HAPPY READING
***
Viola menyelesaikan makannya begitu juga dengan Jeff. Ia melihat Jeff membayar bill sesuai dengan pesanannya. Ia ingin menikmati hari ini dengan Jeff, kapan lagi ia bisa kencan bersama seorang CEO. Ini cara dirinya menghargai pertemuan ini. Viola berdiri di samping Jeff, ia memperhatikan beberapa tamu memasuki restoran.
Jeff sudah menyelesaikan transaksi p********n, setelah itu ia memandang Sarah di sampingnya. Mereka lalu keluar dari restoran.
“Kamu nggak bawa mobil, kan?” Tanya Jeff.
Viola mendongakan wajahnya ke atas, ia tidak tahu seberapa tinggi Jeff sehingga tubuhnya tinggi seperti ini. Ia yakin sejak kecil Jeff pasti memenuhi asupan gizi yang baik oleh orang tuanya. Padahal ia termasuk wanita yang memiliki ukuran tubuh yang ideal, namun tetap saja kalah tinggi dari Jeff.
“Enggak,” ucap Viola, karena pada dasarnya ia tidak memiliki mobil, karena sehari-hari kalau ingin pergi menggunakan angkutan umum.
Jeff dan Viola melangkahkan kaki menuju parkiran, ia melihat Jeff mengeluarkan kunci central lock. Pria itu memencet kunci buka. Ia mendengar suara klakson mobil dan lampu mobil menyala, yang menandakan bahwa mobil bisa dibuka. Ia menatap sebuah mobil Mercedes Benz berwarna putih di sana. Oh God, ia tidak menyangka bahwa ia bisa duduk di mobil seharga fantastis itu. Mobil itu sangat elegan di antara mobil lainnya.
Jeff membuka pintu mobil untuknya. Viola mengucapkan terima kasih kepada Jeff, dan ia duduk di kursi, tidak lupa ia memasang sabuk pengaman. Ia melihat Jeff sudah berada di sampingnya, dia menghidupkan mesin mobil. Setelah itu mobil meninggalkan area restoran.
Jujur ia suka ketika melihat seorang pria memanuver mobil. Pria itu berkonsentrasi penuh memanuver mobil. Banyak mobil dan motor berlalu lalang di hadapan mereka. Sata ini di dalam mobil cukup gelap, lampu dasbor tidak memberikan penerangan, namun cahaya dari luar memberikan cahaya sedikit, hingga ia melihat wajah Jeff cukup jelas.
Jeff terlihat sangat waspada, memperhatikan lalu lintas di jalan. Memastikan mobilnya memberi jarak antara mobil dan motor. Sesuatu yang sulit dilakukan, mengingat bahwa mobil SUV ini cukup besar. Ia melihat Jeff bersandar di kursi tangan kanannya memegang setir dan tangan kirinya mulai menghidupkan audio agar suasana di dalam mobil tidak terlalu hening.
Baginya Jeff sangat sexy dengan postur tubuh tegap bersandar, dia terlihat sangat kuat. Tatapannya beralih ke jam tangan tangan berwarna hitam yang dikenakan oleh Jeff. Ia yakin, jam tangan itu seharga mobil.
Mobil Jeff masuk ke dalam tol menuju PIK. Jeff memelankan volume audio, ia melirik Viola yang sedari tadi memperhatikannya.
“Boleh tanya sesuatu?” Tanya Jeff, membuka keheningan mereka.
Viola menolah, menatap Jeff, “Boleh. Tanya apa?” Tanya Viola.
Jeff menarik nafas, “Menurut kamu, apa yang diharapkan seorang wanita secara fisik, dari laki-laki?”
Viola mulai berpikir, ia kembali menatap Jeff, “Di dunia marketing itu ada namanya there second rule atau aturan tiga detik. Intinya kita punya waktu tiga detik pertama, kita harus melihat iklan. Dan itu harus terjadi dalam diri kita sendiri.”
“Saya wanita tetap harus melihat tiga detik pertama kepada pria, apa dia memiliki fisik sempurna, sehat, terawat, berat badan proporsional. Soal kegantengan, itu hanya subjektif, it’s absolut. Minimal dia tahu cara berpakaian yang baik. Enggak perlu fashionable, tapi nggak perlu juga kayak tarzan,” ucap Viola tertawa.
Jeff mendengar itu lalu ikut tertawa, “Exactly. Terus.”
“Sejak jaman dulu dan sampai sekarang menurut saya sama saja, wanita pasti nyari yang gagah, karena laki-laki itu perlu survivablilitas, peluang bertahan hidup. Karena dulukan musuhnya singa, dan alam liar.”
Jeff kembali tertawa geli, “Kalau sekarang, berubah survive nya, metaverse, ethereum dan bitcoin.”
“Yah seperti itulah.”
“Saya setuju sama kamu. Begitu juga saya melihat wanitam hanya butuh tiga detik, apakah saya tertarik atau tidak sama dia.”
Viola ikut tertawa, mereka tidak menyangka bahwa obrolan mereka seasyik ini. Jeff menekan pedal gas dengan kecepatan tinggi menuju PIK. Viola tidak akan menjatuhkan konsentrasi Jeff karena mereka sudah berada di tol. Kini mobil melawan angin mengambil jalur sebelah kanan dengan kecepatan tinggi, melewati beberapa mobil lainnya.
***
Satu jam kemudian mereka sudah di pantai pasir putih PIK 2 nama lainnya yaitu White Sand Beach. Jujur ini pertama kalinya mereka ke sini, Jeff mematikan mesin, lalu mereka keluar dari mobil. Angin laut menerpa wajah mereka, dan suasana tampak lengang. Mungkin jika weekend pantai ini ramai di kunjungi pengunjung, namun sekarang tampak sepi karena sudah malam, hanya ada dirinya dan Jeff yang berjalan di bibir pantai.
Mereka tahu bahwa pantai ini merupakan hasil dari reklamasi teluk Jakarta, yang sengaja dibuat sebagai destinasi wisata. Di dekat pantai terdapat foodcourt dan live music. Pohon kelapa yang ditanam dan tertatarapi dan Indah. Pantai dengan view kota gedung pencakat langit.
“Menurut kamu bagaimana?” Tanya Jeff.
“Bagus, instagramble view, mirip di luar negri,” ucap Viola.
Jeff dan Viola terus melangkah menjauhi mobil mereka, suasana pantai tampak tenang hanya deburan ombak terdengar. Viola tahu bahwa ia sudah memakan umpan Jeff dengan baik. Tidak ada yang dilakukan dua orang dewasa di malam hari pada pantai yang seperti ini, kalau tidak ada maksud tertentu. Di dalam benaknya, apakah ada orang lain selain dirinya dan Jeff ke pantai malam-malam begini, dengan alasan penasaran belum pernah.
Lihatlah pantai di sana, tidak bisa dipandang kecuali gelap. Walau menyusuri bibir pantai juga tidak terlihat pantai-nya. Orang yang datang malam hari seperti ini, bukan untuk merasakan keindahan alam ciptaan Tuhan, melainkan memadu kasih.
Gelapnya pantai, udara yang dingin dan angin yang kencang, memang sangat mendukung untuk yang sedang dalam gelora asmara. Mereka berdua bukanlah anak pujangga yang menyukai pantai, dan bukan juga dua orang yang polos tidak pernah pacaran. Tapi mereka lebih, ingin menikmati waktu berdua.
“Kamu tinggal di mana?” Tanya Viola, membuka topik pembicaraan, agar suasana tidak canggung.
“Saya tinggal di Dharmawangsa. Kamu?”
Viola memutar otaknya, ia tidak ingin Jeff tahu tempat tinggalnya, “Saya tinggal di apartemen,” ucap Viola tenang.
“Apartemen mana?”
“Taman Anggrek.”
“Really?”
“Yes.”
“Tower apa?” Tanya Jeff penasaran.
Viola mencoba mengingat, nama-nama tower di Taman Anggrek, ia menatap Jeff, “Tower Espiritu.”
“I see, tinggal sendiri?”
Viola mengangguk, “Iya.”
“Kamu di Dharmawangsa rumah sendiri?”
“Iya, rumah sendiri. Mau main ke rumah saya nggak?”
“Ngapain ke rumah kamu?” Tanya Viola.
“Yah, main aja, berdua, quality time.”
Viola tertawa, “Come on, kita dua orang dewasa, kalau berdua di rumah, pasti tidak hanya diam, menonton TV saja.”
Jeff ikut tertawa, “You know what I mean, Sarah.”
“Kamu nggak mau main ke rumah saya?” Tanya Jeff.
“Next time.”
Jeff menyeimbangi langkah Viola yang masih tampak tenang berada di sampingnya, inginnya merangkul bahu itu, dan membawanya ke dalam pelukannya. Namun ia masih enggan melakukannya, karena ia takut wanita itu menganggapnya lancang, lalu malah menjauhinya.
“Sarah.”
“Iya,” ucap Viola menoleh menatap Jeff.
Jeff menatap iris mata bening itu, “Kamu nggak kedinginan?” Tanya Jeff seketika.
“Enggak terlalu sih, kenapa?”
“Enggak, saya hanya tanya saja,” ucap Jeff lagi, padahal tadi ia ingin meminta ijin untuk merangkulnya.
“Boleh saya pegang tangan kamu?” Tanya Jeff lagi.
Viola menyungging senyum, dan ia lalu mengangguk, “Iya, boleh.”
Jeff tersenyum bahagia, ia lalu meraih jemari Viola dan menyusuri pantai. Ada perasaan hangat menjalar ke tubuh mereka. Mereka saling terdiam beberapa detik.
“Sebenernya saya tidak terlalu percaya dengan kencan daring seperti ini, karena memiliki resiko ada kemungkinan ditipu, profil palsu dan aspek kriminalitas,” ucap Viola.
“Terus setelah lihat saya?” Tanya Jeff.
Viola melirik Jeff ia lalu tertawa, “Masih speechlees, kamu ternyata benaran Jeff yang asili di dunia nyata, kamu tampan, kamu menyenangkan dan satu hal lagi, kamu sexy.”
“Sexy saya seperti apa? Apa memiliki suara berat atau memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan s****l?” Tanya Jeff.
Viola tertawa, “Oh God. Saya saja belum pernah tidur sama kamu, belum bisa mengatakan kalau kamu bisa buat kepuasan di ranjang.”
“Terus seperti apa?” Tanya Jeff.
“Lebih ke arah objektif, karir kamu bagus dan kamu juga tampan. Jadi saya memiliki rasa minder berhadapan dengan kamu,” ucap Viola, ia melirik Jeff masih menggenggam jemarinya dengan erat.
“Kamu nggak perlu merasa minder, you are beautiful just the way you are, and that is more than enough.”
“Thank you, Jeff.”
Jeff dan Viola menghentikan langkahnya, mereka saling menatap satu sama lain, hati mereka saling berdesir tidak terelakan. Viola melihat pupil mata Jeff mulai membesar, ia pernah membaca artikel, bahwa ciri-ciri seorang pria yang ingin bercinta yaitu pupil mata hitamnya membesar dan melebar. Viola menelan ludah, ia tidak tahu berbuat apa, karena hanya mereka berdua di sini.
“Kenapa?” Tanya Viola pelan.
“I want, we move …”
“Where?”
Lama terdiam beberapa detik, Jeff lalu menarik nafas, “Hotel.”
***