Karin

1140 Words
Vivi berlari melewati gerbang besar dirumahnya, beberapa pelayan membungkuk setiap kali berpapasan dengannya. “Ayah!” Teriak Vivi ketika kakinya sudah menapak melewat pintu utama. Namun tidak ada jawaban. Tak lama kemudian, suara langkah kaki membuat Vivi menoleh. high heelsnya yang tinggi mengetuk lantai menuruni tangga. “Kenapa seorang gadis sepertimu selalu saja berteriak jika sedang bertamu.” Tutur seorang wanita dengan santai, Sambil membetulkan dressnya ia menatap Vivi intens. Vivi tak menjawab, tujuan dia kesini hanya ingin berbicara dengan ayahnya. “Apa kau tidak pernah diajarkan sopan santun oleh ibumu hah?” Lanjutnya. “Cukup!” Ucapan wanita itu kali ini membuat Vivi muak, apa-apaan membawa ibuku seperti itu. Mulutmu saja tidak pantas mengucap nama ibuku! Geram Vivi menatap tanda merah di lehernya. Wanita itu tersenyum sinis, menatap arah pandang Vivi dengan bangga. “Apa yang kau lihat gadis kecil?” Semakin membuka dress bagian atas. “Oh ini, ayahmu yang melakukannya. Dia melakukan itu padaku tanpa kuminta.” Cih! Vivi semakin muak, ucapan wanita itu membuat kejadian itu kembali bertaburan. “Kenapa? Kenapa tatapanmu seperti ingin melahapku saja anak kecil!” Wanita itu masih berbicara meski Vivi tak menjawabnya. “Ayahmu sedang tidur, dia kelelahan setelah bertempur denganku.” Semakin memanas-manasi. “Sepertinya anda memiliki kelainan hingga tak merasa lelah.” Jawab Vivi santai di iringi senyum tipis. Sekali-kali di layanin tidak masalahkan? Sepertinya menyenangkan juga mengata-ngatainya. Gumam Vivi senang. Ucapan Vivi sukses membuat wanita itu langsung naik pitam, matanya membulat sampai ingin keluar. “Kau-.” “Siapa sayang?” Suara Dira tiba-tiba muncul dari belakang. “Hay sayang, kau sudah bangun? Ini Vivi, putri kita.” Tuturnya berubah lembut ketika ayah Vivi datang. Tersenyum manis menyambut kedatangan suaminya. Dira terdiam, menatap Vivi intens. “Biarkan dia masuk, Karin.” Ujar Dira dingin. “Aku memang memintanya masuk. Tapi Vivi putri kita tidak ingin masuk kecuali atas ijin ayahnya.” Tutur Wanita yang bernama Karin itu dengan ramah. Vivi semakin muak, menatap benci wanita yang bernama Karin tersebut. Namun matanya langsung fokus pada sang ayah, sosok yang sangat dirindukannya. “Aya-.” “Ikut aku!” Ujar Dira memotong ucapan Vivi. Gadis itu melangkah, mengikuti sang ayah yang masuk kedalam ruang kerja. Tidak ada pembukaan atau sapa hangat, hanya keheningan yang menyelimuti mereka dalam gelapnya ruangan. Namun baik Vivi atau Dira sama sekali tidak takut, mereka malah menikmati damainya gelap ruangan tersebut. “Ayah.” Vivi membuka obrolan. Menunggu ayah yang hanya diam saja sepertinya tidak akan menyelesaikan apa pun. “Ayah telah bersalah membiarkan kak Nadia tinggal penuh penekanan bersama kak Vian.” Ujar gadis berambut pirang tersebut kembali terdengar. “Apa hanya karena itu saja sampai membuat putri ayah repot-repot datang kesini hm?” Tanya Dira dengan tenang. “Ayah! Kak Vian sudah berlaku tidak adil pada istrinya. Dia bahkan membawa perempuan lain kedalam apartemennya.” Ucap Vivi mengabaikan pertanyaan sang ayah. Pertanyaan ayahnya hanya membuat Vivi emosi. Dira beranjak setelah menyeruput kopinya. Berjalan menghadap putrinya yang masih berdiri menghadapnya dengan sedikit emosi. “Menikahnya mereka bukanlah keinginanku, restu dariku saja merupakan sebuah keberuntungan bagi gadis itu dan keluarganya!” Jawab Dira santai, tangannya menyilang. Menatap Vivi yang masih berdiri menghadapnya. “Ayah?” Vivi menatap tak percaya, setega itu ayahnya akan menjawab demikian. Bukankah memang seharusnya seorang pria bertanggung jawab akan hal itu? Kenapa malah seperti kak Nadia saja yang bersalah disini? Ini tidak benar, ini tidak adil bagi kak Nadia. “Ayah tahu? kak Vian nyaris membuat Kak Nadia kehilangan bayinya. Cucu ayah! Keturunan keluarga Dira!” Jawab Vivi menggebu. Dira tak menjawab, keputusan anak-anaknya untuk pergi meninggalkan rumah cukup membuat hatinya sakit hingga timbul rasa tidak memperdulikan mereka. Apalagi ketika Vivi berkibar bendera pilihan antara anak dan istri barunya, Karin. Di tambah dengan kebencian Vivi dengan Karin membuat Dira semakin marah dan menyetujui mereka pergi begitu saja. Sebenarnya, Dira sangatlah menyayangi putra putrinya. Tapi ketidak pulangan mereka membuat Dira semakin lama semakin muak. Ditambah lagi, permusuhannya dengan Mahendra membuat Dira semakin tidak peduli akan hal itu. Vivi menggeleng, kebisuan sang ayah cukup membuatnya mendapat jawaban yang mengecewakan. “Ayah telah melakukan kesalahan.” Ucap Vivi dengan mata yang masih membulat. Sosok ayah yang selalu jadi panutannya selama ini telah melakukan kesalahan. “Diam!” Sentak Dira membuat Vivi kembali terlonjak. Hening, anak dan ayah itu sama-sama diam dalam gelapnya ruangan. Entah mati lampu atau Dira yang memang sengaja mematikan penerangan di ruangan rumah mewahnya. “Bukankah kalian sendiri yang memutuskan pergi dari rumahku dan memilih jalan kalian masing-masing.” Jawab Dira tak kalah sengit menatap putrinya. “Ayah,,,” “Sekarang tanggung lah sendiri segala resikonya.” Lanjutnya. “Vivi kecewa sama ayah, bukankah ayah sendiri juga telah merestui kita sebelumnya. Lalu kenapa ayah seperti ini sekarang. Tidak mau tahu dan mencuci tangan atas masalah anaknya sendiri.” Jawab Vivi, berharap ayahnya sadar atas apa yang dia ucapkan tadi. “Ingatlah ayah, ayah juga memiliki putri yang masih belum menikah. Bayangkan jika anak gadis ayah di perlakukan hal sama oleh orang tua suaminya.” Jawab Vivi menggebu kemudian melenggang pergi melewati mama Karin yang baru tiba di ruang kerja. “Vivi, kau mau kemana lagi nak?” Tanya Karin manja yang di buat-buat membuat Vivi semakin muak. Vivi menatapnya tajam kemudian melenggang pergi. Meninggalkan tempat paling nyaman yang menyimpan jutaan kenangan masa kecilnya bersama sang ayah dan ibu yang telah tiada. Kenangan keluarga kecil mereka yang harmonis dan bahagia. --- Seseorang menggebrak pintu kamar perawatanku, aku terlonjak ketika orang itu berdiri dengan nafas menggebu. Tangannya mengepal kuat, Pak Rangga lagi-lagi hadir di depan mataku. Aku melihat dosen tampan itu lagi, tanpa kata dia berlari menghampiriku. Mengecek seluruh tubuhku dengan wajah paniknya. Ya ampun bapak, anda menggemaskan sekali sedang panik seperti ini. Gumamku sambil menatap wajahnya yang sedikit basah, sepertinya dia kehujanan. Tapi wajah basahnya membuat dia lebih tampan berkali kali lipat, apalagi dengan rahangnya yang kokoh. Ditambah dengan bulu matanya yang lentik. Nadia, sadarlah! “Bodoh!” Sentak Pak Rangga membuat khayalanku langsung lenyap seketika. “Kenapa kau tidak mengabariku.” Sentaknya lagi dengan sorot mata yang tajam. “Bapak….” “Apa kau bisu hingga tidak bisa mengabari saya hah?” Tanyanya lagi dengan nada yang semakin tinggi. “Bapak, bapak kenapa teriakin Nadia?” Tanyaku lirih, mataku langsung panas mendengar ucapan-ucapannya yang terdengar peduli namun menyakitkan. “Hais.” Pak Rangga menghembuskan nafasnya kasar. Duduk dan menatapku. “Maafkan saya.” Tuturnya lembut. Aku masih menatapnya bingung, sebenarnya ada apa dengannya? “Bapak kenapa minta maaf ke Nadia?” Aku semakin di buat bingung, awal datang dia marah dan sekarang dia minta maaf. “Sudah saya katakan saya tidak suka dengan sebutan itu!” Bukannya menjawab pertanyaanku, dosen irit bicara itu malah membahas perihal lain. “Tapi pak, Nadia-.” “Kau ingin saya menciummu lagi disini, Nadia?” Eh, eh. Ancaman gila apa ini. Aku menutup mulutku rapat-rapat. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD