Tak ada yang tahu jika malam itu akan berlalu dengan rentetan peristiwa yang berbeda. Setelah mendengarkan rangkaian kata dari putri pemilik hotel, Arafan dan Dimas berniat kembali ke kamar hotel. Namun, sebuah minuman berhasil memabukkan mereka dengan tak sengaja.
"Non alkohol, Pak. Santai saja," ucap Briyan saat menyodorkan minuman pada Dimas.Laki-laki itu tampak tersenyum lalu menghidu aroma minuman yang seperti air putih itu.
"Aman, Fan," ucapnya lantas menyerahkan gelas itu pada sahabatnya.
Arafan pun melakukan hal yang sama. Dan ia sependapat dengan Dimas. Briyan tersenyum senang melihat kedua laki-laki itu mulai masuk dalam perangkapnya.
"Silakan dinikmati, Pak," ucap Briyan lagi. Ia tak henti memerhatikan gerakan Arafan dan Dimas yang sudah bersiap menenggak minuman itu.
Daisha asyik berbincang dengan rekan bisnis ayahnya pun memerhatikan tingkah Briyan dari kejauhan. Meski ia membayar penuh Briyan untuk mengurus kehidupannya, ia tidak suka sikap personal asistennya itu saat terlalu mencampuri urusan pribadinya.
"Sebentar, Pak. Saya tinggal dulu."
Daisha berpamitan pada beberapa rekan bisnis ayahnya. Ia melangkah maju menuju tempat Dimas dan Arafan berbincang dengan Briyan. Gelas minuman yang tadi ia bawa, ia letakkan di salah satu meja. Langkahnya begitu anggun dengan gaun berwarna merah maroon itu.
"Semua aman, ‘kan, Fan?" tanya Daisha. Ia memerhatikan gelas di tangan Arafan.
"Aman. Semuanya wajar-wajar saja. Minuman ini juga," jawab Arafan. Senyum simpul ia berikan pada putri investor perusahaannya itu.
"Apa urusan Nona sudah selesai?" tanya Briyan. Ia tak mau Daisha menyabotase obrolan dan mengggalkan rencananya.
"Tentu. Aku free saat ini. Aku lebih punya banyak waktu untuk menemui tanu specialku."
Briyan mendecih. Hatinya bergemuruh. Ia tidak suka gaya Daisha saat memerhatikan Arafan juga cara Daisha menginginkan laki-laki itu. Briyan yang tahu betul rencana Daisha tak akan bisa menerima. Terlebih ia juga tergiur dengan kekayaan putri Pak Rajandra itu.
Seorang pelayan membawakan hidangan utama untuk meja Arafan dan Dimas. Pelayan yang sudah terlebih dahulu bertemu dengan Briyan beberapa waktu sebelumnya sudah pasti akan membuat malam terasa berbeda. Menu utama yang ia bawa tak jauh dari masakan western. Memang banyak kolega serta rekan bisnis Pak Rajandra yang berasal dari luar negeri.
Pelayan itu menunduk pada para tamu. Untuk kemudian menyajikan piring-piring itu ke hadapan Arafan, Dimas, Daisha dan Briyan. Keempatnya menerima dengan rasa senang.
"Mari dinikmati," ucap Briyan seraya memotong daging yang sudah dimasak itu. Ia melahapnya dengan menampakkan wajah kagum akan rasa yang dihadirkan.
Melihat ekspresi itu, Dimas pun mengikuti. Ia mengunyah olahan daging itu dan mengangguk-angguk. Rasanya sangat nikmat. Arafan dan Daisha hanya tersenyum. Mereka pun melakukan hal yang sama. Keempatnya menikmati tanpa ada rasa curiga sama sekali.
Acara makan malam dan pertemuan bisnis itu selesai sekitar pukul sebelas malam waktu Singapura. Dimas dan Arafan bersiap kembali ke kamarnya. Namun, tiba-tiba kepala mereka terasa pening . Pandangan mereka perlahan kabur. Tak bisa melihat dengan jelas. Sebuah tangan terulur untuk keduanya. Arafan mengikuti uluran itu. Begitu juga Dimas yang mendapatkan bantuan. Keduanya dibawa ke kamar mereka oleh orang-orang suruhan Briyan.
Daisha yang juga mabuk, lebih dahulu dibiarkan berada di kursi oleh Briyan. Pak Rajandra dan orang kepercayaannya dengan settingan yang dibuat Briyan pergi sebelum acara benar-benar selesai. Otomatis beliau tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Briyan dengan tenang menggendong tubuh Daisha. Gaun merah maroonnya yang menampakkan bagian depan membuat Briyan mengalihkan pandang. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan jatuh cinta pada majikannya. Ia lebih cinta harta dan segala macam yang berkaitan dengan uang.
Sampai di kamar Daisha, sosok laki-laki yang memang disengaja untuk ada di kamar itu terbaring tak berdaya. Hidangan yang disuguhkan Briyan benar-benar memabukkan. Bahkan laki-laki berpendirian lurus itu tak sadarkan diri. Briyan perlahan merebahkan tubuh Daisha di samping Arafan yang tubuhnya tertutup selimut. Permintaannya pada orang yang membawa Arafan benar-benar sesuai pesanan. Kini tugasnya tinggal menyiapkan Daisha.
"Maafkan saya, Nona. Saya tak bermaksud seperti ini, kalau anda tidak membantah semua saran saya." Perlahan Briyan menurunkan gaun yang dikenakan Daisha.
"Semoga anda mendapatkan apa yang anda inginkan dengan cara yang saya siapkan." Kini tak ada sehelai benang pun di tubuh perempuan itu.
Briyan memejamkan mata. Ia tak akan mengira hatinya bergetar meyaksikan itu semua. Buru-buru ia menggeser tubuh majikannya agar mendekat pada tubuh Arafan. Ia buat posisi nyaman seorang pasangan sedang terlelap. Setelah semua terasa pas dan tampak natural, ia mulai mengambil kamera miliknya. Mengambil foto terbaik untuk malam indah yang dilakukan Arafan dan majikannya. Tak lain tak bukan semua itu untuk menghancurkan kehidupan laki-laki yang berhasil mencuri hati putri cantik itu.
Briyan menyeringai lebar. Ia hanya perlu mengirimkan foto ini ke media. Dipastikan reputasi Pak Rajandra akan runtuh seketika. Di sisi lain ia menginginkan harta keluarga majikannya, namun ia juga menginginkan hati dari perempuan itu. Niatnya sudah berubah seiring berjalannya waktu dan ia tidak mau mengakuinya.
"Damn!” ujarnya memukul kepala.
“Kenapa dia terlihat sangat cantik?" tanyanya saat memperbesar wajah Daisha pada foto yang ia ambil. "Harusnya kau tak tersenyum seperti itu. Kau sedang terlelap, Nona," ucapnya lagi.
Ponsel miliknya berdering. Membuatnya ia terlonjak kaget. Takut dering itu membangunkan Daisha atau Arafan. Buru-buru ia mematikannya. Selang tak begitu lama sebuah pesan masuk ke ponselnya.
[Tidak perlu membuat masalah jika yang kau incar hanya harta. Dengan mudah kau akan mendapatkannya. Kau tahu semua tentang Daisha.]
Briyan mendecih. Ia benci sekali dengan laki-laki satu itu. Selalu ikut campur apapun urusannya. Briyan mengantongi kembali ponselnya. Ia sengaja meletakkan tangan Daisha pada leher Arafan dan membuat Arafan tampak mendekat. Foto dengan sudut terbaik akan berbicara. Dengan mudah aka membuat orang percaya. Ia harus mendapatkannya segera. Saat dua orang itu terbangun, ia tak boleh berada di sana.
Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar. Briyan yang memang melakukan aksi rahasia tidak boleh ketahuan. Secepat mungkin ia menuju bilik lemari untuk bersembunyi. Pintu kamar itu tidak terkunci. Siapa saja yang punya akses akan dengan mudah masuk ke kamar itu. Jantung Briyan berdegup kencang. Ia merutuki kebodohannya yang bahkan lupa menutup pintu dengan rapat karena menggendong Daisha. Tubuh perempuan itu sangat ringan. Membuatnya merasakan kenyamanan. Di dalam lemari ia menyesali perbuatannya.
Pintu kamar Daisha benar-benar terbuka. Seseorang yang harusnya pergi dan belum kembali masuk ke dalam kamar itu. Mata Briyan membelalak sempurna. Pak Rajandra menyaksikan momen mesra Daisha dan Arafan. Sontak laki-laki paruh baya itu membekam mulutnya seraya berbalik. Beberapa detik ia tampak berpikir. Dari belakang tampak jelas ia gelisah. Tepat dua menit ada jeda, Pak Rajandra berjalan maju dan menutup pintu kembali. Briyan salah melakukan perhitungan.
***