Raisa memasuki perusahaan sedikit terburu- buru karena dia akan segera terlambat, lalu saat dia akan memasuki lift Raisa di buat tertegun sebab yang sedang menunggu lift adalah seorang pria.
"Jadi masuk gak nih, udah telat," ujarnya, saat melihat Raisa hanya diam.
Raisa menelan ludahnya kasar lalu masuk, tepat saat pintu akan tertutup Raisa melihat ada Brian yang keluar dari lift di depannya.
Brian tertegun, tiba- tiba dia ingat tentang ucapan Raisa tempo hari, jadi dengan segera Brian kembali menekan tombol lift di depannya, namun pintu tak kunjung terbuka, Brian meninggalkan alat kebersihannya lalu berlari ke arah tangga darurat, pria itu berlari secepat yang dia bisa hingga tiba di lantai 3 dan menekan tombol lift.
Nafas Brian masih tersengal saat pintu terbuka, dan bisa Brian lihat Raisa sedang berdiri dengan tegang di sudut ruangan.
"Ian, ngapain lari- lari, sampai ngos- ngosan gitu?" tanya si pria yang justru berdiri santai di sisi lain lift
"Heee, ada yang kelupaan Mas." lalu matanya melihat Raisa, saat pintu akan tertutup tadi Brian seolah melihat tatapan penuh permohonan dari Raisa, dia merasa Raisa sedang meminta tolong. Jadi dia berusaha sampai secepat mungkin.
Brian menghela nafasnya lalu berdiri di sebelah Raisa.
lift kembali tertutup hingga tiba di lantai 7 pria yang tadi bersama Raisa keluar dari dalam lift menyisakan Raisa dan Brian.
Tubuh Raisa yang sejak tadi berusaha tegak, kini hampir terjatuh andai Brian tidak memegangnya.
Nafas Raisa terengah lalu air matanya menetes begitu saja, sungguh melelahkan hidup dalam ketakutan seperti ini, batin Raisa berteriak.
Lalu mata itu menatap Brian yang kini masih menopang tubuhnya. Meski begitu Raisa kini justru merasa aman, apa karena Brian tahu tentang ketakutannya?
"Kamu baik- baik saja?" awalnya Brian kira Raisa berbohong tentang traumanya, tapi kini dia melihatnya sendiri, bagaimana Raisa ketakutan saat hanya berdua saja dengan seorang pria.
Apa yang sudah terjadi dengan perempuan di depannya ini, hingga dia memiliki trauma ini?
Lift kembali bergerak hingga tiba di lantai paling atas, Raisa yang menyadari ini bukan lantai dimana dia harusnya turun pun mengerutkan kening "Kamu harus tenangin dulu diri kamu," kata Brian menjelaskan.
Brian menggerakkan tangannya mengusap keringat dingin di dahi Raisa, membuat refleks tubuhnya bekerja, dia langsung mundur menjauh.
"Kamu bisa percaya aku, aku tidak akan menyakiti kamu." Brian bahkan menghilangkan kata 'Mbak' yang biasa dia ucapkan saat ini.
"A- aku butuh sendiri." Raisa menunduk menatap tautan tangannya. Tak hanya Brian sepertinya Raisa juga melupakan keformalannya.
Brian mengangguk, lalu pergi.
Raisa menghela nafasnya beberapa kali, hingga merasa lebih tenang, barulah dia melihat sekitarnya, dia berada di atas rooftop, lalu matanya memejam merasakan hembusan angin menerpa wajahnya, di sini cukup tenang, hingga Raisa merasa lebih baik.
"Sudah baikan?" Raisa menoleh.
"Bukannya Mas Brian sudah pergi?"
"Aku gak bisa biarin kamu sendiri, takutnya kamu depresi trus loncat dari sini, aku yang di salahkan." Perkataan Brian di sertai tawa, dia berusaha melucu untuk mencairkan suasana, namun saat melihat Raisa tak tertawa sedikitpun Brian menghentikan tawanya.
"Gak lucu ya?" Brian mengusap tengkuknya.
Raisa terkekeh. "Terimakasih sudah menghibur saya. Dan makasih Mas Brian sudah menemani saya di lift.
Brian tersenyum, "Sebenarnya apa yang kamu alami sampai memiliki trauma seperti itu?" harusnya ini bukan urusan Brian, tapi dia selalu penasaran pada Raisa, bahkan sejak dia datang, Brian tak bisa mengacuhkannya begitu saja, seperti ada yang menarik hatinya untuk terus mendekat, hal yang tak biasa dia lakukan pada seorang perempuan.
Raisa menghilangkan senyumnya "Saya harus segera bekerja, sekali lagi terimakasih Mas." Raisa beranjak dan meninggalkan Brian begitu saja.
Brian masih menatap punggung Raisa yang menjauh hingga hilang di telan pintu.
****
Di jam makan siang Raisa duduk di depan meja kerjanya, dia tak berniat untuk pergi ke kantin untuk makan siang, yang ada di pikirannya sekarang bagaimana dia bisa menghilangkan traumanya, haruskah dia menemui seorang psikolog? Dia butuh seseorang untuk meringankan hatinya, dan mungkin saja psikolog bisa di percaya.
Meski menikah tidak ada dalam daftar hidupnya, tapi tidak mungkin Raisa terus takut pada setiap pria, padahal jelas- jelas pria itu tak berniat buruk padanya, seperti kejadian tadi pagi, dia hanya mengalami ketakutan tak berarti, karyawan pria itu bahkan sama sekali tak menggubrisnya.
"Mbak Raisa gak makan siang?" Raisa mendongak dan menemukan Brian, dan cara bicara pria itu sudah kembali seperti semula.
Raisa menghela nafasnya, kenapa pria ini terus mendekatinya sih, bukannya di sudah menolaknya. Ya, meski Raisa sangat berterimakasih karena berkat Brian dia bisa menguasai dirinya.
"Nggak," jawab Raisa pendek.
Brian tersenyum "Mbak inget gak punya hutang sama saya?" Raisa mengerutkan keningnya "Mbak bisa cicil, traktir saya makan siang di kantin, mulai sekarang."
Ah, Raisa ingat tentang kopi yang harganya mahal itu, andai Raisa tahu kopi itu di dapat Brian dengan cara gratis dia tidak akan sesumbar untuk membayar, tapi sekarang, dia harus menepati janjinya.
Jadi dengan menghela nafasnya memasukan dompet dan ponselnya ke dalam saku dia berdiri "Ya sudah, ayo."
Brian tersenyum senang lalu mengikuti Raisa.
Karena jam makam siang sudah di mulai sejak 10 menit lalu, sudah tak ada orang lain disana, hanya Raisa dan Brian.
"Saya, bersumpah gak akan ngapa- ngapain Mbak, kalau sampai itu terjadi, saya bisa di samber gledek." Raisa tertawa, tawa yang cantik dan membuat Brian tertegun.
"Tapi, ada pengecualian kan, Mbak?"
"Apa?" Raisa menatap waspada.
"Beda lagi, kalau Mbak yang minta saya ngapa- ngapain Mbak."
Raisa mendengus "Mimpi." lalu dia berjalan memasuki lift.
Brian terkekeh lalu ikut masuk dan menekan tombol dan pintu mulai tertutup.
Brian menoleh saat merasa nafas Raisa mulai memberat "Mbak, saya boleh pesen apa aja kan disana?" tanyanya pada Raisa.
Raisa mengerutkan keningnya "Hm." dia tak bisa bicara, seolah udara terasa berat untuk masuk ke paru- parunya, meski dia sedikit merasa aman bersama Brian, ternyata ketakutannya tak hilang sepenuhnya.
"Kalau gitu saya, mau pesen Ayam goreng kremes, nasi kuning, rendang sapi, plus goreng ati ampela. Minumnya saya mau es kelapa muda trus cuci mulutnya pake sop buah."
Tautan di kening Raisa semakin dalam "Kenapa Mbak?"
"Eh, iya saya juga mau bungkus satu buat sore, kan nanti gak perlu beli buat makan malam," kata Brian lagi "Wah, lumayan nih irit biaya, kalau setiap hari aku kasih Mbak kopi, aku bisa minta ganti sama makan siang gratis." Brian tertawa, namun saat melihat raut wajah Raisa tawa Brian terhenti.
"Gak sudi! Udah saya bilang jangan kasih saya kopi lagi." raut wajah Raisa terlihat masam, perempuan itu langsung saja memalingkan wajahnya dari Brian dengan bibir cemberut.
Kalau begitu dia yang rugi dong!
Brian tersenyum saat Raisa terlihat marah, tanpa Raisa sadari dia sudah melupakan ketakutannya tadi.