Vivian

1315 Words
Aku menjatuhkan tubuhku diatas kasur, menikmati sensasi lembutnya. Arghh! Nyaman sekali. Sesekali aku menggerak-gerakan tanganku guna meregangkan otot-otot. Bayangan Vian bersama Gina tadi, terus mengelilingi kepalaku. Mereka benar-benar tidak memiliki perasaan! Tapi ucapan Pak Rangga lebih mengganggu pikiranku. Gila, gila, gila! Mau ditaruh dimana wajahku jika aku benar-benar mengatakan apa yang aku inginkan padanya. “Bapak Rangga yang tampan, aku ingin makan mangga muda.” Seruku dengan nada manja, sambil membayangkan aku benar-benar melakukan hal gila itu. “Aaaaaa” Geli sumpah! Aku meleparkan menutup wajahku dengan bantal, memejamkan mata dalam-dalam. Kesendirian seketika menyeruak di sekelilingku, aku melupakan sesuatu. Beranjak kemudian mengelilingi seluruh ruangan. Dia tidak ada. Aku kembali ke kamar dan tidak menemukan Vian ditempat ini. Ah masa bodo, aku sudah tidak peduli. Aku hanya perlu rajin belajar agar lulus dengan nilai terbaik dan melahirkan anakku dengan baik. Setelah itu bercerai dengan Vian dan melanjutkan hidupku dengan damai dan nyaman. Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu sambil bersahut. “Assalamualaikum! Kakak?” “Kakak!” Ucapnya lagi. Aku beranjak, keluar kamar dan menghampiri orang itu. “Maaf, kamu siapa?” Tanyanya, belum sempat aku membuka pintu. Gadis ini sudah masuk. Wajahnya cantik, tubuhnya juga tinggi. Sepertinya kita sebaya, namun dia terlihat lebih dewasa dariku, penampilan dan tutur bahasanya juga sangat sopan. Aku terdiam, bingung mau menjawab apa. Teman Vian? Tidak mungkin aku mengatakan teman sedang aku baru saja keluar dari kamarnya, kan. Istri? Istri apa Nadia, ingat! Pernikahan kalian terjadi hanya karena bayi. Tidak ada yang tahu pernikahan ini selain keluargaku dan keluarganya. Tapi, sebenarnya siapa gadis ini? Kenapa dia tahu sandi pintu apartemen Vian. Aku menatapnya lekat, dia tersenyum padaku. Sangat manis. “Oh iya aku baru ingat, kau istri kak Vian ya.” Ucapnya kemudian memelukku dengan erat. “Perkenalkan namaku Vivi, adik kak Vian.” “Adik?” Aku berfikir keras, Vian tidak pernah mengatakan dia memiliki adik perempuan yang cantik seperti ini. “Siapa namamu, kakak ipar?” Tanyanya ramah. “Hm aku?” Tanyaku ragu, keterangan dia adiknya Vian masih terngiang. Dia mengangguk sambil tersenyum ramah. “Nadia.” Jawabku. “Maafkan aku ya kakak ipar, aku tidak datang di pernikahan kalian.” Aku tersenyum menanggapi, tidak apa. Lagipula pernikahan itu hanya terjadi sesaat. “Oiya, mana keponakanku? Apa dia sehat? Berapa usia kandungannya?” Tanyanya beruntun. Hatiku melembut mendengar pertanyaannya, ternyata masih ada orang yang peduli padaku setelah kesalahan besarku. “Baru tiga minggu.” Jawabku lirih, air mataku bahkan sudah mengembang di pelupuk mata. Membahas perihal bayi ini selalu saja membuatku sedih, aku selalu diliput rasa bersalah. “Hey kenapa menangis? Tidak apa, bukankah setiap orang memang mempunyai kesalahan.” Jawabnya kembali memelukku. Hatiku tenang mendapat perlakuan demikian, Vivi gadis cantik dan baik. Sangat berbeda dengan Vian yang kasar dan tidak memperdulikanku. “Sudah, sudah. Oh iya apa kakak ipar sudah makan?” Aku menggeleng, aku memang belum makan siang bahkan aku melupakan sarapanku tadi. “Oke, ayo kita makan bareng. Aku bawakan makanan untuk kakak ini.” “Terima kasih.” Kami berdua makan bersama di Apartemen Vian, mengobrol dan bersenda gurau hingga sore menjelang. Vivi gadis yang ceria dan baik, dia bercerita jika dia dan Vian ternyata saudara kembar. Vivi kuliah di tempat yang berbeda dengan Vian. Vivi menginginkan tempat belajar yang berbeda karena mereka masih kerap bertengkar meski sudah dewasa. Awalnya orang tua mereka menolak, namun Vivi mengancam akan kabur jika tidak mengabulkan permintaannya hingga akhirnya orang tua mereka setuju dengan permintaan Vivi. Tak hanya itu juga, Vivi juga ternyata seorang penulis n****+ yang pantas di acungi jempol, banyak karyanya yang sudah masuk gramedia terkenal di kota. Vivi juga memilik jutaan pembaca di media onlinenya. Kehidupan mereka sangat bertolak belakang, jika Vian menggunakan semua harta orang tuanya untuk bersenang-senang. Berbeda dengan Vivi yang hidup mandiri dan memanfaatkan penghasilan menulisnya untuk memenuhi kebutuhannya. Vivi beralasan pada orang tuanya untuk tinggal sendiri di Apartemen, namun sebenarnya Vivi hanya tinggal di kontrakan kecil. Vivi mengaku nyaman dengan hal itu, karena itu dia dapat menemukan teman yang menerima dia apa adanya. Tak hanya itu, kehadiran ibu tirinya itu membuat Vivi tak begitu nyaman tinggal dirumah. Cerita Vivi sedikit membuat hatiku tersentuh, dimana orang mengejar kekayaan agar bisa hidup enak, gadis ini malah meninggalkan kenikmatan itu untuk mendapatkan orang-orang tulus. Vivi juga bercerita jika dia menyukai pria tampan yang sudah berumur. Aku sedikit terkejut, bagaimana bisa gadis cantik sepertinya menyukai pria dewasa. Bukankah gadis seusianya mendambakan pria tampan yang masih muda. Entahlah. “Oh iya, Kak. Kak Vian dimana? Bukankah kampusnya hanya sampai siang?” “Hm anu itu….” Aku mesti jawab apa. Tidak mungkin kan aku menceritakan kejadian tadi. Brak! Aku terkejut, sontak menoleh kearah pintu. Vian datang tiba-tiba dengan keadaan mabuk. Sedang Gina membantu Vian yang sempoyongan, aku menatap kemarahan Vivi lewat raut wajahnya. “Vian kamu kenapa?” Tanyaku khawatir, tanganku berjalan sendiri ingin membantunya, namun tak sempat aku meraihnya. Vian menolak. “Minggir!” Sentak Vian, mendorong tubuhku hingga aku terbentur ujung meja makan dan terjatuh. “Auww!” Perutku sangat sakit setelah terbentur ujung meja tadi. Sepertinya melebihi ingin melahirkan. Eh? Seperti sudah melahirkan saja. Argh tapi ini memang sangat sakit sekali. “Kakak! Kamu keterlaluan!” Teriak Vivi kemudian menarik Gina yang sedari tadi menempel pada Vian. “Auw.” Rintih Gina ketika tubuhnya terhempas dengan kasar oleh Vivi. Plak! Vian menampar adiknya sendiri, aku menutup mulutku sambil menahan sakit. Vian sampai berani menampar adiknya sendiri? Vivi menatap tajam kepergian Vian dan Gina yang masuk kedalam kamar. kemudian berlari, membantuku untuk berdiri. Aku menangis melihat darah mengalir di kakiku. “Vi, bayiku….” “Sabar ya kak, ayo aku bantu kakak ke rumah sakit.” Ujarnya panik. --- Aku kembali tenang mendapati kabar jika bayiku baik-baik saja. “Bayi anda baik-baik saja, jika telat sedikit saja mungkin nyawanya tidak bisa di selamatkan.” Tutur pria berbaju serba putih itu ramah. Sesaat, matanya menatap jas almamater dan sepatu yang masih menempel di tubuhku. Kemudian menatap tubuhku tanpa jeda. “Alhamdulillah, terima kasih banyak Dok!” Ujar Vivi cepat-cepat kemudian menghalangi pandangan Dokter itu kepadaku dan mendorongnya untuk segera pergi. Ya ampun Vi, kau baik sekai. Jika dalam film adik ipar selalu jadi alasan terjadinya pertengkaran rumah tangga, berbeda denganku. Aku sangat bahagia dengan kehadiran Vivi. “Baik, saya permisi. Jangan lupa istirahat nona Nadia.” Tuturnya dengan wajah sedikit masam menatap Vivi. “Yaya pergilah.” Berbalik setelah memastikan dokter itu benar-benar pergi. “Kakak, apa kakak baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja. Terima kasih.” Jawabku tulus. “Ish kak Vian keterlaluan, bisa-bisanya mendorong kakak seperti itu dan membawa perempuan lain ke kamar kalian.” Vivi ngedumel sambil menggerak-gerakan jarinya di atas ponsel. “Apa yang akan kau lakukan?” “Melaporkan dia pada ayah.” “Vi, jangan.” Aku menahan tangannya. “Tidak kak! Kak Vian sudah kelewat batas. Bukankah seharusnya dia membahagiakan kakak setelah dia membuat kakak hamil?” Deg, ucapan Vivi mengenai hatiku. Tapi Vi, ini bukanlah sepenuhnya salah Vian karena aku juga dengan rela melakukan hal itu dengan Vian kala itu. Aku hanya bisa menggeleng. Namun gadis berambut indah itu tak menggubris. “Hallo ayah.” “Ya, sayang? Ada yang kau butuhkan dari harta ayahmu ini.” Terdengar suara ayah Vian dari sebrang membuat aku semakin menggeleng. Vivi tersenyum padaku seolah berkata. Tidak apa-apa kak. “Aku ingin bicara dengan ayah.” “Baik, datanglah. Ayah akan menyambut putri kesayangan ayah yang akan keluar dari persembunyiannya.” Terdengar gelak tawa dari sana dan tak lama Vivi menutup sambungannya tanpa menggubris ucapan ayahnya. “Sehat-sehat ya sayang.” Tuturnya lembut, mengelus perutku kemudian melenggang pergi setelah mengecup tanganku. “Aku pergi dulu kak.” “Hati-hati Vi.” Tuturku khawatir. Aku sangat khawatir ayah Vian akan marah kepada Vivi karena telah lancang ikut campur dan beranggapan aku mengadu pada adiknya. “Tenanglah, aku terbiasa hidup mandiri kak.” Tuturnya lembut di iringi senyum yang damai. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD