Tubuh Hanania lemah seketika. Serangan mual yang terus datang membuatnya nyaris tumbang. Beruntung perawat cepat datang untuk menolongnya. Hingga malam menjelang tak ada satu pun kerabat yang menjenguknya. Di kota besar itu, ia hanya sendiri. Kembali bayang kehancuran keluarganya menyapa. Bapak dan Ibu yang berpisah karena orang ketiga serta adiknya yang harus merelakan hanya sekolah sampai SMA. Itu semua tertumpuk di kepala Hanania. Membuatnya tak bisa berhenti menangis.
“Ibu baik-baik saja?” tanya perawat setelah membantu Hanania menuntaskan rasa mualnya.
“Gak apa-apa, Sus. Terima kasih sudah membantu,” jawab Hanania. Perempuan itu berusaha merebahkan diri di ranjang rumah sakit.
“Kalau begitu saya panggilkan dokter untuk memeriksa kondisi Ibu. Setelah itu ibu bisa istirahat,” ucapnya lantas pergi meninggalkan Hanania.
Suara ketukan pintu terdengar. Bu Ranti datang membawa tas pakaian yang memang sudah disiapkan oleh Hanania. Tampak wajah Bu Ranti khawatir saat ia melihat kondisi Hanania. Dengan cepat ia pun mendekat. Meletakkan tas itu di salah satu kursi yang ada.
“Mbak Hanania kenapa? Sudah kerasa mulasnya?” tanya Bu Ranti polos. Melihat Hanania menangis mengira perempuan itu sedang merasakan sakit menjelang melahirkan. Hanania menggeleng. Ia sedang tidak merasakan mulas.
“Makasih, Bu, sudah datang. Siapa yang menghubungi Ibu?” tanya Hanania. Ia belum mengirim pesan pada Bu Ranti.
“Mas Arafan, Mbak. Katanya Mbak Hanania mau lahiran, tapi Mas Arafannya malah pergi. Jadi saya disuruh nemenin,” jawab Bu Ranti.
“Ya, Bu. Makasih sudah antar baju saya. Tapi operasinya masih besok. Kalau Bu Ranti ada kerjaan di rumah, bisa pulang lagi.” Hanania terkesan menutup diri. Ia ingin menikmati waktunya sendiri sebelum melahirkan.
“Beneran gak apa-apa, Mbak? Saya khawatir sama, Mbak. Tapi saya juga lagi ada kerjaan Mbak, makanya ke sini terlambat. Biasa pesenan snack, Mbak.” Hanania tersenyum hangat. Ia mencoba menghalau air mata yang masih kentara di wajahnya.
Selepas memastikan perlengkapan Hanania sesuai, Bu Ranti pun pergi meninggalkan rumah sakit. Ia memang hanya tetangga yang dulu dekat dengan keluarga Arafan. Bu Ranti bukanlah sekadar asisten rumah tangga bagi mereka.
Hanania mengulas senyum saat Bu Ranti menutup pintu. Ia kembali meraih ponselnya dan menekuni foto yang ia terima. Dalam ponsel itu tampak Abbas melakukan panggilan untuknya. Namun, ia tak bisa menjawab. Hanania pun menelepon Abbas balik.
Halo? Bagaimana?
Abbas cepat sekali mengangkat telepon. Seolah sudah menunggu panggilan dari Hanania.
“Anda tahu tentang hubungan mereka? Sejak kapan?” tanya Hanania. Kalau memang Abbas tahu, harusnya ia memberitahu lebih dulu.
Dari mana kamu dapat foto itu? Apa kamu mengenal orangnya?
Abbas justru lebih penasaran dengan siapa pengirim foto itu. Hanania pun terdiam. Ia menunggu beberapa saat untuk mengeluarkan kata-kata. Terlebih saat perasaan sesak menyerangnya. Tak bisa dipungkiri hatinya terluka.
Halo? Apa kamu kenal dengan orang yang mengirim foto?
Lagi Abbas bertanya.
“Tidak, aku tidak kenal. Aku baru bertemu dengannya,” jawab Hanania lemah. Ia tak bisa lagi menyembunyikan resah. Tangisnya mulai kentara.
Kamu Sekarang di mana? Arafan di mana?
“Aku di rumah sakit. Arafan ke Singapura.”
Jawaban itu membuat obrolan mereka terhenti. Abbas menutup panggilan setelah ia menanyakan rumah sakit tempat Hanania dirawat.
***
Daisha tak langsung berdiri saat Arafan mencoba mengangkat tubuhnya. Ia justru mencondongkan badan ke arah Arafan. Membuat laki-laki itu tak nyaman.
“Ups, maaf gak sengaja selimutnya,” ucap Daisha tetap mendekat pada Arafan.
“Ya, gak apa-apa.” Arafan mundur beberapa langkah, yang malah membuat Daisha kembali akan jatuh. Dengan cepat Arafan meraih tangan Daisha.
“Ah, payah, nih. Mau jatuh mulu,” ujar Daisha. Ia pun mulai memperbaiki selimut yang menutup tubuhnya. “Sorry, Sa. Aku salah kamar. Kalau kamu mau aku bisa cari kamar lain. Aku bisa bilang ke Bapak sekarang.” Daisha berlagak tidak tahu kejadian itu akan terjadi.
“Oh, tidak perlu. Biar aku saja yang keluar. Aku juga bisa pindah ke kamar Dimas.” Arafan pun siap berbalik. Ia memegang kenop pintu dengan sikap salah tingkah.
“Oke, Fan. Maaf, ya. Sampai jumpa nanti malam.” Dengan sengaja Daisha melepaskan selimut pembungkus tubuhnya. Ia mengantar Arafan keluar kamar dengan pakaian ketat yang kurang sopan.
Arafan benar-benar merasa tidak nyaman. Tepat kakinya menyentuh lantai luar, Dimas membuka pintu. Ia dengan jelas menyaksikan Arafan dan Daisha dengan pakaian Daisha yang sangat ketat dan nyaris membuat mata laki-laki keluar.
“Hai, Dim,” sapa Daisha seraya melambaikan tangan. Dimas yang juga salah tingkah mencoba menatap ke arah lain.
“Hai.” Ia tentu ingat dengan Daisha.
“Oke, sampai jumpa nanti malam, ya,” ucap Daisha. Ia kembali menuju kamar yang harusnya menjadi tempat istirahat Arafan.
Perempuan itu dengan wajah memerah langsung menghadap ke cermin rias di kamar hotel. Tak seharusnya ia mengikuti arahan asisten pribadinya yang gila. Harusnya ia membiarkan Arafan melihat keserdehanaan serta kesahajaan yang ia miliki. Bukan malah membuatnya seolah tak punya harga diri. Terlebih menyaksikan ekspresi Dimas yang justru memalingkan wajah dan merasa risih. Daisha pun merutuki kebodohannya. Ia mengacak rambut serta memukul mukul tubuhnya sendiri dengan pelan.
“Kenapa? Malu pakai baju begitu?” tanya Briyan yang tiba-tiba keluar dari dalam lemari. Laki-laki itu sengaja bersembunyi untuk mengambil gambar dengan posisi tepat.
Dengan cepat Daisha mendekat pada Briyan. Ia pun mengepalkan tangan dan meninju lengan laki-laki itu dengan keras. Ekspresi kekesalan karena asistennya memberikan saran yang salah.
“Kamu kira dia akan jatuh cinta sama aku kalau caraku begini? Yang ada dia ilfeel duluan!” bentak Daisha. Ia benar-benar kesal dengan sikap Briyan.
Sontak laki-laki itu meletakkan jari telunjuk untuk menutup mulut. Tanda bahwa ucapan Daisha terlalu keras dan bisa saja didengar Dimas dan Arafan yang berada di kamar sebelah.
“Hati-hati, Nona. Rencana anda bisa berantakan,” ucap Briyan mengingatkan.
“Ini bukan rencanaku. Ini rencanamu. Dan aku udah tambah gila karena mengiyakan begitu saja.”
Daisha terus berbicara. Ia lupa saat tubuhnya sedikit terekspose karena pakaian ketat itu. Briyan yang sekuat hati menahan bisa saja runtuh pertahanan jika majikannya itu tidak mengontrol diri. Briyan tetaplah seorang laki-laki meski usianya lebih muda dari Daisha. Ia pun mencoba mengalihkan pandangan dengan menatap keluar lewat jendela kamar. Menghalau desir aneh yang mulai menyerang area kelelakiannya.
“Nah, kamu aja sama, ‘kan? Gimana Arafan. Ah, nyebelin kamu!” bentak Daisha lagi. Kali ini ia mengambil bantal dan memukulkannya pada Briyan.
“Tidak begitu, Nona! Kita bisa ketahuan,” ucap Briyan kesal. Ia memang sudah lelah menghadapi tingkah Daisha. Ia pun terus mengaduh dan menghalau serangan itu.