"Mbak, minta garam."
"Mbak, minta gula."
"Mbak, minta kopi..." Raisa memutar matanya malas, ini adalah hari kedua Raisa tahu Brian tinggal di rumah sebelah, yang artinya sudah lima hari pria itu menjadi tetangganya.
Dan sejak dua hari lalu ada saja yang di jadikan Brian alasan untuk datang ke kontrakannya.
"Mas Brian ini miskin banget ya, sampe garam aja gak ada, sekarang kopi!"
Brian terkekeh "Ya, mau bagaimana lagi kalau gak ada yang ngecek dapur saya, jadinya gak ketahuan kalau bumbu dapur abis."
Lagi, Raisa memutar matanya malas.
"Itulah, makanya saya nih lagi cari istri buat di nikahi, Mbak."
Raisa menghela nafasnya "Ya, nikah, nikah aja Mas, kok ngomong sama saya, bukannya banyak yang ngejar Mas Brian," ucapnya kesal.
"Ya, gimana lagi ... Yang saya mau cuma Mbak."
"Saya-nya yang gak mau." Raisa masuk ke dalam rumah dan mengambil kopi, dan menyerahkan kopi sachet itu ke tangan Brian "Udah, kan. Sekarang Mas Brian bisa pergi." baru saja Raisa akan menutup pintu, Brian kembali menahannya.
"Apa lagi?" kesalnya.
"Sebenarnya air panasnya juga gak ada Mbak, gas saya abis, dispenser juga rusak." Brian menggaruk tengkuknya.
Raisa menggeram kesal, ingin rasanya dia mencakar wajah Brian yang justru tersenyum sangat tampan.
Haiiiisss ... bisa- bisanya dia memuji Brian saat kesal seperti sekarang.
"Ya udah, kalau Mbak gak kasih, mau gak temenin saya belanja?" tawar Brian.
Raisa memejamkan matanya kesal, lalu menutup pintu rumahnya.
"Ayo!"
Jadi saat itu di hari yang bahkan sudah pukul tujuh malam itu Raisa dan Brian pergi belanja, tak tanggung- tanggung Raisa membawa Brian ke sebuah supermarket yang lengkap.
"Bawa tabung gas nya sekalian!" titah Raisa dengan nada kesal saat mereka akan pergi.
Dan Brian pun mengambil tabung gas warna pink miliknya, bagus sekali setidaknya bukan warna hijau yang dia punya.
"Yakin nih Mbak bawa tabung nya juga?"
"Lah, bukannya abis, ya udah bawa sekalian!"
"Ya kali, nanti panggil orang buat antar besok."
"Kalau nunggu orang antar, Mas bisa ngerepotin saya lagi, bisa- bisa besok pagi numpang masak lagi, gegara tabung gasnya belum isi, lagian kayak gak pernah beli sendiri aja, manja banget kudu di anter." Brian menipiskan bibirnya lalu mengangkat tabung gasnya dan menaiki motornya, barulah mereka melaju.
Dan saat ini di supermarket ...
Brian mendorong troli dan Raisa memasukan belanjaan yang sekiranya perlu "Berapa nih budget nya Mas?"
"Terserah kamu aja." Raisa mengerutkan keningnya saat mendengar nada bicara Brian, lalu dia menoleh dan melihat tatapan Brian begitu sendu, membuatnya meremang.
Di tatap seperti itu Raisa menjadi salah tingkah. Belum lagi nada bicara Brian yang berat tapi juga lembut membuat Raisa tersipu.
Raisa berdehem lalu melanjutkan memasukan perbumbuan ke dalam troli "Ada lemari es gak?" tanya Raisa.
"Ada."
Raisa mengangguk "Kalau gitu kita beli sayuran sekalian."
"Hm." Brian hanya bergumam. Membuat Raisa lagi- lagi merasa meremang, kenapa pria itu tiba- tiba irit bicara.
Raisa mencoba abai dan melanjutkan kegiatan belanjanya, Raisa akan mengambil kecap di rak atas, di saat yang sama seorang anak mendorong troli kencang menuju ke arahnya, Raisa membelalakan matanya, saat merasa tak bisa menghindar.
Bugh, tepat di saat yang sama Brian meraih pinggangnya dan menariknya menjauh hingga troli tersebut tak mengenainya dan justru menabrak rak dan membuat benda di atasnya berjatuhan. Sontak saja kejadian itu membuat kegaduhan, beberapa pekerja supermarket berdatangan, lalu ibu dari si anak memarahi anaknya karena tentu saja atas kenakalannya dia harus mengganti rugi.
Sementara Raisa masih terpaku di tempatnya, tepat di pelukan Brian, pria itu masih memeluk pinggangnya erat setelah membuatnya menghindari kecelakaan. Tubuh mereka merapat dengan kedua mata yang saling beradu.
"Kamu gak papa?"
Raisa merasakan jantungnya berdebar kencang saat ini, dia bahkan menelan ludahnya susah payah dan hanya fokus pada wajah Brian yang kini berjarak beberapa senti saja.
Astaga! Ada apa dengan jantungnya? Kenapa dunia seakan berhenti berputar saat ini? Dia tak bisa melihat ke arah lain selain pada Brian.
Raisa mengerjapkan matanya saat Brian mengusap pipinya. "Eh?" Raisa segera menjauh dan Brian pun melepas pelukannya.
Raisa melihat ke arah troli yang tadi hampir menabraknya, dan melihat barang- barang berserakan membuatnya bergidik, bagaimana kalau troli itu mengenainya, pasti lumayan sakit rasanya "Makasih." dan akhirnya kata itu terucap, kalau Brian tidak segera menariknya sudah pasti dia tak bisa menghindar.
Brian tak menjawab, dan membuat Raisa bingung, jadi dia berbalik ke arah Brian dan langsung tertegun saat mendapati Brian menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dia tebak.
Saat perjalanan pulang, Raisa tak bisa tak memikirkan ada apa dengan Brian, pria itu beberapa kali menunjukkan wajahnya yang berubah- ubah, terkadang dingin, dan tak bisa di tebak sama sekali, lalu sendu, seolah begitu menginginkannya, sedangkan yang Raisa tahu kepribadian Brian adalah murah senyum dan hangat.
Raisa menggelengkan kepalanya, untuk apa dia peduli? Mau Brian seperti apapun bukan urusannya.
Jadi setelah tiba di kontrakan, Raisa turun dari motor bebek Brian "Sudah ya, Mas. Saya masuk dulu, abis ini gak usah ketuk pintu lagi, minta yang gak ada, semuanya sudah di beli." setelah mengatakan itu Raisa pergi dan memasuki rumahnya.
Brian menghela nafasnya lalu melihat ke arah belanjaannya, "Untuk apa semua ini," keluhnya, niatnya minta ini itu hanya ingin menarik perhatian Raisa, atau mungkin dia bisa mengobrol bersama Raisa, kenapa malah langsung mengajaknya belanja. Meski sebenarnya tak masalah untuknya karena dia tetap bisa menghabiskan waktu dengan Raisa, dan bagusnya lagi dia sempat memeluk Raisa tadi, Brian tersenyum melihat tangannya, pinggang ramping Raisa sangat pas di pelukannya dan terasa nyaman, setelah berdiri dan menatap pintu rumah Raisa beberapa detik Brian membawa belanjaannya masuk ke dalam rumah kontrakan yang baru beberapa hari dia tinggali, lalu menutup pintu.
Di dalam rumahnya Raisa menyandarkan dirinya di balik pintu sambil menyentuh dadanya yang lagi- lagi berdebar lebih cepat, kenapa dia tak bisa lupa wajah Brian.
****
Hari kamis esok, adalah hari yang menegangkan untuk Raisa, selain dia harus beradaptasi dengan bos baru, direktur yang katanya masih muda dan tampan itu adalah ketakutan sesungguhnya bagi Raisa. Saat ini dia sedang sibuk mempersiapkan acara penyambutan yang akan diadakan pukul sembilan besok pagi.
Ruang rapat sudah di sulap dan di hias dengan elegan, Raisa terus mengawasi semua persiapan benar- benar selesai besok pagi.
"Mbak Raisa, ini simpen dimana ya?" Raisa menoleh dan melihat Brian mendorong meja podium.
"Oh, di depan aja Mas." Raisa segera beralih pada yang lain untuk mengalihkan perhatiannya. Entah kenapa setelah kejadian semalam, dia terus terbayang wajah Brian, apalagi adegan Brian memeluknya terus terbayang di pelupuk matanya.
Raisa terus menghindar dari Brian, tapi pekerjaan mereka yang ada di gedung yang sama, atau bahkan Brian yang ikut membantu persiapan penyambutan besok, membuatnya kesulitan, hingga kini di jam pulang Raisa kembali tak mendapatkan bis.
"Mbak, mau bareng?" Raisa menghela nafasnya, kenapa sulit sekali menghindari Brian.
Dan kali ini karena lagi- lagi menunggu bis yang lama datangnya, membuat Raisa kembali di hadapkan dengan pilihan.
Ikut Brian atau dia akan terlambat pulang, dan kelelahan. Padahal dia sudah sejak tadi ingin segera tidur dan istirahat.
Mungkin dia harus segera memikirkan untuk membeli kendaraan, agar dia tak perlu repot menaiki bis, atau menunggu bis lagi.
"Jadi ikut gak Mbak?" dan dengan menghela nafasnya Raisa segera melangkah menuju Brian dan menaiki motornya.
Brian tersenyum di perjalanan mereka, pria itu sengaja melajukan motornya dengan pelan agar tak terlalu cepat sampai, ingin menikmati kebersamaan mereka.
Sementara Raisa hanya diam dan menatap punggung tegap Brian, ya, kali ini dia mengenakan celana panjang hingga dia bisa duduk mengangkang, dengan tas kerja sebagai penghalang Raisa bisa duduk dengan tenang, meski tak berpegangan pada pria itu.
Raisa masih diam dan berpikir bagaimana cara membuat Brian berhenti mengejarnya, bahkan saat semalam Brian bilang gasnya habis dan memakai alasan untuk terus berbicara padanya, padahal Raisa tahu baru kemarin seseorang mengantar tabung gas baru ke rumah Brian, tidak mungkin kan gas warna pink itu habis dalam satu hari.
Hingga tiba di kontrakan mereka Raisa menyerahkan helm yang dia kenakan.
"Terimakasih," katanya, dan di tanggapi senyuman oleh Brian.
"Sama- sama."
Raisa masih berdiri di sana, begitu pun Brian. Pria itu yakin ada yang ingin Raisa katakan, jadi dia masih menunggu dengan senyum di bibirnya.
Raisa menghela nafasnya, entah ini akan jadi penolakan yang ke berapa, karena Brian tak pernah menanggapi, tapi Raisa harap ini akan menjadi terakhir kalinya dia menolak Brian.