang lain yang bakal cocok dengan saya. Orang yang percaya jodoh adalah takdir, menganggap pasangan sempurna. Padahal kesempurnaan sangat mustahil dalam hubungan asmara.” “Exaclty.” “Biasa yang seperti itu cenderung malas menyelesaikan masalah hubungan karena sudah menganggap bahwa pasangan itu sempurna dan bahagia. Kenyataanya nggak ada yang sempurna dan kebahagiaan itu berasal dari diri sendiri, bukan pasangan. Sejak saat itu saya lebih realistis saja, soal pasangan.” “Jadi menurut kamu jodoh itu apa?” Tanya Jeff penasaran. “Menurut saya, jodoh itu orang yang tepat menurut standar diri sendiri, dan itu bukan dari takdir. Melainkan kita yang pilih sendiri.” Jeff tersenyum, ia setuju dengan pendapat Sarah, ia tahu bahwa wanita itu sangat cerdas dan menjabarkan defenisi tentang jodoh menurut pandangannya. Dia terlihat sangan open minded, dari pada wanita yang sering ditemuinya yang hanya manis dan patuh. Itu sangat membosankan menurutnya. “Jodoh itu tetap harus di cari sih menurut saya.” Jeff meraih gelas lalu meneguk beer nya lagi, “Kamu mau cari yang seperti apa?” “Saya lebih suka yang sepemikiran sih, enak di ajak ngobrol, sesuai dengan saya.” “Come on, banyak pria seperti itu Sarah.” “Iya banyak. Tapi susah match nya,” ucap Viola terkekeh. “Setuju dengan pendapat kamu. Cari pasangan nggak akan asal-asal milih, nggak hanya modal cantik dan tampan lalu di pacari. Tapi lebih kompatibel,” ucap Jeff, beralih kepada piring yang berisi chicken confit “Exactly.” Mereka saling menatap satu sama lain, dan lalu tertawa, ternyata mereka memiliki pandangan yang sama tentang Jodoh. Ternyata obrolan mereka sangat mengasyikan. Viola menyudahi makan soup nya, dan kini ia makan appetizer, yaitu chicken confit, ia memasukan ayam ke dalam mulutnya, dan makan dengan tenang. “Oiya, mengapa kebanyakan pria lebih suka wanita cantik dibanding dengan wanita cerdas?” Tanya Viola kepada Jeff, ia memperhatikan gerak natural Jeff, dia terlihat sangat cool. “Kata siapa?” Tanya Jeff. “Yah, kebanyakan seperti itu kan?” Timpal Viola lagi. Jeff tertawa, “Sebenernya laki-laki seperti saya, suka dengan wanita yang cerdas, intelektual, berwawasan luas, jago masak, jago nyanyi dan segala macam kecerdasan lainnya. Masalah cantik, seksi, boobs nya oke, kalau diajak ngobrol nggak nyambung, telmi, pasti laki-laki seperti saya ilfeel juga kan.” “Kalau di tanya cantik atau cerdas ya jelas cerdas. Kalau bisa dapat keduanya why not. Cantik sekaligus cerdas.” “Kalau istilah don’t judge the book by it’s cover itu bagaimana menurut kamu?” “Oke, I know, laki-laki seperti saya itu makhluk visual. Analoginya, wanita itu sebuah buku, kalau sampulnya saja sudah tidak menarik, bagi pria, itu buang-buang waktu untuk baca isinya. “Pria yang suka wanita cantik atau good looking itu benar, 100 persen absolut. Dan pria yang suka wanita cerdas atau pintar? I don’t think so, yang paling penting wanita yang bisa nyambung diajak ngobrol.” “Ngobrol nyambung dalam komunikasi itu dibutuhkan kecerdasankan. Cantik itu nggak perlu cantik seperti Raisa, cukup rawat diri, rapi, bersih. Dan cerdas nggak perlu menjadi ibu Sri Mulayani, asal nyambung itu sudah berisi pengetahuan. Diajak diskusi apa saja bisa.” “Totally agree!” Jeff kembali menatap Sarah, ia pandangi wajah itu cukup serius, “Kita ngobrol nyambung loh.” Viola lalu tertawa, “Excalty, saya juga mikirnya gitu.” “Habis ini kamu ke mana?” Tanya Jeff. “Enggak ke mana-mana sih.” “Mau jalan lagi ngak?” “Ke mana?” “Ke mana saja, ngobrol sama kamu. Kamu nggak sibuk, kan?” “Enggak kok,” ucap Viola. Jeff tersenyum penuh arti, ia melihat Viola kembali makan dengan tenang. Ia meraih gelas dan meneguk beer nya. “Ke Pantai mau nggak?” “Pantai? Ancol?” Jeff tertawa, “No, di PIK. Saya belum pernah ke sana, kamu pernah nggak?” “Belum juga. Mau ke sana?” “Kamu mau?” Viola tersenyum dan mengangguk, “Iya, mau.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD