4

1457 Words
Aku pun memandang selingkuhan suamiku lantas melangkah mendekat ke arahnya hendak menyambar kalung cantik berliontin kupu-kupu yang berkilauan di leher jenjangnya membuat ia terlihat cantik tapi belum sempat melakukannya, menyambarnya kuat sampai lehernya lecet, misalnya, Bang Rivan tiba-tiba berkata dengan sorot mata tajam membuatku seketika berhenti melangkah. "Siapa lelaki tadi, hah?!" tanyanya tampak begitu cemburu. "Dia bosku, kenapa emang? Aku terjebak hujan jadi pulang diantar olehnya," jawabku apa adanya karena itu memang kenyataannya. "Awas saja kamu kalau coba-coba selingkuh!" Dia terlihat sangat marah. Aku menatapnya mencibir, lalu aku tertawa mencemooh dengan kedua tangan terlipat di d**a, menantang tatapannya dengan berani. Kupandang dia, lalu tanganku menuding perempuan ayu di hadapanku, yang sejak tadi memperhatikan Bang Rival terlihat sepertinya ia cemburu padaku. "Yang selingkuh Abang bukan aku!" Tegasku. Seketika Bang Rivan terdiam. Tapi itu tak lama. Ia memandangku lalu berkata seolah ia yang paling benar sendiri. "Abang tidak ingin terus selingkuh, maka itu Abang ijin pada adik ingin menikah lagi. Dan adik pun setuju, bukan? Adik bahkan menyuruh Rifani tinggal di sini selama satu bulan." Aku mengangguk membenarkan ucapannya. Aku menyuruh Rifani tinggal di sini bukan karena aku setuju begitu saja, tapi karena aku ingin memberinya pelajaran. Tapi tentu saja aku tak ingin mengatakannya pada Bang Rivan rencanaku yang sesungguhnya. "Ya, aku setuju." Aku bersikap santai, sok angkuh dan tegar walau hati dan perasaanku tercabik-cabik, sama sakit dan pedihnya. "Fani, ini istriku namanya Ilana." Bang Rivan menoleh memandang perempuan di hadapanku. Yang dipanggil Fani tersenyum lalu mengulurkan tangan padaku tanpa merasa bersalah sama sekali sebagai orang ketiga. Sikapnya begitu santai tanpa sungkan sama sekali. "Fani," katanya lirih sambil menyungging seulas senyum yang mau tak mau harus kuakui, manis. Ah, dia memang cantik pantas saja Bang Rivan tergoda parasnya. Gigi gingsulnya membuatnya terlihat manis, rambutnya bergelombang sebahu dan dia mengenakan kaus ketat membuat bentuk tubuhnya teraba dengan jelas. Siapa yang gak ngiler melihatnya, coba? Kucing garong langsung sikat, dialah Bang Rivan. "Ila." Mau tak mau aku membalas uluran tangannya seraya menyungging senyum palsu. Bang Rivan terlihat bahagia melihat aku santai seolah menerima semua ini padahal aku sedang mereka-reka apa yang akan membuat Fani mengurungkan niat menikah dengannya. Mungkin, dengan menyuruhnya melakukan pekerjaan rumah? Ide itu boleh juga. Kupandang wajah juga tangannya yang mulus, membuatku tak yakin ia pandai melakukan pekerjaan rumah tangga. "Senang berkenalan dengan Mbak Ila," ucapnya, lalu ia tersenyum pada suamiku yang balas tersenyum. Sungguh membuatku panas juga muak, sumpah. Apalagi melihat Bang Rivan tampak begitu mencintai Rifani. Bukan hanya Bang Rivan yang tampak begitu mencintainya, tapi Pak Adam juga. Nyatanya, setelah bercerai dengan Rifani Pak Adam tak pernah tersenyum lagi. Jadi sepertinya kalau saat ini kurebut perhiasanku, bisa-bisa Bang Rivan malah membela Fani bukannya membelaku. Tiba-tiba terbersit di benakku rencana yang akan membuat Bang Rivan kelimpungan sendiri. Baiklah, laksanakan! Aku pun tersenyum sendiri. Bang Rivan menatapku heran. "Bang, ada hal penting yang ingin kubicarakan padamu, sekarang." Lalu aku berjalan menuju kamar. Saat aku menoleh, kulihat Bang Rivan menggenggam tangan Rifani, wajah perempuan cantik itu terlihat begitu cemburu, diusapnya tangan Rifani lalu bang Rivan menyusul langkahku menuju kamar. "Apa yang ingin kamu katakan, Dik?" tanyanya begitu menyusul masuk kamar. Dia melangkah mendekat lalu duduk di bibir ranjang sementara aku membuka lemari pakaian dan mengeluarkan kotak. Membawa mendekat ke arahnya kemudian membuka di hadapannya. Kalung dan gelangku raib. Aku sudah tak heran tapi dadaku panas. "Mulanya aku menduga-duga apa hanya kebetulan aja kalung dan gelang yang dipakai Fani mirip seperti punyaku. Tapi ternyata yang di sini hilang." Bang Rivan menatapku tanpa merasa bersalah sama sekali. "Hanya masalah gelang saja, Abang kira ada apa." Aku menatapnya tak percaya. "Gelang itu hadiah dari almarhum ayahku, Bang!" ucapku sedikit membentaknya. "Ila, jangan pelit jadi orang. Toh Fani sebentar lagi kan akan menjadi adik madumu. Jadi apa yang kamu miliki akan menjadi miliknya juga." Mataku membulat lebar dan jantungku terasa mengentak-entak keras sekali di dalam d**a membuatku sulit bernapas. Enak saja barang milikku akan jadi milik Fani juga. Kalau bang Rivan yang dia embat silakan saja karena aku pun tak sudi lagi dengan ayah anakku ini yang telah berzina. Amit-amit jijik sekali membayangkan berbagi kehangatan, satu malam dengannya lalu denganku gantian. Tapi masalah perhiasan dan harta benda yang telah kami kumpulkan selama ini, aku tak mau berbagi. Toh, kebanyakan harta yang kami miliki saat ini adalah milikku. Aku lebih unggul saat di kantor dulu jabatanku lebih tinggi sebelum Bang Rivan memintaku berhenti karena malu. Aku dulu dengan cepat bisa membeli yang kuingini dengan gajiku, juga dengan gaji Bang Rivan, tapi gajiku lebih banyak. Bisa membeli dua hektar kebun, rumah ini, juga mobil dan motor. Bodohnya aku, semua surat atas nama Bang Rivan walau memiliki semua aset lebih banyak menggunakan uangku daripada uangnya. Memang sekarang gajinya lebih besar berkali-kali lipat karena aku berhenti kerja tapi dulu .... Aku menghela napas dalam lalu mengembuskannya pelan-pelan mencoba mengusir amarah yang membuat dadaku panas seperti akan meledak. Tahan. Karena perempuan hamil harus pintar-pintar mengendalikan emosi. "Aku gak mau tau ya, Bang, sekarang juga ambil perhiasanku bilang bahwa itu milikku." "Ila, kenapa sih kamu pelit sekali? Kamu mau minta uang berapa Abang beri!" Sambil ia merogoh dompet lalu melempar beberapa lembar uang ratusan ribu ke wajahku juga ATM yang aku tahu benar sandinya yang adalah tanggal pernikahan kami. Perbuatannya membuat dadaku seperti ditikam-tikam belati, sakit dan nyeri sekali membuat mataku memanas ingin menangis. Tapi aku menahan air mata agar tak tumpah ruah yang akan membuatku terlihat lemah. Aku pun mendongak menatap plafon kamar agar air mata yang mendesak ingin dikeluarkan tak lolos membasahi pipi. Tidak! Aku tidak mau terlihat rapuh walau hatiku sakit seperti disilet-silet. Gara-gara Fani, Bang Rivan membentakku, dan menginjak harga diriku seperti ini, melempari wajahku uang seolah aku perempuan penggoda. Bang Rivan lebih condong ke Fani, jadi apa kira-kira dia bisa adil seandainya polihami? Belum apa-apa sudah begini coba bayangkan saja. "Uang di ATM lebih dari cukup untuk membeli perhiasan itu. Ambil saja tidak usah sok jual mahal!" katanya terlihat marah. "Hanya gara-gara perhiasan kamu jadi membantah Abang!" katanya lagi sambil berdiri. Ia menatap lembaran uang yang bercecer di lantai, memungutinya satu-satu berserta ATM lalu menggenggamkan ke tanganku. "Ambil ini! Ambil, dan beli perhiasan serupa perhiasanmu!" Jika aku mengambilnya maka seperti seorang yang tak punya harga diri, tapi menolak uang serta isi ATM yang isinya hampir seratus juta adalah sesuatu yang bodoh sekali. Oh jelas aku tidak bodoh. Aku akan mengambil semua uang di ATM untuk diletakkan di tabungan pribadiku untuk masa depan Umi juga anakku yang akan lahir nanti. Juga untuk bersenang-senang besok agar tak stres. Oh ya ada lagi, setelah aku bersenang-senang dengan uangnya, aku akan lapor polisi agar perhiasanku kembali. Ha ha ha. Aku tersenyum sendiri dengan hati yang pedih tapi terus terlihat tegar. Kurasa ideku itu menguras semua uangnya lebih baik daripada aku terus merengek pada Bang Rivan agar mengembalikan perhiasanku, tapi sudah pasti tak mungkin dia kembalikan karena dia lebih condong pada Rifani. Aku menghela napas saat menatap ke arah pintu yang sedikit membuka, Rifani sedang mengintip rupanya. Pura-pura tak tahu, maka aku pun tersenyum pada Bang Rivan. Lalu aku menarik tangan Bang Rivan untuk duduk di dekatku dan tersenyum manis tapi palsu untuk membuat Rifani cemburu. Karena seperti yang kulihat tadi, Rifani terlihat tak suka saat Bang Rivan menanyakan siapa lelaki yang mengantarku pulang. "Bener nih, Bang, aku boleh memakai uang di ATM ini?" Aku bertanya memastikan. Bang Rivan mengangguk dengan wajah tampak jengkel. Aku mengusap lembut bahunya untuk menenangkannya dan tersenyum manis padanya. "Maafin aku ya, Bang. Ini mungkin bawaan bayi," kataku. Dia tampak terkejut lalu menatap ke perutku berlama-lama "Maafkan Abang juga ya, Dik, Abang lupa bahwa perempuan hamil begitu sensitif. Abang hanya ingin, kamu tidak pelit pada Fani. Semua milikmu akan menjadi miliknya begitu pun sebaliknya. Abang milik adik juga akan menjadi milik Fani. Abang mencintainya tapi juga Abang sangat mencintai adik." Lalu ia membawaku berlabuh ke dadanya yang bidang dan mengecup ubun-ubunku. Sumpah setengah mati aku menahan diri ingin mendorong Bang Rivan tapi karena Fani terus mengintip terlihat begitu cemburu maka aku pun mengurungkan niat. Aku senang melihat Fani tampak begitu cemburu. Padahal seharusnya, aku yang cemburu padanya. Aneh ya, dia? Bang Rivan akhinya melepas pelukannya, lalu diusapnya rambutku penuh sayang. "Ya sudah, Abang ingin mandi dulu. Baik-baiklah dengan Fani." Aku mengangguk. Tentu saja dusta, aku tak akan berbaik hati padanya berbagi perhiasan juga harta. Dan rencanaku besok, aku mau ijin libur kerja lalu belanja-belanja seharian dan mentransfer uang dari ATM bang Rivan ke tabungan pribadiku. Daripada uang nantinya untuk menyenangkan Fani lebih baik kunikmati sajalah, terserah Bang Rivan mau berpikir bagaimana tentangku aku tak peduli. Setelah bersenang-senang besok, aku akan lapor polisi agar perhiasanku kembali. Ha ha. Aku tertawa sendiri dalam hati membayang semua itu. Belum-belum sudah membuatku begitu senang apalagi melihatnya secara langsung Rifani diseret ke kantor polisi? Pasti akan sangat menyenangkan, bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD