Bab 5: Free

1311 Words
"Aku, ma,mau minta maaf." Brian mendengus saat melihat Raisa mundur satu langkah. Tingkahnya tak seperti perkataannya, wanita itu minta maaf, tapi tetap menunjukan jika Brian adalah ancaman baginya. Wanita itu bahkan bicara dengan gugup, seolah Brian adalah ancaman baginya. Ego Brian merasa terhina. Sial, Apa karena aku OB, pikirnya. Brian yakin jika dia seorang direktur para wanita bahkan akan dengan mudah menyerahkan diri ke pelukannya. Dia memang tampan, tapi profesinya yang hanya seorang OB membuat para wanita hanya berani menggoda tanpa bermaksud serius, tentu saja karena dia tak punya uang yang menjanjikan. Brian mendengus "Aku memang menyukai Mbak, tapi apa Mbak pikir aku akan melakukan hal menjijikan." "Apa?" tanya Raisa terkejut. "Apanya yang apa?" tanya Brian. "Bukan, kamu bilang kamu menyukaiku?" "Ya," Katanya tanpa ragu. "Aku pikir Mbak berbeda karena tidak suka menggodaku, tapi Mbak lebih parah malah memfitnahku." Raisa masih terkejut hingga Brian mendengus lalu berbalik hendak pergi. "Tunggu, Mas Brian," panggil Raisa. "Aku tidak bermaksud memfitnah, sungguh aku gak bermaksud begitu." "Lalu?" "Ada, sesuatu yang tak bisa ku ceritakan, mau kah Mas Brian berjanji untuk tidak mengatakannya pada yang lain." Brian mengangkat alisnya, sedangkan Raisa menghela nafasnya "Ada sesuatu dalam diriku, seperti aku selalu merasa panik saat aku merasa dalam bahaya-" "Jadi menurut Mbak aku berbahaya?" "Bukan, tapi aku takut pada setiap pria terutama yang memiliki paras tampan seperti Mas Brian." Brian tertegun, bukan karena Raisa yang baru saja memujinya, tapi karena Raisa takut pada pria tampan? "Mbak mengada- ada?" "Aku gak bohong," "Apa Mbak gak normal?" Raisa menggeleng dengan cepat "Aku normal, aku masih penyuka pria, meski berhubungan dengan mereka tidak ada dalam agendaku," cicitnya pelan, ya tentu saja dia bukan sesama jenis meski bukan berarti Raisa mau menjalin sebuah hubungan bahkan menikah. Tidak! Tidak akan pernah! "Jadi?" "Jadi, aku minta maaf untuk kejadian kemarin, aku tidak bermaksud seperti itu." setelah mengatakan itu Raisa pergi dengan cepat, meninggalkan Brian yang masih melamun. "Apa yang terjadi padamu, hingga merasa takut seperti itu?" Raisa duduk di kursi kerjanya lalu menghela nafas dengan kasar, dia baru saja memberitahu rahasianya pada Brian, selama ini Raisa selalu menghindari terlalu banyak berinteraksi dengan pria, selain dengan Darma sang ayah, dia bahkan berhasil menyembunyikan kenyataan traumanya dari kedua orang tuanya, tapi hari ini Raisa justru memberitahu seorang OB di perusahaan tempatnya bekerja. Meski tidak menjelaskan secara gamblang, apa yang dia alami hingga membuatnya memiliki trauma tersebut, tetap saja Raisa merasa malu, entah apa yang Brian pikirkan tentangnya saat ini. Tapi, Raisa harap Brian mengerti dengan apa yang terjadi kemarin. Tepat pukul 9 seperti biasa Brian mengantar pesanan karyawan di divisi sekertaris, pria itu bahkan melewatinya begitu saja, membuat Raisa berpikir pria itu masih marah. Raisa menghela nafas berat, hingga dia melihat satu cup kopi di depannya. "Mas, Brian?" "Biar lebih rileks Mbak." pria itu menyimpan kopi itu di depannya lalu pergi tanpa menunjukkan senyumnya. "Tapi-" perkataan Raisa terhenti saat Brian sudah berjalan jauh. "Sa?" Raisa menoleh. "Ya?" "Gila, setiap hari beli tuh kopi, banyak duit ya?" tanya salah satu teman kerja bernama Sella. "Hah?" Raisa bertanya dengan wajah bodoh. "Pura- pura lagi." Sella mencebik. "Iya, emang kenapa sama kopi ini?" Raisa meraih cup kopinya lalu menyeruputnya. "Tuh kopi satu cup harganya hampir seratus rebu, kali satu minggu aja Lo minum tuh kopi udah berapa, apalagi satu bulan." Raisa tersedak "Apa?" "Lo gak tahu merk kopinya?" Raisa melihat dan meneliti cup kopinya. "Ini merk baru?" dia tahu beberapa cafe seperti starbuuckk (Sengaja di typoin), yang menjual kopi yang lumayan mahal, tapi Raisa pikir harga kopi yang dia minum hanya kopi biasa, meski harus dia akui kopinya memang enak. "Aneh deh, Lo yang beli, Lo yang gak tahu." Raisa tertegun sementara Sella sudah kembali ke mejanya. Raisa menunduk menatap cup kopinya, lalu dia berdiri dan meneliti kopi yang ada di meja karyawan lain, dan dia bisa melihatnya memang berbeda. Lalu kenapa Brian memberinya ini, apalagi pria itu memberinya cuma- cuma, apa dia begitu tak tahu diri dan hanya meminumnya saja, lalu Brian berapa yang sudah pria itu habiskan untuk memberikannya kopi, padahal berapa sih gaji OB. Saat ini terlintas ucapan Brian padanya tadi ... "Aku memang menyukai Mbak ...." **** Raisa menatap cup kopi di depannya, Brian kembali memberinya lengkap beserta roti panggang di dalam box yang aromanya menggugah selera, tapi kali ini Raisa menyodorkan 3 lembar uang berwarna merah pada Brian. "Apa Mbak?" tanyanya saat melihat Raisa memberikannya uang. "Harganya 270 ribu kan, ambil kembaliannya buat Mas Brian." Brian tertegun. "Saya baru tahu harganya." Ya, Raisa bahkan terkejut melihat daftar harga di cafe itu, cafe yang jaraknya hanya beberapa meter dari kantor itu memang menyajikan menu yang bisa di bilang sangat lezat, tapi sesuai dengan rasanya, harganya juga mahal, untuk roti bakar di depannya kini harganya 170 ribu, padahal ukurannya lebih kecil dari roti bakar abang- abang yang jual di depan indoapril, dan harga kopi yang setiap hari Brian berikan padanya memang hampir 100 ribu seperti kata Sella. Raisa datang kesana untuk memastikan perkataan Sella benar, Dan itu sungguh bukan untuk karyawan sepertinya. "Meski yang kemarin saya belum bisa bayar, yang ini saya bayar, tapi untuk ke depannya tolong jangan belikan saya lagi." Dan kepala Raisa akan sakit kalau menghitung berapa jumlah Brian mengeluarkan uang untuk kopinya setiap hari selama satu bulan lalu, setengah gajinya akan habis. "Kenapa Mbak Raisa berpikir saya ingin di bayar?" perkataan Brian tak seramah biasanya membuat Raisa sedikit takut. Wajah pria itu datar tanpa ekspresi. "Be- begini Mas Brian, harganya sangat mahal, dan saya tahu gaji Mas Brian akan habis kalau membeli kopi ini setiap hari." memangnya berapa gaji OB. Raisa menelan ludahnya kasar lalu kembali berucap "Saya, tahu Mas menyukai saya, tapi saya gak bisa memberikan harapan pada Mas Brian, saya tidak menyukai Mas Brian." perkataan itu Raisa katakan dengan hati- hati agar pria di depannya tidak merasa sakit hati. "Jadi jangan mengeluarkan uang Mas Brian dengan sia- sia." Brian menghela nafasnya "Saya, memang menyukai Mbak, tapi saya juga gak mengeluarkan uang dengan sia- sia." Brian mengabaikan penolakan Raisa tentang perasaannya. "Kopi itu saya dapat gratis dari voucher yang saya dapat setiap membeli kopi milik para petinggi perusahaan ini." "Eh?" "Setiap kita membeli 5 cup kopi saya dapat satu voucher gratis, dan setiap hari saya membeli 5 cup, bahkan lebih untuk mereka." Wajah Raisa tertegun bodoh. "Tapi, kalau Mbak Raisa mau bayar boleh saja, nanti boleh di cicil, pake makan siang atau makan malam sama saya, ya." "Hah?" Raisa mengerjapkan matanya. Brian tersenyum kembali, seperti biasanya, ramah dan tampan, membuat siapa saja yang melihatnya terkesima. Tapi Raisa justru merasa takut. "Makasih ya, Mbak uangnya." Brian mengambil uang sebesar 300 ribu di tangan Raisa. "Kenapa gak saya jual aja ya kopinya dari awal, kan saya bisa untung," ucap Brian sambil berlalu. Pria itu seperti tak merasa bersalah sama sekali. Raisa masih tertegun, dia bahkan sempat berpikir dari mana Brian punya uang sebanyak itu untuk membeli kopi setiap hari, dia bahkan curiga kalau Brian presdir yang menyamar jadi OB seperti di n****+- n****+. Tapi, rupanya Brian mendapatkannya secara gratis. Oh Astaga! Dan Raisa hanya bisa menatap hampa telapak tangannya yang kini kosong, uang tiga ratus ribunya melayang. Brian tersenyum menatap uang di tangannya lalu mengusapnya dengan lembut dan memasukannya dengan hati- hati ke dalam dompetnya, lalu melanjutkan langkahnya ke arah ruangan Presdir sambil mendorong troli berisi sarapan. "Makan siangnya Pak." Brian masuk setelah mengetuk pintu. Pak Willy mendongak lalu beranjak untuk melihat makanannya "Apa gak ada menu lain Brian, sayuran ini rasanya hambar." "Sekali- kali daging dong," protes Pak Willy. Brian terkekeh "Sudah perintah dari Bu Presdir Pak.. Tunggu dua puluh hari lagi untuk dagingnya Pak." Pak Willy berdecak dan hendak melayangkan sendok ke arah Brian, membuat Brian semakin terkekeh. Istri Pak Willy memang berpesan untuk tidak memberikan terlalu banyak daging untuk suaminya, karena di kantor dia tak bisa mengawasi pria paruh baya itu, jadi dia mempercayakannya pada Brian. Penyakit kolestrol nya memang sudah akut, itulah mengapa dia akan segera pensiun. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD