Di keluarkan

1091 Words
Pak Rangga! Pantas saja semua langsung diam. Pria itu memang selalu sukses membuat semua orang langsung bungkam hanya dengan kehadirannya. Pria itu sudah berdiri di belakang Vian dan Gina yang belum menyadari kehadirannya. Berdiri tenang dengan tangan yang bersilang di d**a. Penampilannya yang selalu perfect membuat para siswi berbisik-bisik mengaguminya, aku bisa mendengar jelas hal itu. Aku menatapnya, ketenangannya membuat mataku damai melihatnya. Namun aku bisa melihat jelas kemarahannya lewat rahang kokohnya yang tampan namun menakutkan itu. Menyadari suasa yang tiba-tiba hening, Vian dan Gina berbalik, Gina terlihat panik berbeda dengan Vian yang terlihat santai. “Ba-bapak….” Ujar Gina terbata. “Saya tidak mentolelir mahasiswa tidak berpendidikan seperti kalian!” Pak Rangga berbicara santai namun penuh penekanan. Sorot matanya tajam, aku masih menyaksikan hal itu sejak tadi. Tunggu-tunggu, Pak Rangga juga memerhatikan cincin itu. Argh sial! Aku menyedihkan sekali di hadapannya. Tap, pandangan kami bertemu. Pak Rangga menatapku, aku menunduk malu. Aku tidak tahu jika pengawas ujian kali ini adalah Pak Rangga. Hm kenapa aku harus bertemu dengannya lagi setelah kejadian semalam? Memalukan sekali! Aku tau apa yang dia pikirkan, dia pasti kasihan dan iba padaku. Setelah aku menolaknya semalam, aku malah di perlakukan seperti ini oleh Vian. Haha, aku memang wanita paling sial Pak. Masih tidak ada jawaban dari mereka berdua. “Keluar!” Sentaknya membuat semua orang langsung bersitegang. “Saya katakana kalian di keluarkan dari kampus ini!” Sentaknya lagi membuat suasana semakin mencekam. Gina terlihat kelimpungan, kemudian memberanikan diri menghampiri Pak Rangga dan hendak meraih tangannya namun tak sampai, karena Pak Rangga langsung mengangkat tangannya. “Pak kumohon jangan keluarkan saya pak.” Ujar Gina memohon, semua hanya diam menyaksikan tanpa ada yang berani mengeluarkan suara. “Apa hak anda mengeluarkan kami?” Ujar Vian tiba-tiba, semua orang menoleh ke arahnya. Pria itu biasanya tak pernah berurusan dengan dosen satu ini. Kenapa dia tiba-tiba meladeninya? Begitu mungkin pikir semua mahasiswa lain. Sudut bibir pak Rangga terangkat, membuatnya semakin terlihat tampan. Namun, tak lama kemudian dua orang berbaju serba hitam masuk menyeret Vian dan Gina dengan paksa. “Lepas!” Hardik Vian kepada dua orang tersebut. “Tidak ada hak sedikitpun anda mengeluarkan saya Bapak Rangga Prasetya!” Ujar Vian dengan tegas. Pak Rangga tetap tenang, tersenyum tipis menatap Vian. “Bawa mereka.” Tuturnya tegas tanpa memperdulikan ucapan Vian. Kedua pria serba hitam itu kemudian membawa paksa Vian dan Gina yang masih berteriak meminta di lepaskan. Semua orang semakin tertunduk diam, apa yang dilakukan Pak Rangga kali ini sedikit membuat semua mahasiswa takut dan bertanya-tanya siapa dia sebenarnya. Aku masih tertunduk, menatapnya hanya membuatku semakin malu. “Tidak ada yang diijinkan memiliki hubungan serius di kampus ini, kecuali yang sudah menikah. Saya tidak akan segan mengeluarkan kalian jika terjadi hal diluar batas wajar nanti!” Hamil duluan! Ya, itukan maksudmu pak? Aku mahasiswa yang kau maksud kan? Aku memang memalukan. Ujian dimulai ketika Pak Rangga membagikan lembar soal dan lembar jawaban kepada para mahasiswa. Tidak ada yang berani mengobrol bahkan menoleh meski hanya sekedar meminjam pensil atau penghapus. Bahkan aku masih tertunduk ketika Pak Rangga sudah tepat di depan mejaku. Satu detik Dua detik sampai Lima detik Kuhitung sepatu hitam mengkilat itu masih berdiri di tempatnya bahkan kertas soal yang aku harapkan juga belum juga muncul di meja. Aku memberanikan diri mendongkak. Pak Rangga menatapku tanpa kertas di tangannya. Mataku memutar siswa lain yang sudah mengerjakan soalnya sambil tertunduk. Sial! Aku pasti tidak kebagian soal karena aku duduk paling pojok. Biasanya aku duduk paling depan, namun karena kejadian kemarin membuatku sengaja duduk di pojok, aku ingin mengasingkan diri, dan sialnya aku malah tidak kebagian soal. “Nadia!” “Eh iya pa.” Aku berdiri dan tak sengaja kakiku menabrak meja hingga membuat alat-alat ujianku jatuh berantakan. Mahasiswa lain sedikit tertawa kemudian kembali tertunduk ketika Pak Rangga menatap mereka. “Ambilkan soal dan ljk hari ini di meja saya.” Ucapnya tegas kemudian melenggang pergi. Hah? Aku menatap teman-temanku yang mulai mendongkak dan menyuruhku mengambilkan apa yang di maunya. Aku berjalan menuju ruangan Pak Rangga, mendorong pintu dan mengedarkan pandangan. Tubuhku kembali membeku, pria itu sudah duduk di tempatnya. Haih pa, untuk apa kau menyuruhku mengambilkan soal dan ljk itu jika kau sendiri ada disini. Aku menatap kertas soal dan ljk itu tepat di depan Pak Rangga yang menatapku dingin. “Masuk!” Takut-takut aku melangkah masuk ketika mata tajamnya terus menatapku. “Saya ijin mengambil soalnya pa.” Ucapku sopan. Tidak ada jawaban, Pak Rangga hanya menatapku. Aku menatap perutku mengikuti arah pandangnya. Ya, aku memang siswa tak berpendidikan. Tapi tunggu, apa Pak Rangga juga akan mengeluarkanku seperti Vian dan Gina setelah tahu jika aku hamil dan bahkan menolaknya semalam? Tubuhku gemetar, tanganku meremas ujung baju. Aku tidak mau mengecewakan ayah dan ibu lagi dengan dikeluarkannya dari kampus ini. “Berapa usia kandunganmu?” Deg. Aku semakin membeku, cukup! Pertanyaan mu semakin memperjelas jika aku mahasiswa yang tidak berpendidikan pak. Mana ada seorang dosen bertanya perihal kandungan kepada mahasiswinya. Apalagi kandungan itu terjadi di luar pernikahan. Arghh! Aku bisa langsung di depak dari kampus ini jika Rektor dan dosen lain tahu. “Tiga minggu pak.” Jawabku terbata. Sudahlah, aku memang sudah memalukan dia bukan? “Katakan saja jika kau menginginkan sesuatu.” Hah? Jika ngidam maksudmu pak? Apa aku tidak salah dengar? Bapak! aku mahasiswi yang sangat memalukan. Tidak sepantasnya anda berucap demikian. “Apa kau mengerti?!” Suara bariton khas Rangga kembali keluar. “I-iya pa.” Jawabku takut. Ish, kau ini meminta atau memerintah. “Ambil dan kembalilah!” Ucapnya kemudian beranjak, melangkah menghadap kaca tepatnya membelakangiku. Aku masih diam, aku ingin bertanya atas dasar apa Pak Rangga melakukan demikian, namun nyaliku tak sampai dan hanya menatap punggungnya yang lebar. “Saya katakan keluar Nadia!” Suara Pak Rangga kembali mengejutkanku. “Ah iya pak.” Cepat-cepat aku meraih kertas itu. Kertasnya hanya tinggal satu. Sial! Sepertinya pak Rangga memang sengaja meninggalkannya disini. “Terima kasih Pak.” Ucapku lirih, menatap punggungnya yang lebar. Ingin sekali aku memeluk punggung baik itu dan mengatakan terima kasih. Namun aku tak berani, Pak Rangga yang ada di kampus sangat berbeda dengan Rangga yang biasa menolongku. Sangat lembut dan ramah, tidak keras dan tegas seperti ini. Namun aku masih meyakini dia adalah Pak Rangga yang sama yang menolongku, buktinya dia masih bersimpatik dengan kehamilanku. Aku takut, namun hatiku menginginkan aku untuk tetap tetap tinggal. Tidak ada jawaban, tidak ada yang mengharuskanku untuk tetap berdiri disini. Aku kemudian melenggang pergi meninggalkan Pak Rangga yang masih menatap luar dengan tangan yang ia simpan di kedua saku celananya. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD