Bab 11: Benar- Benar Ditolak

1126 Words
"Brian aku akan bicara sekali lagi!" Raisa menghela nafasnya, untuk menghilangkan degupan jantungnya yang berdebar dua kali lebih cepat. Tak dapat di pungkiri ketampanan yang melekat itu membuat Raisa takut sekaligus ingin. Tapi, perasaan takut yang lebih mendominasi membuat Raisa ragu, ragu apakah pria ini tak sama seperti Kemal yang menginginkan kesempurnaan seorang wanita. Raisa bodoh! Pria mana yang ingin wanita bekas. Jadi, dengan menyingkirkan ke-formalannya Raisa akan menolak Brian sekali lagi, berharap pria itu mengerti dan tak lagi menggodanya, sebab jika terus di biarkan, bisa saja Raisa semakin terpesona pada sosok tampan ini, dan Raisa tak ingin jika kelak, lagi- lagi rasa sakit yang di dapat. "Aku gak mencintai kamu, dan mungkin gak akan pernah." Brian tertegun, Raisa bahkan menekan kata- katanya 'Tidak akan pernah' katanya. Tiba- tiba hati Brian bergejolak. "Jadi, aku mohon jangan ganggu aku lagi," ucapnya lagi. "Kamu terganggu?" "Tentu saja." tentu saja Raisa terganggu, sebab semakin lama dia tak tahu apakah dia masih bisa menolak pesona Brian atau tidak, jadi lebih cepat Brian menjauh, lebih baik. "Apa alasan kamu menolakku?" tatapan Brian menjadi tajam membuat Raisa lagi- lagi merasa meremang. Ini bukan Brian yang Raisa kenal. "Itu masalah pribadi." Raisa sedikit bergetar karena tatapan Brian. "Karena aku OB?" "Bu-" belum sempat Raisa menyangkal Brian kembali bicara. "Karena aku kurang mapan?" "Brian," keluh Raisa. Sungguh bukan itu maksudnya. "Aku mengerti, kamu juga pasti menginginkan pria yang kaya," ucapnya nyalang. Raisa menghela nafasnya, baiklah jika itu bisa membuat Brian menjauh. "Ya, terimakasih sudah mengerti, jadi mulai sekarang jangan ganggu aku lagi," ucapnya pasrah, biarkan Brian menyalahkannya. Brian mendengus "Aku tulus jatuh cinta sama kamu." "Cinta membutuhkan uang, dan aku gak berencana untuk terus bekerja setelah menikah, maka dari itu aku ingin seseorang yang mapan, agar aku bisa hidup senang." bagus Raisa, itu benar- benar alasan yang tepat. "Aku bisa bekerja lebih keras." Raisa tak habis pikir dengan pemikiran Brian, kenapa pria itu begitu kukuh menginginkannya. Apa tak ada wanita lain di dunia ini? Raisa mengusap wajahnya kasar "Kamu gak mengerti Brian, aku wanita yang matre dan menginginkan semua hal mewah, kesenangan, yang bahkan gaji kamu selama sebulan juga gak akan bisa memenuhinya!" "Jadi, aku harap ini penolakanku yang terakhir," ucap Raisa tegas. "Oke." Brian menghela nafasnya lalu memasuki rumah tanpa menunggu Raisa lagi. Raisa tertegun sesaat lalu dia pun masuk ke rumahnya. Akhirnya Brian mau mengerti. Tapi, kenapa Raisa justru merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, apa? Hari ini tiba, hari dimana Direktur utama menyerahkan jabatannya pada penerusnya yang di gadang- gadang memiliki tampang yang rupawan. Seluruh karyawan wanita bahkan berlomba- lomba membuat penampilan mereka menarik, Direktur baru yang katanya masih lajang membuat mereka bermimpi terpilih menjadi kekasih sang Direktur. Raisa yang melihat itu pun mendengus, memang ini sebuah ajang? Disaat semua sibuk dengan penampilannya, Raisa justru memperhatikan dan memastikan rangkaian acara berjalan lancar, sebab Pak Willi sendiri yang menunjuknya untuk memastikan semuanya berjalan baik. "Mas, Brian. Gimana penampilanku?" Raisa yang masih mengecek persiapan pun menoleh pada seseorang di belakangnya. Seorang karyawan wanita bertanya pada Brian. "Apanya Mbak?" tanya Brian ramah. "Cantik gak?" Brian terdiam sebentar dan memperhatikan "Cantik Mbak, seperti biasanya." Raisa mendengus mendengar ucapan Brian lalu melanjutkan kegiatannya setelah memutar matanya malas, namun perkataan kedua orang di belakangnya justru mengganggu telinganya. "Makasih loh, Mas Brian." terdengar si wanita cekikikan, Raisa pastikan wajahnya memerah, karena pujian dari Brian. "Memang kenapa ya, Mbak Vivi kok semua pada sibuk dandan?" tanya Brian. Raisa yakin pria itu pura- pura tak tahu, padahal sudah sejak kemarin Direktur baru itu menjadi perbincangan. "Ish, Mas gak tahu, direktur baru katanya masih lajang, ya kali aja aku terpilih jadi pacarnya." Brian mengangguk, lalu menoleh ke arah Raisa yang juga melihat ke arahnya, untuk sesaat pandangan keduanya beradu.. "Oh, iya ya, Mbak, pastinya Mbak juga mau yang mapan juga tampan." "Ish, iya dong Mas," Vivian menutup mulutnya malu- malu. Brian masih menatap Raisa lalu berkata, "Gak aneh sih, siapa yang gak mau sama cowok mapan, tapi bukannya itu namanya cewek matre ya, yang di pikirin cuma uang!" Raisa tertegun namun, Brian masih menatapnya datar, seperti ada kemarahan dimatanya, dan pria itu mengarahkannya pada Raisa, tentu saja karena pada Vivian Brian tetap tersenyum. "Yang seperti itu gak akan tahu artinya cinta sejati, terus lebih ke w************n, memandang sesuatu dengan uang, padahal, masih ada pria yang mau berjuang, ya ... Meski mungkin pria itu gak punya uang banyak sekarang, tapi siapa yang tahu mungkin saja pria itu kelak akan benar- benar kaya," ucap Brian tajam sebelum pergi melanjutkan kegiatannya dengan acuh. Vivi cemberut mendengar ucapan Brian dia merasa tersentil, sedangkan Raisa menghela nafasnya, tentu saja Raisa tahu perkataan itu untuknya, sebab Brian menyindir perkataannya kemarin. Biarlah Brian membencinya, itu lebih bagus. Setidaknya Brian tidak akan mengganggunya lagi, dan bisa Raisa rasakan pria itu mulai menjauh darinya, tadi pagi bahkan Brian pergi dengan acuh tanpa melihat ke arahnya saat akan berangkat bekerja. Ya, sepertinya penolakan Raisa berhasil kali ini. Pukul sembilan semua karyawan sudah menunggu di lobi, bersiap menyambut Direktur dan Direktur baru yang katanya sudah dekat. Raisa lagi- lagi menghela nafasnya, wajahnya menunduk menatap sepatu hak setinggi tiga senti berwarna hitam miliknya, kenapa sejak menolak Brian semalam Raisa terus merasa tak enak hati. Setelah mendengar keriuhan, Raisa mendongak dan melihat ke arah pintu kaca yang terbuka lebar menunjukan sosok Pak Willi beserta beberapa pria berjas rapi, tapi dahinya mengeryit saat tak melihat pria muda seperti yang di katakan Pak Willi. Raisa bahkan menyadari desahan kecewa dari beberapa karyawan yang sengaja bersolek demi menyambut pria yang katanya tampan, sedangkan yang datang bersama Pak Willy hanya para direksi yang sudah mereka kenal sebelumnya. Pak Willi tersenyum dan berkata "Dia sedikit terlambat, kita tunggu di ruangan saja." setelah mengatakan itu beberapa karyawan penting ikut masuk ke ruang meeting yang sudah di sulap menjadi aula, sedangkan beberapa dari mereka kembali bekerja. Raisa mengikuti dari belakang, dan mempersilahkan Pak Willi untuk duduk di kursi yang sudah di sediakan. "Berapa lama kita harus menunggu Pak Willi?" tanya salah satu direksi yang duduk di sebelah Pak Willi. Raisa sendiri mendengar pertanyaan tersebut sebab dia berdiri di belakang Pak Willi. Pak Willi melihat ponselnya, "Sudah di lobi." dan itu berarti hanya tinggal beberapa menit lagi dia akan sampai di ruangan tersebut. Pak Willi menatap ke arah pintu, begitupun orang- orang yang ada disana termasuk Raisa. Hingga pintu terbuka menampakan seorang pria berbalut jas hitam formal, pria itu tersenyum menawan dan dengan langkah tegap masuk lebih dalam. "Ah, itu dia," ucap Pak Willi. "Maaf, aku sedikit terlambat," ucapnya membuka salam, pria itu membungkukkan tubuhnya. Terdengar decakan kagum dari beberapa karyawan, karena Direktur baru mereka benar- benar tampan. Tapi, tidak dengan Raisa. Raisa tertegun, tubuhnya membeku hebat melihat pria di depan sana, kakinya bahkan mundur satu langkah seolah dirinya tak bisa berpijak karena tiba- tiba menjadi linglung. Bagaimana bisa? ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD