Perjalanan kembali ke Singapura terasa lama bagi Briyan. Pasalnya ia memang masih menginginkan berada di Jakarta. Mengulang masa kecilnya yang ia habiskan di kota itu. Sayang, ia hanyalah seorang asisten sekaligus bodyguard untuk putri konglomerat di Singapura. Mau tidak mau laki-laki itu pun melakukan tugasnya. Sepanjang di pesawat, Daisha terus menatap ke arah jendela. Mengamati awan yang bergelombang.
Perempuan itu tak lagi muda. Namun, sayang waktunya habis untuk hal-hal yang tidak berguna. Dulu, saat ibunya masih ada, ia tak serapuh itu. Ia bisa menjadi putri semata wayang yang membanggakan. Sukses dengan karier cemerlang. Kepergian mendadak ibunya menghancurkan hidupnya, ditambah fakta tentang suaminya yang ternyata penyuka sesama jenis.
Daisha pewaris tunggal kekayaan Pak Rajandra harus menjalani masa pemulihan depresinya selama dua tahun. Ditemani Abbas Reyhan, dokter spesialis jiwa yang dengan jalan menyedihkan berutang budi pada keluarganya.
Briyan mencuri pandang dengan tetap berpura-pura membaca sebuah majalah yang ia bawa. Meski mengincar Daisha dan keluarganya sejak lama, tetap saja ia belum paham betul tentang kehidupan masa lalu Daisha. Seingatnya mantan istri kakaknya itu tak semenyebalkan sekarang yang kerap bersikap sewenang-wenang, termasuk meminta pergi dan kembali ke Singapura secara tiba-tiba. Daisha menoleh, tepat saat Briyan menatapnya. Keduanya pun terkesiap.
"Apaan? Kenapa begitu melihatku?" tanya Daisha dengan sorot mata menyebalkan.
"Awannya bagus. Saya tidak bisa langsung menatapnya," jawab Briyan menutupi.
"Oh."
Daisha pun kembali melihat ke arah jendela. Memikirkan kedekatan Hanania dan Arafan di Jakarta. Dari hati terdalamnya ia sangat ingin menyapa mereka. Memperkenalkan diri dengan benar. Memberitahu bahwa kondisinya semakin baik setelah Arafan memberikan n****+ padanya. Namun, ia jelas tak bisa. Perut buncit Hanania menghalanginya. Ia tak bisa dengan mudah masuk ke keluarga itu.
"Saya mau tidur dulu, Nona. Kalau sudah ada pemberitahuan, mohon bangunkan saya." Briyan langsung menutup mata. Ia mengistirahatkan tubuhnya sejenak sebelum akhirnya bekerja lebih banyak.
***
Hanania terus memegangi ponselnya. Membuka ulang hingga memperbesar foto yang ia terima. Arafan suaminya begitu menikmati kebersamaan dengan wanita lain di sana. Arafan yang ia cinta begitu nyaman membukakan mobil untuk wanita itu. Terakhir, Arafan yang ia percaya begitu rileks memberikan kecupan mesra untuk wanita itu. Air mata kian menderas saat tak ada balasan dari pria misterius yang mengirimi ia pesan. Ia tak bisa mencari informasi lebih banyak lagi.
Di toilet perempuan, ia terduduk di closet yang tertutup. Menekuni foto sekaligus pesan yang membuatnya seperti sedang tersayat sembilu. Dunianya seakan runtuh. Perlahan Hanania memikirkan wajah yang sangat riang berdampingan dengan Arafan. Ia seperti mengenalnya. Wajah itu pernah melintas diingatannya. Namun, ia tak yakin.
Kembali air mata mengalir dari pelupuk mata. Membuat semua pertahanan yang ia lakukan selama ini seakan sia-sia. Tiga puluh menit Hanania tidak keluar dari toulet itu. Membuat Arafan gusar. Ia pun memberanikan diri mencari istrinya. Takut hal tidak inginkan terjadi.
"Ini toilet cewek, Mas!" bentak salah satu pengguna yang kaget melihat kedatangan Arafan.
"Maaf, maaf. Saya mencari istri saya yang sedang hamil, takutnya dia kenapa-kenapa. Karena dari tadi tidak juga kembali," terang Arafan dengan raut wajah khawatir.
"Tapi gak gitu juga kali, Mas!" bentak perempuan itu lagi. Arafan hanya bisa menyunggingkan senyum. Ia tetap mengamati ruangan itu. Mencari di pintu mana Hanania berada.
"Mbak yang lagi hamil keluar, deh. Ini suaminya nyari!" panggil perempuan tadi. Tak peduli suaranya memekakan telinga.
Hanania tersadar. Ia baru ingat sudah sangat lama berada di toilet. Segera Hanania mengusap wajahnya kasar. Ia menghapus bulir bening itu. Arafan tak boleh tahu. Hanania menghela napas berat. Sebelum akhirnya keluar dari toilet tempatnya berdiri dengan memegangi perutnya yang terasa semakin kencang.
"Mas," panggil Hanania pelan. Ia nampak kesakitan.
Sontak Arafan mendekat. "Kamu baik-baik aja, Nin?" tanyanya dengan raut khawatir. Hanania mengangguk. Ia memegang tangan Arafan untuk membantunya berjalan.
"Keluar dulu, Mas," ucap Hanania pelan seraya mengangguk pada perempuan lain di ruang itu. Bentuk permintaan maafnya atas kelancangan Arafan yang masuk ke area toilet wanita.
"Kamu beneran gak apa-apa, Nin?" tanya Arafan saat mereka sudah sampai di luar. Hanania berjalan pelan dengan dibantu Arafan.
"Nggak apa-apa, cuma kram perut. Ayo kita pulang, Mas," pinta Hanania.
"Kita ke Dokter dulu, ya. Takutnya kamu udah mau lahiran." Arafan menaruh perhatian lebih pada istrinya. Sebentar lagi buah hati mereka terlahir ke dunia.
Hanania terdiam. Ia menghentikan langkah. Dipandanginya wajah suaminya yang rupawan. Saat itu juga bayangan adegan mesra Arafan dan perempuan lain terpampang nyata. Membuat Hanania tak kuasa menahan tangis.
"Sakit banget, Nin?" tanya Arafan mendapati istrinya mengeluarkan air mata. Hanania mengangguk. Ia memang merasakan sakit, meski tak sama dengan yang dipikirkan Arafan.
Keduanya berjalan lamban untuk keluar dari mall itu. Arafan langsung membawa Hanania ke rumah sakit. Jika semuanya sudah sesuai, ia akan meminta dokter segera melakukan operasi.
***
Abbas dan Syara menikmati waktu mereka. Di sebuah kafe tempat mereka kencan dulu. Saksi bisu perjuangan cinta mereka. Greentea latte dipesan Syara untuk melegakan dahaga, sedangkan Abbas memilik cappucino. Keduanya tampak bahagia. Menikmati suasana nyaman serta private yang disediakan pemilik kafe.
Syara tak henti memandang Abbas yang berada tepat di depannya. Terpisahkan oleh sebuah meja kecil dan kedua gelas minuman yang mereka pesan. Mencintai dan mengejar cinta Abbas selama ini tak akan pernah ia sesali. Meskipun ikatan halal belum ia dapatkan.
"Kenapa melihatnya begitu?" tanya Abbas seraya mengangkat gelasnya. Ia menyeruput minuman dingin itu.
"Karena aku bahagia," jawab Syara dengan mata yang berpendar. Kedua bola mata itu tak pernah berhenti mengagumi sosok pria di depannya.
Abbas menyunggingkan senyum. Ia merasa separuh hidupnya kembali setelah beberapa bulan kosong tanpa isi. Keputusan sepihak Syara saat memutuskan hubungan membuatnya merasa kesepian sekaligus menyadari betapa berharganya sosok perempuan itu. Meski ia menyimpan banyak hal tentang masalahnya, ia tetap bisa bahagia. Seperti ucapan Syara.
"Habis ini kita ke mana? Ada tempat yang mau kamu kunjungi gak?" tanya Syara seakan jalan-jalan mereka belum lama.
"Aku ngikut kamu. Kemanapun itu," jawab Abbas membuat Syara tersipu. Keduanya saling menebar cinta.
Ponsel Abbas bergetar. Membuat pria itu sedikit terkejut. Harusnya tak ada yang menghubunginya. Hanya beberapa orang yang tahu nomor itu. Syara tengah memandang panorama kota sembari menghabiskan greentea latte. Ia tak begitu fokus dengan aktivitas kekasihnya itu. Dengan cepat Abbas meraih ponsel dari dalam saku celana. Ia pun membuka ponselnya.
Sebuah pesan berisi beberapa foto melesak masuk. Abbas mengklik semua foto tersebut. Menunggu unduhan selesai. Seketika ia membuka mata lebar-lebar.
"Syara dan Arafan?" tanyanya dalam hati.