Bab 4: Rasa Takut

1060 Words
"Pagi Mbak Raisa, Kopinya." Brian menyimpan kopi di depan Raisa, membuat Raisa mengeryit. "Saya gak pesen kopi," katanya. "Iya, tapi saya kasih gratis buat Mbak, biar kerjanya tambah semangat!" seru Brian. Pria itu bahkan masih mempertahankan senyum ramahnya. Raisa menatap kopi di depannya, aroma kopi yang tajam menggelitik hidungnya, tapi aroma tersebut lumayan menenangkan otaknya yang memang sedang sedikit tertekan. Angka- angka di depan layar komputernya membuat sedikit frustasi "Makasih." "Sama- sama Mbak." Brian tersenyum lalu pergi ke karyawan lainnya, tentu saja untuk membawakan pesanan mereka. Setelah Brian pergi Raisa meraih cup kopinya lalu menciumnya lebih dekat sebelum selanjutnya dia seruput pelan. "Hm, enak." Raisa jarang meminum kopi, tapi kopi yang Brian beli lumayan enak, apa dia harus tanya dimana dia membelinya? Hari- hari Raisa lewati, seperti biasanya, bekerja dan bekerja, Raisa juga mulai memiliki beberapa teman, meski Raisa masih membatasi pergaulannya, apalagi dengan para pria, tapi Raisa sudah bisa menempatkan diri saat bersama teman kerjanya. Hingga tak terasa satu bulan sudah dia bekerja. Raisa merenggangkan tangannya yang terasa pegal akibat mengetik seharian, setelah merapikan meja kerjanya, Raisa memeriksa ruangan Direktur lalu mematikan lampu dan mengunci pintu untuk dia serahkan pada Brian. Kenapa Brian, sebab pria itu di tunjuk langsung oleh Direktur untuk bertanggung jawab membersihkan ruangannya setiap hari. Biasanya pria itu akan datang dan menguncinya sendiri, tapi saat ini semua karyawan di lantainya berada sudah pulang, jadi Raisa memutuskan untuk memberikannya langsung kepada Brian. Sambil menunggu pintu Lift terbuka Raisa mencari ikat rambutnya lalu menggelung asal rambutnya ke atas, sesekali dia memijat lehernya yang terasa kaku, mungkin hari minggu nanti dia akan ke spa untuk pijat refleksi, kebetulan gaji bulanan yang dia dapat dua hari lalu belum dia gunakan. Pintu lift terbuka dan menampakkan Brian disana "Eh, Mas kebetulan, saya mau kasih kunci ruangan Pak Willi." Raisa menyerahkan kunci di tangannya. "Wah, tadinya saya juga mau ke ruangan Pak Willi, makasih loh Mbak, sudah bantu saya, jadinya saya gak perlu kesana." Raisa mengangguk lalu memasuki lift. "Mas Brian, lantai berapa?" tanyanya pada Brian. Raisa hendak menekan tombol lift, tapi siapa tahu Brian akan turun di lantai berapa. "Lantai satu Mbak." Raisa mengangguk dan menekan angka satu, lalu pintu lift tertutup. Raisa mungkin tak sekaku di awal saat dia mengenal Brian, tapi wanita itu masih menjaga jarak dari Brian, jadi, saat Brian berdiri di pojok kiri, Raisa memilih berdiri di dekat pintu sebelah kanan dimana tombol lift berada, dia memilih untuk waspada, jika sesuatu yang buruk terjadi dia tinggal menekan tombol, agar bisa langsung keluar. Lagi pula siapa yang tahu bukan? Sepanjang lift terus menunjukkan angka Raisa merasakan punggungnya terasa panas seolah ada yang tengah menatapnya. Raisa yang awalnya fokus melihat angka di atas pintu, menjadi penasaran, jadi saat ini dia mendongak dan menatap dinding lift yang menampilkan pantulan seseorang di belakangnya. Brian Si OB, pria itu tengah menatapnya dengan tatapan yang entah kenapa membuat bulu kuduknya meremang seketika, tanpa senyum yang biasa pria itu tunjukkan padanya. Raisa bergeming, dia tak berbalik sedikitpun dan hanya meremas tangannya erat, pintu lift yang masih menunjukkan angka, terasa begitu lama untuk berhenti. Membuat jantung Raisa berdebar kuat. Raisa hanya bergumam dalam hati semoga pria di belakang sana tidak merencanakan hal buruk padanya, tiba- tiba kejadian dua tahun lalu saat Kemal memperlakukannya dengan kasar kembali terlintas, tubuhnya mulai terasa dingin dan panas sekaligus. Kakinya bahkan terasa lemas mengingat betapa menyakitkannya hari itu. Pintu terbuka, dan menampakan lobi dimana masih ada beberapa orang berlalu lalang, dan jika Brian akan melakukan hal yang buruk pria itu tidak akan melakukannya di depan orang banyak. Raisa menggerakkan kakinya hendak keluar dari dalam kotak besi tersebut, namun baru satu langkah dia justru ambruk dan jatuh terduduk tepat di depan pintu lift. "Mbak," terdengar suara Brian menghampirinya. "Mbak gak papa?" "Akh." Raisa menjerit saat Brian menyentuh tangannya "Jangan sentuh saya!" sontak saja teriakan itu mengundang banyak mata untuk mendekat, apalagi Brian yang langsung tertegun. "Siapa tuh?" "Gak tahu, dari divisi mana?" "Gue juga gak tahu." "Eh, sekertaris Pak Willi tuh." "Ada apa sih, kok dia menjerit gitu, itu OB gak lakuin yang enggak- enggak kan di lift." Brian mengeryit tak suka mendengar ucapan yang sebagian besar di bicarakan para pria, Memang apa yang akan dia lakukan. "Mbak, Mbak Raisa kenapa?" menghiraukan ucapan sekitarnya, Brian kembali bertanya, tapi kali ini dia mengambil posisi aman. Raisa menarik nafas lalu memejamkan mata, saat ini dia melihat sekitarnya dan merasa bingung sekaligus malu, apa yang terjadi padanya, dan bagaimana bisa dia menjadi pusat perhatian seperti sekarang.. Raisa mengusap kasar wajahnya lalu berusaha bangkit "Saya gak papa." lagi Raisa menolak uluran tangan Brian, membuat pria itu merasa kesal, tapi raut wajah Brian yang tenang berhasil menyembunyikannya. "Brian Lo gak apa- apain Si Mbaknya kan?" "Apaan Mas, saya gak ngapa- ngapain." "Ya, kali Lo colek- colek dia, mentang- mentang Lo ganteng jangan begitu dong." "Lo kira semua cewek bakalan suka sama Lo, karena Lo ganteng." **** Raisa duduk termenung di halte, apa yang baru saja terjadi, apa itu efek dari rasa takut yang dia alami, padahal jelas Brian tak melakukan apapun padanya, itu hanya sebuah sikap paranoid yang tiba- tiba datang, dan membuatnya panik. Raisa bahkan sempat mendengar orang- orang bertanya pada Brian, dan menuduh pria itu. Dan sekarang Raisa merasa bersalah karena tidak membantu Brian untuk menjelaskan. Di saat yang sama Brian lewat dengan motor bebeknya, pria itu sempat melihatnya tapi kemudian memalingkan wajah. Raisa menghela nafasnya, sudah pasti Brian marah, "Aku harus minta maaf," gumamnya. Esoknya pada pagi hari Raisa datang ke kantor dan langsung mencari Brian, dia bahkan tiba pukul 7 pagi, di saat karyawan belum ada yang datang, sebab jam kerja yang di mulai pukul 8. Raisa mencari Brian yang harusnya sudah datang ke pantry, namun dia hanya bisa berdecak sebab tak menemukannya. Raisa pergi ke arah loker, dan akan menunggu di sana, Raisa celingukan dan mencari Brian "Belum datang kayaknya." "Cari siapa." Raisa terkejut saat melihat Brian yang sedang mengganti pakaiannya. Dengan secepat kilat Raisa berbalik dan keluar dari ruang loker. Melihat itu Brian hanya bisa berdecih sinis. Menutup pintu loker Brian keluar dan menemukan Raisa masih berdiri disana. "Mbak cari saya?" Raisa mendongak dan menemukan Brian menatapnya datar, kali ini pria itu tidak tersenyum, membuat Raisa berpikir dia benar- benar marah. "Aku, ma,mau minta maaf." Brian mendengus saat melihat Raisa mundur satu langkah. Tingkahnya tak seperti perkataannya, wanita itu minta maaf, tapi tetap menunjukan jika Brian adalah ancaman baginya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD