Aku memandang Bang Rivan yang melangkah perlahan menuju pintu keluar, dan sampai di ambang pintu kamar ia menoleh ke belakang, aku tersenyum kecil padanya, senyum sok manis seolah aku benar-benar menerima ucapannya yang menyuruhku berbaik-baik pada Rifani padahal sebenarnya istrinya ini sedang merencanakan sesuatu yang akan membuat Bang Rivan menyesal telah mempercayakan ATMnya padaku. Oh ya memang, selama ini memang Bang Rivan selalu mempercayakan ATMnya padaku.
Jadi, sejak aku berhenti kerja di perusahaan dan memilih kerja di toko yang lebih dekat dengan rumah, semua kebutuhan rumah tangga untuk makan juga membeli baju menggunakan uang Bang Rivan. Karena gajiku sebagai penjaga toko hanya sedikit, gaji pokok tiga juta lima ratus, tapi akan mendapat komisi jika berhasil menjual lebih dari target yang ditentukan oleh Pak Bos. Beberapa kali aku mendapat bonus yang lumayan, dan aku menyimpannya di ATM pribadiku karena pernah suatu hari saat aku belanja menggunakan uangku, Bang Rivan bilang agar uangku yang tak seberapa ditabung saja terserah mau digunakan untuk apa olehku, begitu katanya. Katanya juga kala itu sambil menatapku penuh sayang, uang suami adalah uang istri, sementara uang istri hanya uang istri. Kebutuhan rumah tangga tanggung jawab suami, begitu pun sandang dan panganku juga Umi ditanggung pemimpin rumah tangga yang adalah dia.
Baik dan pengertian kan, dia? Jadi, siapa yang akan menyangka ia bakal selingkuh dengan perempuan lain yang jauh lebih cantik dariku? Sebentar, ralat. Sebenarnya aku cantik, sih, kalau mau sedikit berdandan mungkin kecantikan Rifani akan lewat dengan kecantikanku, tapi aku memang tak suka berdandan. Dari dulu aku selalu apa adanya, natural. Bahkan ke toko lipstikan pun aku jarang, paling banter aku hanya pakai pelembab saja, baju pun seringnya hanya pakai kaus dan celana jins panjang dengan rambut diikat ke belakang. Begitu saja tidak ribet.
Kembali lagi pada Bang Rivan, yang sikapnya begitu baik tanpa cela, hangat perhatian begitu penyayang murah senyum, jadi bagaimana mungkin aku curiga ia bakal selingkuh? Sikapnya begitu baik sampai aku tak pernah curiga. Tiap aku bilang belanjaan habis atau bilang padanya ingin beli baju, dia akan memberikan ATMnya tanpa pernah berpesan jangan boros. Apa pun yang kubeli, dia tak akan pernah protes. Dan aku pun sebagai istri tahu diri, aku tak mungkin menghabiskan tabungan kami untuk hal-hal yang tak penting. Tapi sekarang, maaf-maaf saja ya, Bang. Besok aku, akan menghabiskan uangmu tanpa sisa. Ah sungguh tak sabar rasanya. Aku kembali tersenyum, luar biasa senang membayangkannya. Begitu pun Bang Rivan yang berdiri di ambang pintu juga tampak senang, mungkin mengira aku banyak tersenyum karena menyangka aku menerima semuanya dengan ikhlas. Amit-amit maaf-maaf saja, aku bukan perempuan bodoh yang ikhlas mendapati suami berzina lalu dengan tak tahu diri berkata ingin menikahi pasangan zinanya. Jujur aku jijik, membayangkan Bang Rivan tidur dengan perempuan itu sungguh membuatku sangat sangat sangat jijik. Jijik banget. JIJIK.
Terdengar kumandang azan dari masjid tak jauh dari rumah ini, suara azan lainnya pun susul menyusul membuat perasaan damai. Aku menyambar handuk di pintu lalu berjalan keluar kamar. Aku menghentikan langkah saat melewati kamar tamu mendengar suara Fani dan Bang Rivan.
"Mas cintanya sama aku atau dia, sih? Kayaknya Mas cinta banget sama mbak ila!" dari nada suaranya, sepertinya Fani sedang sangat marah pada Bang Rivan. Aku menggelengkan kepala dan tersenyum sendiri. Dia cemburuan banget ternyata. Aku pun kembali tersenyum, kalau begitu aku akan memanas-manasinya nanti biar dadanya seperti mau meledak. Aku tersenyum sendiri membayangkannya.
"Mas cinta sama Ila, juga sama kamu, Sayang." Kulihat Bang Rivan menyentil hidungnya, tatapannya pada Fani terlihat begitu sayang.
"Cinta Mas sama Mbak Ila dengan cinta Mas sama aku gedean mana?" tanya Rifani merajuk. Aku menggeleng-gelengkan kepala tak menyangka ia sekekanak-kanakkan itu.
"Tentu saja masih besar cinta Mas ke kamu, Sayang."
Aku mencibir.
"Tapi kelihatannya Mas sayang banget sama dia!" Ketus Fani. Tampak suamiku terlihat mencoba sabar.
"Tentu Mas sayang sama dia, karena dia istri mas juga. Selain itu, dia sedang mengandung anak Mas. Mas ingin sekali memiliki anak cowok, Sayang."
Rifani cemberut. "Emang dia aja apa yang bisa hamil? Aku juga bisa hamil, kok, dan akan kasih mas anak cowok nanti jika kita udah nikah."
"Iya Sayang, iya." Diusapnya kepala Rifani dengan gemas.
"Mas, boleh nggak aku minta sesuatu tapi kabulin, ya?"
"Apa, sayang?"
"Mas bisa gak ceraikan Mbak Ila? Jujur ngeliat Mas deket sama Mbak Ila aku cemburu banget, Mas. Hati aku sakit banget," ucap Rifani yang membuatku menganga tak percaya. Bisa-bisanya dia dengan tak tahu diri menyuruh Bang Rivan menceraikanku padahal dialah orang ketiga bukannya aku. Tapi bagus sih jika Bang Rivan mengabulkan keinginannya karena itu artinya semua aset akan jatuh ke tanganku.
Suamiku tampak menghela napas. "Mas juga mencintai Ila seperti Mas mencintaimu, Sayang. Dan kalau Mas menceraikannya, kita tidak akan memiliki apa-apa karena kami punya perjanjian siapa yang meminta cerai dia tidak berhak apa pun. Tertulis di atas kertas dan bermaterai, Sayang. Ada tanda tangan kami juga."
Bibir Rifani mengerucut. "Aku gak mau jatuh miskin."
"Makanya itu." Suamiku tersenyum. Aku juga tersenyum di ambang pintu kamar tamu yang sedikit membuka. Apa jadinya jika Rifani tahu sebelum dia dan Bang Rivan menikah, maka aset-aset akan berubah jadi namaku? Mungkin saja hatinya akan terbakar, kah? Ha ha. Aku tersenyum jahat, sungguh tak sabar melihat wajahnya saat tahu semua harta benda sudah menjadi atas namaku. Aku lagi-lagi tersenyum lalu melangkah menuju kamar mandi. Setelah mandi dan salat aku meraih kunci mobil berniat menjemput Umi, tapi baru aku mau keluar kamar, tiba-tiba bang Rivan masuk kamar.
"Aku mau menjemput Umi," kataku sebelum ia sempat berkata.
"Iya, Sayang. Nanti pulangnya jangan lupa beli gulai dan ayam bakar, ya? Rifani ingin ayam bakar, katanya."
Sumpah rasanya aku ingin mengoceh, kenapa Fani tak disuruh masak saja padahal di dapur banyak persediaan makanan. Kulkas penuh sayuran segar juga daging dan ikan, tapi saat terbersit di benakku sebuah ide yang bisa membalas sakit hatiku, maka aku pun mengangguk.
"Iya, nanti aku beli."
Bang Rivan pun mengangguk, ia dengan wajah riang mengikutiku menuju teras, membuatku jadi berpikir yang tidak-tidak karena wajahnya kelewat riang. Maka sebelum menaiki mobil yang dibeli menggunakan uang kami berdua, aku pun memandangnya.
"Jangan berani-berani berzina di rumah kita, Bang, atau aku tidak akan pernah mau dimadu!" kataku tegas yang membuat senyum di bibirnya langsung lenyap. Ia pun menggeleng.
"Tidak sayang tenang saja, abang tidak akan kembali zina. Kenapa abang ingin menikahinya, karena abang tidak ingin terus terusan zina."
"Oke, pokoknya kalau sampai berzina, aku gak akan pernah setuju dipoligami. Kamu tidak akan bisa membohongiku, Bang, karena di rumah ada CCTV. Aku menyuruh orang memasang beberapa CCTV di rumah kita yang gak akan pernah ditemukan oleh Abang."
"A-pa?!" Dia tampak syok, memandangku dengan wajah tak percaya. Aku mengangguk tegas membenarkan.
"Iya benar." Tapi sebenarnya aku dusta alias hanya omong belaka. Sengaja mengatakan ini agar ia tidak tenang.
"Selain tidak boleh zina di rumah ini, Abang juga tidak boleh pegang-pegangan tangan dengan Rifani, juga tidak boleh ke kamar Rifani dan Rifani tak boleh ke kamar kita. Setelah nikah baru boleh," kataku. Bang Rivan mengangguk setuju walau wajahnya tampak keberatan.
"Baiklah," ucapnya.
"Kalau sampai abang melanggar laranganku, maka aku gak akan pernah setuju Abang menikahinya. Kalaupun Abang menikahinya, itu bukan pernikahan sah secara hukum tapi hanya siri."
"Baiklah, baiklah, Abang tahu."
Aku tanpa membuang waktu segera masuk mobil lalu melajukannya menuju Pedati. Aku mengucap salam begitu sampai di rumah mertuaku dan umi pun langsung berlari menyongsong kedatanganku.
"Bundaaa." Umi memelukku. Aku tersenyum kecil padanya dan mengusap kepalanya.
"Nenek mana?" tanyaku.
"Ada di dapur, Bun, sedang masak."
Aku pun menuju dapur dan benar saja ibu mertuaku sedang masak. Ia tampak membolak-balik sesuatu di penggorengan. Saat aku berkata, ibu, maka perempuan bertubuh tambun itu menoleh.
"Dari tadi ibu tungguin baru muncul," katanya.
Aku menatap penggorengan di mana perkedel yang digorengnya hampir berubah keemasan.
"Iya Bu, tadi terjebak hujan di jalan," sahutku tak enak hati karena tahu dia sangat sibuk. Kesehariannya setiap hari adalah membuat keripik singkong untuk kemudian dikemas lalu dititipkan di warung-warung. Bapak mertuaku tukang ojek, hidup ibu dan bapak sangat sederhana. Walau begitu, mereka selalu menolak tiap diberi uang olehku juga Bang Rivan. Katanya selalu, tabung saja untuk masa depan Umi. Kadang, aku sampai memaksa-maksa memberi ibu uang. Jika sedang sangat butuh uang, ibu mau menerimanya tapi selalu mengembalikannya beberapa hari kemudian. Begitulah ibu dan bapak mertua. Aku sangat menyayanginya bahkan menganggapnya seperti orang tua sendiri. Aku sudah tak punya orang tua. Ibuku meninggal saat aku masih SMA, sementara ayah belum lama ini dua tahunan. Karena ibu dan bapak mertua selalu memperlakukanku dengan sangat baik, maka aku pun sangat menyayanginya.
"Ibu, aku mau langsung pulang," kataku.
"Makan dulu, La, ibu nyambal jengkol kesukaanmu."
"Aku buru-buru, Bu. Bang Rivan nungguin aku." Aku memandang ibu. Apa kira-kira ibu sudah tahu bahwa anaknya menyelingkuhiku? Tapi dari sikapnya padaku, sepertinya ia belum tahu apa-apa. Lebih baik aku tak memberitahunya sekarang. Nanti saja memberitahunya setelah semua aset berpindah padaku.
"Selalu begitu kalau disuruh makan tempat ibu. Makan dulu baru pulang," katanya memaksa. Ia mengambil piring, mengisinya dengan nasi, sambal jengkol serta perkedel lalu memberikannya padaku. Mau tak mau aku pun makan.
"Ya sudah Bu, aku pulang dulu." Pamitku begitu selesai makan. Aku mencuci piring bekas makan di wastafel lalu meletakkannya di lemari piring. Ibu mengangguk.
"Hati-hati di jalan," katanya. Aku menuntun Fani lalu mengangguk. Aku ke pasar Kam untuk membeli pesanan Bang Rivan sekaligus membeli obat pencahar di apotik dan pulang. Segera kutata ayam bakar ke piring, memberi obat pencahar di minuman juga makanan Rifani lalu meletakkan semuanya ke meja.
"Ayo, makan." Ajakku pada Fani yang tengah duduk menonton televisi berdekatan dengan Bang Rivan. Keduanya mengangguk lalu membuntutiku menuju ruang makan di mana Umi tengah duduk di kursi. Aku membeli dua ayam bakar satu untuk Umi satunya untuk Rifani. Bang Rivan juga Rifani duduk di kursi, Bang Rivan langsung menyendok gulai ke piringnya begitu pun aku, yang ikut makan walau sudah makan di tempat ibu karena ingin membuat Rifani panas dengan tingkahku pada Bang Rivan.
Umi makan sambil sesekali menatap Rifani, maka aku pun berkata,
"Dia Tante Fani yang sebentar lagi akan jadi mama kamu."
Uhuk uhuk! Suamiku langsung tersedak, aku pun mengusap-usap bahunya pelan untuk membuat Rifani panas dibakar cemburu.
"Kamu makannya hati-hati dong, Sayang," kataku.
"Ila, jangan dulu bilang ke Umi kalau ...." Bang Rivan memandangku, lalu melanjutkan ucapannya dengan gerak bibir. "Nanti Umi bisa cerita pada ibu dan bapak," ucapnya terlihat cemas. Tapi itu justru membuatku senang. Jadi, bapak dan ibu belum tahu rencananya menikah lagi? Apa dia takut ibu dan bapak marah?
Bapak mertuaku bukan kyai. Tapi salat lima waktu tak pernah ditinggalkannya. Bapak juga sering menjadi imam di mushala dekat rumahnya. Apa yang akan terjadi ya seandainya bapak tahu bang Rivan pernah berzina? Aku tersenyum sendiri membayangkan betapa murkanya bapak. Aku memutuskan memberitahu bapak dan ibu nanti saja setelah semua aset pindah atas namaku. Sekarang, nikmati saja dulu melihat Rifani tampak cemburu.
"Dia Tante Fani teman ayah," ucap suamiku pada Umi, sementara Rifani langsung menatap bang Rivan tampak begitu keberatan karena dia dikenalkan sebagai teman.
"Iya temannya ayah," timpalku. Umi mengangguk.
"Tambah lagi gulainya, Bang?" tanyaku, bang Rivan mengangguk, aku pun menambahkan gulai ke piringnya. Rifani menghela napas, bang Rivan langsung memandangnya yang terlihat bete.
Aku meraih tisu di meja lalu mengusapkannya pelan ke sudut bibir suamiku. "Ya ampun Bang, kamu makan belepotan sekali seperti anak kecil," kataku.
Rifani terlihat semakin bete saja. Ia sesekali memandang Bang Rivan yang balas menatapnya tak enak hati. Aku tersenyum pada suamiku seolah tak melihat sikap Rifani juga Bang Rivan yang terlihat tak nyaman.
"Bang, apa kamu masih menyayangiku?" tanyaku tiba-tiba.
Suamiku menatap Rifani lalu mengangguk padaku. "Iya, masih."
"Kalau begitu nanti pijetin aku ya? Tubuhku lelah banget seharian kerja, perutku juga gak enak banget," kataku.
"Iya." Bang Rivan menjawab sekilas saja pasti karena tak enak pada Rifani yang seperti kebakaran jenggot. Sumpah aku senang melihatnya, semakin senang saja saat ia membenarkan posisi duduknya hingga berkali-kali. Mungkinkah pencaharnya mulai bereaksi? Sepertinya begitu.
"Tenang aja nanti setelah mijetin aku, aku kasih abang jatah. Malam jum'at, ini." Aku tersenyum malu-malu.
Uhuk uhuk! Rifani tersedak-sedak sampai wajahnya memerah. Bang Rivan meraih gelas hendak mengulurkan ke arahnya, tapi aku dengan cepat mengambil gelas di tangan suamiku.
"Duuh, hausnya. Bawaan bayi pengennya minum mulu, nih." kataku. Bang Rivan menatap Rivani yang mengambil minumnya sendiri. Bang Rivan langsung menoleh menatapku saat aku berdeham kecil.
"Memang kamu sudah tak mual lagi, La?"
Aku menggeleng. Baru sadar seharian ini aku tak mual sama sekali padahal aroma gulai begitu menyengat. Mungkin karena sudah hampir 4 bulan.
Aku kembali menggeleng. "Udah gak mual, Bang. Jadi mulai sekarang si utun bisa sering-sering ditengok, nii." Aku mengedip menggoda.
Uhuk! Uhuk! Rifani tersedak-sedak. Bang Rivan langsung menatapnya dan aku segera menyentuh pipi bang Rivan, memaksanya untuk memperhatikanku.
"Abang gak seneng bisa sering tengok?"
"Senang," sahutnya. Lalu Bang Rivan tersenyum terlihat senang. Aku juga tersenyum, senyum palsu. Huh, enak saja. Siapa juga yang mau melayaninya? Sory lah, yaaa. Aku bicara begini itu hanya untuk membuat Rifani panas saja. Lihatlah wajahnya sekarang, tampak memerah terlihat jengkel juga cemburu. Aku melayani bang Rivan? Oh noo karena dia sudah zina.
Rifani tiba-tiba meringis. "Aku ke toilet dulu ya, Bang, enggak tahan, nih."
Bang Rivan mengangguk, sementara aku tersenyum puas. Silakan malam ini nikmatilah bolak-balik ke kamar mandi. Besok, aku punya rencana yang lebih manis lagi, yaitu melaporkanmu ke polisi. Ha ha. Betapa senangnya aku membayangkan ia diseret ke kantor polisi.