Briyan keluar dari kamar itu sembari mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya ia nyaris terpikat oleh pesona majikannya yang selalu menyulitkan hidupnya. Ia hampir saja lupa tujuannya mau berada di keluarga itu. Dengan cepat Briyan menuju kamar yang menjadi tempatnya menginap. Segera melihat ponselnya. Memastikan apakah ada balasan dari Hanania. Perempuan yang menjadi targetnya.
Awalnya ia hanya mengikuti keinginan Daisha untuk mendapatkan Arafan. Namun, melihat latar belakang keluarga Hanania membuatnya penasaran dan semakin ingin mendekat serta menghancurkan pernikahan Hanania dan Arafan. Kecintaan Daisha pada Arafan terlampau berlebihan. Entah karena sebab apa, ia jadi tak suka.
Tuxedo hitam lengkap dengan dasi kupu-kupu sudah ia siapkan. Malam nanti ia harus tampil sempurna saat menjaga majikannya. Daisha, satu-satunya putri konglomerat di negeri itu. Ia tak boleh kehilangan kesempatan. Kembali Briyan menekuni ponsel. Sayang tak ada balasan dari Hanania. Ia pun mengirimkan foto berikutnya yang jauh lebih memaparkan kemesraan. Harusnya perempuan itu naik pitam. Tepat saat ia menunggu balasan, sebuah panggilan masuk ke nomornya.
“Hallo, ada apa?” tanya Briyan tanpa basa basi terlebih dahulu. Ia juga berniat menyingkirkan orang yang meneleponnya. Cepat ataupun lambat.
Jangan berani-berani sentuh Hanania. Urusan kamu itu cuma sama Arafan bukan istrinya!
Briyan mendecih. Sejak awal bertemu dengan Abbas laki-laki sudah sok baik dan sok suci. Ia bahkan benci sekali dengan sikap Abbas yang tidak mau diajak kerja sama.
“Bukan urusan kamu. Justru dengan menyentuh istrinya akan mempermudah jalanku untuk mengambil alih semua aset milik Pak Rajandra. Daisha sudah tidak bisa lagi diarahkan kalau itu menyangkut Arafan.” Briyan sangat percaya diri akan ide besarnya.
Aku pastikan akan menggagalkan rencanamu itu!
Abbas menutup panggilan suaranya. Ia tak akan bisa melawan Briyan dalam hal berkata-kata.
Briyan pun merasa kesal. Bisa-bisanya ia diabaikan begitu saja. Abbas orang yang selalu menasihati dan membuatnya ragu melakukan rencana besar itu. Abbas orang yang selalu menempel di samping Daisha sebelum dan setelah ia ada di rumah mewah itu. Tak bisa lagi berpikir jernih, Briyan melempar ponselnya ke kasur. Ia bersiap dengan pembalasan berikutnya yang lebih menyeramkan.
***
“Loe yakin gak ada main sama Daisha?” tanya Dimas saat mereka bersiap ke ruang pertemuan. Stelan jas hitam melekat di tubuh mereka masing-masing.
“Maksud, loe?” Arafan gantian bertanya. Tidak paham dengan pertanyaan Dimas.
“Memangnya ada orang lain di kamar itu? Asyik berduaan sementara pihak perempuan mengenakan pakaian ketat semacam itu. Kalau tidak ada hubungan apa-apa mana mungkin?”
“Ya, tadi itu tidak sengaja. Aku juga tidak tahu kalau ternyata Daisha ada di dalam. Memangnya kamu tahu itu kamar ada penghuninya sementara kita saja diberikan kunci?” Arafan menatap tajam Dimas. Sahabatnya kerap menilai dirinya buruk setelah insiden Syara.
“Dulu saat dengan Syara juga begitu, ‘kan? Ketidaksengajaan yang berkelanjutan.”
Pintu lift terbuka. Dimas melangkah keluar. Ia tak butuh jawaban sahabatnya. Ia bahkan kerap berbohong dengan Hanania hanya demi melancarkan aksi kencan Arafan dengan Syara. Kalau boleh jujur, Dimas sangat menyesal.
Arafan bergeming. Kalimat Dimas membuatnya naik pitam. Bisa-bisanya laki-laki itu berkata semacam itu. Arafan menahan pintu lift yang hampir tertutup sempurna. Ia keluar dari lift itu dan berjalan di belakang Dimas. Meski kesal, ia mencoba menahan diri. Tak bisa pertemuan itu berantakan hanya karena ulahnya.
Dimas terus berjalan maju. Hingga ia sampai di aula hotel mewah itu. Beberapa tamu undangan sudah datang. Sepertinya acara malam ini bukan hanya acara intern perusahaan mereka. Melainkan acara resmi perusahaan Pak Rajandra.
Salah satu pelayan yang bertugas menerima tamu mengarahkan Dimas dan Arafan ke meja yang menjadi tempat mereka. Tak disangka mereka berdua mendapatkan tempat special.
Daisha tersenyum ramah. Ia mengenakan gaun berwarna merah maroon dengan potongan sedikit berbentuk huruf V. Rambut panjangnya tergerai. Ia bahkan sengaja menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Hingga anting yang cukup panjang terlihat. Arafan dan Dimas terkesiap. Menilik latar belakang Daisha yang sempat depresi dan berubah drastis hanya dalam waktu sembilan bulan. Sebuah kemustahilan yang ternyata benar-benar ada.
“Silakan duduk,” ujar Briyan seraya menunjuk meja itu. Ia mewakili Pak Rajandra yang memang memiliki keterbatasan bicara.
Dimas dan Arafan pun mengangguk. Dua kursi kosong itu ia duduki. Entah karena disengaja atau tidak, Arafan duduk di sebelah Daisha, sedangkan Dimas di sebelah Pak Rajandra. Briyan seperti sudah mengaturnya.
Daisha mengulas senyum. Ia menawarkan wine yang berada di depan mereka. Dengan cepat Arafan menolak. Baginya dan Dimas haram meminum itu.
“Oh, sorry. Kalian bisa ambil yang air mineral,” ucap Daisha kemudian.
Pak Rajandra menatap Arafan yang memang tampan. Pria itu sangat pandai baginya. Ia sangat ingin menjadikan Arafan sebagai menantunya. Namun, jelas tak bisa. Arafan sudah menikah dan akan punya anak. Daisha tampak memerhatikan ayahnya. Ia pun menepuk lengan Pak Rajandra.
“Bapak gak apa-apa?” tanyanya yang dibalas dengan anggukan.
Sudah pasti tak ada obrolan karena memang Pak Rajandra tidak bisa memulainya. Keempat orang tersebut beserta tamu lain menikmati serangkaian acara. Peluncuran hotel bintang lima milik Daisha. Dengan pengeras suara pembawa acara menyebutkan namanya. Meminta perempuan berparas cantik itu naik ke atas panggung. Daisha mengangguk kecil pada ayah, Dimas dan Arafan. Ia berjalan anggun menuju panggung itu.
“Tes, tes, cek,” ucapnya saat memegang microfon pertama setelah sekian lama. “Ah, oke sudah bunyi,” ucapnya lagi sontak membuat banyak orang tertawa.
“Terima kasih untuk kehadiran Bapak Ibu semua dalam acara ini. Saya sangat beruntung semua tamu undangan berkenan hadir, termasuk tamu special dari Indonesia.” Daisha menatap Arafan dari tempatnya berdiri. Pandangannya sangat jelas, hingga membuat beberapa orang menengok pada arah mata itu. Arafan pun canggung menjadi pusat perhatian. Sontak membuat Pak Rajandra tersenyum.
“Baiklah, mungkin kalian semua bertanya-tanya di mana aku selama ini? Setelah peritiwa tragis yang menimpa dan sempat membuat perusahaan goyah. Tapi, berkat seseorang yang special itu aku berhasil bangkit dan sembuh dari penyakitku. Bukan, sepertinya itu bukan penyakit. Lebih tepatnya bangkit dari kekecewaanku sendiri. Sembilan bulan ini aku menghabiskan waktu untuk memulihkan diri agar mampu berdiri di sini. Untuk itu saat Bapak bilang akan membuka hotel yang memang sudah lama disiapkan untukku, aku langsung menyambutnya dengan senang. Dan tentunya aku berterima kasih pada pria special itu.” Daisha menjeda, ia kembali menatap ke arah Arafan. Membiarkan riuh dan tepuk tangan para tamu terdengar. Perempuan itu sengaja melemparkan umpan. Ia akan melihat seperti apa hasilnya.
“Pria special itu memberiku obat yang hanya ada satu di dunia. Kenangan yang menjadi kekuatan. Ya, dia memberikannya.”
Daisha mengukir senyum manis. Senyum terhangat yang ia miliki. Ia pun menutup inti acara malam itu. Dengan perasaan yang semakin berkembang, ia turun dari panggung dengan bantuan Briyan.
“Terlalu kentara, Nona,” bisik Briyan. Namun, Daisha tak peduli. Ia justru semakin ingin memiliki pria yang kini berada tepat di sampingnya.