Part 8 : Kerelaan Hati Hanania

1072 Words
Abbas menganalisa foto tersebut dengan seksama. Ia tak yakin apa foto tersebut benar-benar asli atau rekayasa. Gaun pengantin yang dikenakan Syara adalah gaun yang mereka pesan dulu. Putih bersih dengan sedikit payet di bagian depan. Studio tempat mereka berfoto juga seperti yang direncanakan oleh Syara. Semua serba mirip dengan konsep pernikahan mereka. Hanya saja Syara berpose sendiri. Namun, di kejauhan ada sosok Arafan yang nampak memerhatikan Syara dengan penuh perhatian. Mungkinkah mereka benar-benar berkhianat? Atau hanya mencari kesempatan saja? Raut wajah Abbas berubah seketika. Terlebih saat foto berikutnya berhasil terunduh dalam pesan itu. Tepat di ruang ganti tampak Arafan dan Syara bertukar kemesraan. Membuat jantung Abbas seakan diremas. Laki-laki itu tak bisa menyembunyikan perasaan kecewanya. "Hemm, fokus amat?" tanya Syara. Perempuan itu sudah berdiri tepat di samping Abbas. Ia bergaya memanjangkan leher. Seolah mengintip pesan yang sedang dibaca kekasihnya. Sontak Abbas menutupi layar ponselnya lalu memasukkan kembali ponsel tersebut dalam saku celana. "Ada apa? Serahasia itu sampai aku tak boleh tahu?" tanya Syara merasa tersinggung. "Gak apa-apa. Cuma pesan spam aja. Isinya gak bener.” Abbas mencoba menutupi. Ia tidak mau Syara tahu. “Oh, bukan chat dari wanita lain, ‘kan?” tanya Syara memastikan. Ia jelas cemburu kalau Abbas memiliki hubungan lain dengan lawan jenis. Abbas pun tersenyum getir. Bukankah pertanyaan itu harusnya ia yang melontarkan? Laki-laki itu menatap dalam tambatan hatinya. “Udah selesai minumnya?" tanya Abbas mencoba mengalihkan perhatian Syara. Ia tak mau terpancing dengan ucapan Syara yang membuatnya justru melakukan kesalahan. "Gak seru, ih. Beneran gak apa-apa?" tanya Syara kembali memastikan. Abbas mengangguk yakin. Ia pun mengajak Syara keluar dari kafe itu. Sepanjang perjalanan pikirannya terus bekerja. Apa benar Arafan menyukai Syara? Atau justru Syara lah yang menggoda? Pertemuan mereka di rumah Syara? Apa itu sebuah tanda?  Abbas memikirkan satu nama yang pasti akan sangat kecewa mendapati foto itu. Andai perempuan itu tahu ditambah kondisinya yang sedang mengandung, akan sangat menghancurkan hidup perempuan itu. Saat itu juga Abbas teringat Daisha yang karena penghianatan mengalami depresi dan saat sembuh berubah total karakternya. Keheningan pun tercipta di antara Syara dan Abbas. Untuk memecahkannya, Abbas memulai obrolan. "Selama kita gak komunikasi kamu sering kontak sama Arafan? Biasanya bahas apaan?" tanya Abbas membuka obrolan. Syara sudah manyun saat mereka sampai di parkiran dan menaiki mobil. Ia enggan menjawab. Namun, ia juga malas saat Abbas menaruh curiga. "Gak banyak. Paling bahas soal kerjaan sama soal pasangan aja. Kebetulan si Hanania kan punya masalah sebelumnya, nah, Arafan crita, tuh, ke aku. Kamu tahu juga, ‘kan, masalahnya apa?" Syara mengingatkan perihal konsultasi Arafan lewat email. "Hanya itu? Gak saling curhat?" selidik Abbas. Bisa jadi Syara juga membeberkan hubungan mereka. "No. Aku gak pernah cerita soal kita. Biasanya aku lebih jadi pendengar aja." Syara berusaha menutupi kenyataan. Ia tak mau Abbas pergi meninggalkannya lagi. Andai Abbas tahu apa yang terjadi, ia tak akan pernah percaya diri lagi. "Oh, sebatas kenalan saja, ya." Abbas mengangkat bahu. Seolah tak yakin dengan jawaban Syara. Keduanya sama-sama paham tentang ilmu kejiawaan. Berbohong hanya akan membuat mereka terlihat bodoh. "Kamu gak percaya sama aku? Curiga lagi?" tanya Syara justru dengan nada tinggi. Abbas menoleh sekilas. Ia mengamati ekspresi wajah Syara. "Sudah kubilang saat itu kamu bebas berhubungan dengan siapa saja. Posisi kita kan lagi putus. Cuma kalau Arafan punya istri. Praktis gak baik dong kalau dia malah dekat-dekat sama perempuan lain. Bagaimana perasaan istrinya? Apa kalian memikirkan saat kalian justru berdekatan dan kerap beduaan?" tanya Abbas kelewat batas. Ia mulai menyisipkan pesan tersirat pada Syara. Tak mau orang yang ia cinta justru salah langkah menjadi perusak rumah tangga orang. "Iya, iya. Aku ngerti. Aku gak ada hubungan apa-apa sama Arafan. Kecuali, kesepian dan saling mengisi. Hanya sebatas itu. Hatiku tetap gak mau diajak selingkuh sama dia. Meski dia bilang cuma jadi teman, aku tahu dia suka sama aku. Jadi, aku mencoba menghindarinya,” terang Syara. Ia terpaksa menjawab jujur pertanyaan Abbas. “Itu baru namanya Syara yang aku kenal. Makasih sudah jadi perempuan baik selama aku pergi.” Abbas menoleh. Ia menekuni wajah teduh Syara. Selanjutnya ia melaju kencang bersama mobil milik Syara. *** "Gimana Dok, kondisinya? Apa tidak bisa lagi ditunda?" tanya Arafan saat Dokter menjelaskan kondisi kehamilan Hanania. "Tidak, Pak Arafan. Besok kita harus melakukan operasi kalau mau Ibu Hanania dan bayinya selamat." Dokter yang memang sejak awal kepindahan mereka menangani Hanania tampak yakin. "Tapi saya harus pergi, Dok, malam ini. Saya tidak mungkin menunggui istri saya," ucap Arafan. Ia tampak gamang menentukan pilihan. "Tidak ditunggui tidak apa-apa. InsyaAllah semua lancar. Saya pergi dulu, Pak." Dokter pun meninggalkan Arafan. Laki-laki itu hanya bisa menahan resah yang sudah tercetak jelas di wajahnya. Setelah menerima penjelasan Dokter, ia pun kembali ke bangsal tempat Hanania berada. Saat kram perut melanda perut istrinya, ia yakin waktu kelahiran semakin dekat. Harusnya ia menjadi suami siaga dan menemani sampai terlahirnya buah hati mereka. Namun, sebuah agenda penting tengah menantinya. Ia tak bisa menolak keduanya. Hanania memejamkan mata. Bukan karena sakit yang mulai ia rasakan, melainkan ia mencoba menghilangkan adegan mesra suaminya dan perempuan lain di foto yang baru saja ia terima. Ia tak bisa mengabaikan begitu saja, namun tak bisa juga menanyakan pada Arafan. Cara terbaik untuk menetralkan perasaannya hanyalah dengan diam. Ponsel Arafan bergetar. Sebuah pesan masuk dari Dimas. Memberi kabar dia sudah dalam perjalanan menuju rumahnya. Arafan dengan cepat mengabaikan pesan itu. Ia berjalan maju ke arah Hanania. “Nin,” ucapnya pelan seraya mengusap lengan Hanania. Perempuan itu pun membuka matanya perlahan. “Aku harus pergi, Nin. Dimas membutuhkanku. Tapi aku juga harus di sini menungguimu. Apa yang harus aku lakukan?” tanya Arafan penuh penyesalan. Harusnya ia tak meninggalkan Hanania di hari bahagia mereka. “Pak Rajandra memintaku ke Singapura untuk melakukan pertemuan malam ini. Tiket sudah beliau siapkan, Dimas juga sudah menuju rumah sakit untuk menjemputku. Ini terkait kerjasama yang sudah terjalin lama.” Dengan pelan Arafan menjelaskan kondisinya berharap Hanania dapat memberikan solusi untuk keputusannya nanti. Hening. Senyap dan tak ada respons cepat dari Hanania. Perempuan itu hanya menghela napas berat. “Bagaimana?” Arafan harus segera memutuskan. “Berangkat saja, Mas. Tidak apa-apa. Operasiku masih besok, kalau urusan kamu cepat selesai, kamu bisa langsung balik ke sini. Tepat saat anak kita lahir, dia bisa langsung melihat ayahnya.” “Gak apa-apa?” Hanania mengangguk. Ia meraih tangan Arafan. Menguatkan diri dengan merekatkan genggaman pada tangan itu. Meski hati kecilnya berkata jangan, mulutnya tetap mengingkari. Ia merelakan Arafan pergi meninggalkannya seorang diri. “Gak apa-apa, Mas.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD