Saat aku hendak menaiki motor dengan Umi di boncengan, Bang Rivan berseru lantang di ambang pintu.
"Setidaknya kalau mau pergi, siapkan baju Abang dulu!" Teriaknya keras. Tanpa menghiraukannya, aku melajukan motor.
"Bunda, ayah panggil bunda," ucap Umi. Dari spion, aku melihat Umi menoleh ke belakang.
"Biarkan saja," jawabku tanpa menoleh.
"Bunda lagi marahan ya sama ayah?" tanyanya. Aku menghela napas. Tentu saja aku tak mungkin menceritakan padanya kelakuan binatang ayahnya.
"Bunda, kata Bu Guru, marahan itu dosa, lho."
Umi tentu saja tak tahu apa-apa, dia masih anak-anak. Maka aku pun mengangguk.
"Iya, Sayang, nanti ayah sama bunda baikan."
Aku melewati sekolah Umi lalu parkir di seberang sekolah dekat dengan tenda yang menjual soto juga nasi uduk. Aku duduk di kursi panjang lalu memesan dua soto. Umi duduk di sampingku, tak sabar segera makan saat soto diantarkan.
Tin tin!
Terdengar bunyi klakson mobil. Aku menoleh dan ternyata itu mobil bang Rivan yang perlahan berhenti. Aku pun kembali makan pura-pura tak melihat.
Ting!
Terdengar notif WA bersumber dari HP-ku. Aku mengeluarkannya dari tas tangan dan membuka pesan. Dari bang Rivan ternyata.
Ila, Abang belum sarapan karena kamu tidak membuat sarapan. Belikan nasi uduk sekarang dan antar ke sini. Kamu tahu sendiri kan kalau sampai telat makan asam lambung Abang bisa kambuh?
Aku menatap ke arah mobil, tampak Bang Rivan melongok ke luar jendela. Karena malu dilihati oleh beberapa ibu dari teman anakku, aku pun segera membelikan yang diinginkannya lalu menuju ke arahnya, menyerahkannya dengan ketus.
"Kamu ini kenapa sih marah tanpa sebab yang jelas?"
Aku menganga tak percaya. Marah tanpa sebab, katanya? Jelas-jelas dia cerita padaku telah berzina bisa-bisanya bilang marah tanpa sebab. Dan lagi, dia juga ijin poligami, jadi aku tak mau lagi bersikap baik padanya yang hanya akan menyakiti diri sendiri.
Tanpa menjawab ucapannya, aku kembali menyeberang jalan, menghabiskan makanan sambil sebentar-sebentar tersenyum pada ibunya anak temanku yang juga mengantar anaknya ke sekolah. Sesekali terdengar anakku berbincang dengan temannya.
"Duluan, ya?" kataku setelah membayar, yang mereka tanggapi dengan anggukan dan senyum ramah. Aku pun menaiki motor, setelah menurunkan Umi di depan sekolahnya aku pun menuju pasar Kam, membuka toko sebelum si bos datang yang biasanya hanya mengecek baju model apa yang habis.
Aku bekerja di toko pakaian yang ada di pasar Kam Jakarta Timur, bersama sahabatku Rini. Tadinya aku sekantor dengan Bang Rivan, tapi dia menyuruhku berhenti kerja karena malu pada teman-teman karena jabatan di kantor lebih tinggi aku timbang dia. Karena tak ingin suamiku minder dan dipandang rendah oleh rekan-rekan kerja karena lebih tinggi jabatan istrinya, akhirnya aku pun mengundurkan diri. Aku orang yang gampang bosan jika hanya di rumah saja, makanya Bang Rivan pun mengijinkan aku kerja dengan sarat tidak sekantor dengannya, juga bisa mengurus Umi juga membersihkan rumah. Aku tak keberatan karena aku selain terbiasa mandiri dari dulu, juga hobi memasak. Aku juga menyukai kebersihan seperti Bang Rivan.
Saat jam sekolah berakhir, ibu mertuaku menelepon, seperti biasa ia mengabarkan bahwa ia telah menjemput Umi. Biasanya sepulang kerja jam 5 sore, aku akan menjemput Umi yang biasanya sudah mandi di rumah mertua.
Ting. Sebuah pesan masuk dari sahabat dekatku, Rini. Dua hari ini ia ijin tak kerja karena mau menemani ibunya yang baru datang dari kampung jalan-jalan keliling Jakarta.
Mataku membulat saat melihat pesan Rini, yaitu foto Bang Rivan yang tengah jalan berpegangan tangan dengan seorang perempuan, sepertinya foto diambil dari belakang hingga aku tak bisa mengenali wajah perempuan itu.
Aku ngeliat lakimu sama cewek lain baru aja di Jatinegara
Aku pun membalas, Iya
Pesan kembali masuk. Kamu gak curiga sama lakimu, La? Dia sama cewek, lho
Aku udah tau perselingkuhan suamiku, Rin. Dia bahkan mau nikah lagi
What? Rini mengirim emoticon terkejut.
Dan kamu diem aja gitu? Aku kan pernah bilang sama kamu dulu kalau aku kayak liat lakimu ma cewek, tapi kamu gak tanggepin ucapanku
Dua bulan lalu, Rini memang pernah bilang padaku seperti melihat bang Rivan jalan dengan cewek. Tapi tentu saja aku tak percaya, apalagi dia bilangnya seperti melihat. Rini menasehati agar aku harus hati-hati karena banyak pelakor mengintai lelaki mapan, tapi aku hanya menganggap ucapannya angin lalu mengingat sikap Bang Rivan selalu hangat juga perhatian.
Jangan jadi lemah, La, kamu harus labrak pelakor itu. Pesan dari Rini kembali masuk.
Tentu saja. Balasku.
Lalu aku melihat ulang foto yang dikirim Rini. Saat melihat sesuatu yang familier, aku pun mengzoom pada bagian tangan perempuan itu, seketika mataku melebar kaget dan jantungku berdetak sangat kencang. Aku mengepalkan tangan kuat menahan keinginan agar tak mengumpat juga menangis. Yang perempuan itu pakai adalah gelang milikku hadiah ulang tahun dari almarhum ayah. Bisa-bisanya Bang Rivan memberikan gelangku pada perempuan itu. Aku tidak bisa tinggal diam. Dadaku berdebar keras aku rasanya ingin meledak juga mengumpat. Aku pun mengetik pesan lalu mengirimkannya ke nomer WA suamiku.
Jangan lupa kamu bawa selingkuhanmu itu, Bang. Dia akan tinggal di rumah kita satu bulan sebelum kamu menikahinya
Terkirim. Dia membalas, y
Begitu singkatnya membuat hatiku seperti diremas. Aku pun segera menutup toko, lalu menaiki motor, tapi tiba-tiba hujan jatuh mengguyur deras. Apa boleh buat, aku pun kembali membuka toko dan masuk. Aku membuka WA melihat balasan bang Rivan tadi, tanpa sadar aku menscrol ke atas pada pesan dahulu, tampak percakapan pesanku dan Bang Rivan yang begitu romantis. Kami selalu romantis selama ini hingga aku terus berpikir bahwa hubungan kami baik-baik saja. Mengenang kebersamaan kami selama ini yang begitu hangat membuat semua teman-temanku iri, tanpa sadar aku terisak, lalu cepat-sepat menghapus air mata saat bosku, Pak Adam turun dari mobilnya dengan tergesa lalu setengah berlari menuju kemari.
"Kamu belum pulang?" tanyanya memperhatikanku. Aku kembali mengusap air mata dan memaksa seulas senyum.
"Tadi baru aja mau pulang eh keburu hujan, Pak," sahutku. Pak Adam, dia berperawakan tinggi tegap dengan rambut cepak, kulitnya putih bersih dan tampak begitu maskulin, saat ia tersenyum, akan tampak cekungan mungil di pipinya yang membuatnya begitu menawan. Sayang, ia hampir tak pernah tersenyum lagi sejak bercerai dengan istrinya setahunan lalu. Aku menatapnya canggung lalu memperhatikan ke arah lain berharap hujan segera reda, tapi tak juga reda. Benar-benar tak nyaman. Di luar, langit semakin menggelap, rinai-rinai hujan terus saja berjatuhan menimbulkan bunyi bergemericik di teras toko.
"Bapak tumben sore-sore ke sini? Biasanya siang membawa barang," kataku, canggung.
"Iya tadi siang saya sibuk jadi baru datang sekarang." Dia juga terlihat canggung.
"Oh, begitu?"
"Iya," sahutnya. Aku kembali mengusap air mata yang tersisa. Ah, malunya, ketahuan menangis.
Lamat-lamat terdengar kumandang azan magrib, sungguh tak nyaman. Lebih baik nekat saja daripada terjebak di sini, berada dalam satu toko dengan Pak Adam tanpa keramain di sekitar. Kalau siang kan ramai banyak pembeli, sekarang ... aku benar-benar canggung.
"Pak, aku permisi pulang dulu." Pamitku. Di luar, hujan terus mengguyur deras. Pak Adam yang tengah mengecek baju-baju menatapku, lalu menatap keluar.
"Masih deras, La."
"Iya, tapi takutnya anakku nyariin. He he." Aku tersenyum tak nyaman.
Pak Adam tampak menimbang-nimbang, lalu ia berjalan ke teras. "Baiklah, ayo saya antar. Nanti motor kamu saya masukkan ke dalam toko."
"Tapi, Pak." Aku ragu, masa aku diantar Pak Bos?
"Tidak papa, ayo." Lalu ia meraih payung dan menatapku dengan matanya yang tajam itu, apa boleh buat aku akhirnya melangkah ke sampingnya agar tak terkena hujan. Lalu di bawah payung yang sama dengannya kami menuju mobil. Aku masuk lebih dulu dan Pak Adam menyusul kemudian.
Hening sepanjang jalan, hingga akhirnya mobil berhenti di depan rumahku. Aku mengucap terima kasih lalu berlari kecil menuju rumah di mana suamiku sudah menunggu di ambang pintu, dia berkacak pinggang menatapku dengan wajah geram.
"Kamu diantar siapa tadi? Jangan-jangan kamu selingkuh, ya?!" tanyanya dengan tatapan penuh selidik. Belum sempat aku membalas ucapannya, terdengar suara seorang perempuan dari arah kamar tamu.
"Apa istrimu sudah pulang, Mas?" Lalu pintu kamar tamu terbuka dan seorang perempuan melangkah keluar dengan elegan. Mataku langsung membulat lebar saat melihat wajahnya, aku syok. Aku sangat mengenalinya sebagai mantan istri Pak Adam. Aku pernah melihatnya sekali saat Pak Adam membawanya ke toko tapi sepertinya perempuan itu tak mengenaliku. Yang membuat amarahku memuncak ingin mencakar wajahnya yang cantik itu, ia tak hanya memakai gelang emasku pemberian almarhum ayah tapi kalung yang dipakainya juga adalah milikku. Tanganku mengepal kuat, aku harus memberinya pelajaran! Harus! Sekarang juga!