Sore yang tinggal beberapa jam saja berganti malam terasa menyedihkan bagi perempuan yang besok akan melahirkan. Ia dengan segala kerelaan melepas suaminya pergi untuk agenda bisnis yang menjadi sumber utama penghasilan keluarga. Sebenarnya tak masalah ia ditinggalkan seorang diri tanpa penjaga di bangsal rumah sakit itu. Sudah terbiasa ia menerima kesepian menjadi teman. Hanya saja kepergian suaminya kali ini menyisakan duka yang teramat dalam untuknya. Saat ia mendapati fakta suaminya bisa saja berbohong dan mencoba memanipulasi hubungan mereka.
Arafan terus menggenggam tangan Hanania sampai akhirnya Dimas benar-benar mengajaknya berangkat agar tidak ketinggalan waktu penerbangan. Laki-laki itu bahkan tak sempat memikirkan opsi tambahan untuk keadaan yang mereka alami. Ia hanya berfokus pada rasa sesal tak bisa menemani istri tercintanya melahirkan anak mereka.
"Beneran gak apa-apa, Nin?" tanya Arafan lagi sebelum ia keluar dari ruang rawat inap itu. Hanania pun mengangguk mantap.
"Nanti aku bisa telpon Ibu sama Andara buat nemenin aku. Atau aku bisa kasih tahu Kak Nurma. Paling dekat kan dia dari tempat ini." Hanania berujar santai.
"Maafin aku, Nin. Maafin aku kalau aku terus mengecewakanmu," ucap Arafan masih merasa berat meninggalkan Hanania.
"Tidak, Mas. Kamu tidak mengecewakan aku. Aku justru bangga. Karena kamu pergi untuk memenuhi tanggung jawab kamu. Aku pastikan aku akan baik-baik aja di sini," jawab Hanania. Ia mulai melepas genggaman tangan Arafan. Sorot matanya juga tak henti menatap pintu yang terbuka. Dimas sudah menunggu.
Arafan menoleh sekilas. Ia meyakinkan diri pilihan yang ia ambil tidak salah. Meski berat ia pun meninggalkan Hanania. Pintu kamar inap itu ia tutup. Untuk kemudian melangkah maju mengejar Dimas yang sudah jalan terlebih dahulu. Dalam hati Arafan berikrar. Ia akan segera kembali setelah urusannya selesai. Ia akan menemani Hanania di ruang operasi.
Hanania menatap kosong daun pintu yang tertutup rapat. Sekuat hati menahan air mata agar tak jatuh, tak bisa ia lakukan saat Arafan sudah pergi. Perasaan yang datang jauh lebih menyengsarakan dibandingkan saat ia ditinggalkan Arafan sebelumnya. Dulu ia tak tahu suaminya memiliki hubungan lain dengan seorang wanita. Kali ini ia mengetahuinya.
Ponsel yang sedari tadi terletak di atas meja dekat dengan ranjang, ia ambil. Kembali membuka pesan dari laki-laki yang tak ia kenal. Diamatinya lagi foto itu. Ia mencoba mencari tahu sosok perempuan bergaun putih yang bersama Arafan. Ia seperti pernah melihatnya. Baru saja Hanania akan mengirimkan balasan sebagai pertanyaan lanjutan pada nomor tersebut ponselnya bergetar. Sebuah pesan sudah masuk duluan.
Kak Nurma : Aku datang setelah pulang dari kantor, ya. Sekalian nginep.
Hanania tersenyum getir. Sahabatnya yang bahkan sudah tidak satu kantor tetap peduli dan selalu ada saat masa tersulitnya. Dengan linangan air mata Hanania membalasnya.
Hanania : Thanks, Kak
Ia tak mampu menuliskan banyak kata di pesan itu. Ia belum memastikan apa benar Arafan memiliki hubungan dengan wanita lain. Dalam waktu yang sama Hanania mengalami inkonsistensi rasa dan pemikiran. Sebuah ketukan membuyarkan fokusnya. Dengan cepat Hanania menyeka air matanya.
"Ibu Hanania bisa mengganti pakaian dengan ini, ya," ucap perawat berseragam biru muda.
"Ah, iya. Terima kasih suster," jawab Hanania. Dengan bantuan perawat, Hanania mengganti pakaian.
Tak lama setelah memeriksa kamar Hanania perawat itu pergi. Kembali Hanania mengeluarkan ponselnya. Ia tak bisa langsung berbaring. Fokusnya sedang terganggu. Tepat saat Hanania memperbesar layar ponsel, sebuah panggilan telepon menyentaknya. Dengan cepat ia mengangkatnya.
Hallo, Han? Gimana kondisi kamu, Nak? Lusa Ibu berangkat, ya.
Suara Ibu Hening menghangatkan hati Hanania. Ia merasa tidak sendirian di dunia ini.
"Baik, Bu. Hana baik-baik aja. Dari mana Ibu tahu?" tanya Hanania. Ia bahkan belum memberi kabar pada keluarganya.
Arafan telpon Ibu. Dia minta maaf karena ada urusan mendadak. Kamu yang sabar, ya, Nak. Gak didampingi suami dulu.
Bu Hening selalu menghormati menantunya. Saat menantunya meminta bantuan, ia dengan segera mengiyakan.
"Iya, Bu. Gak apa-apa. Di sini juga ada dokter sama perawat yang baik-baik," ucap Hanania menutupi. Hati kecilnya sebenarnya merasakan sepi.
Syukurlah kalau begitu. Ibu siap-siap dulu ya, Nak. Tunggu Ibu di sana. Kamu pokoknya baik-baik.
Bu Hening memberikan pesan. Setelah beberapa kata perpisahan mereka mengakhiri panggilan. Konsentrasi Hanania terpecah beberapa saat. Ia pun kembali pada pesan yang mengganggu pikirannya. Kembali juga mengamati wajah perempuan yang ada di dalam foto itu. Ingatannya menerawang jauh. Mencoba mengingat kembali wajah itu. Ia mengais setiap momen pertemuannya dengan orang-orang yang kebetulan tidak banyak. Ia jarang berinteraksi dengan teman-teman Arafan.
Satu identitas ia dapatkan. Namun, benarkah itu Syara?
Dengan perasaan tak percaya Hanania terus menggeleng. Tidak mungkin wanita itu. Tidak mungkin. Tanpa berpikir lagi satu nama berhasil menarik perhatiannya. Ia pun meneruskan pesan itu pada Abbas Reyhan yang dulu pernah menghubunginya.
***
Sepanjang perjalanan menuju bandara Arafan lebih banyak diam. Ia tak menanyakan lebih lanjut perihal pertemuan itu. Pikirannya kosong. Dimas yang berada di sampingnya berusaha memaklumi. Sahabatnya sedang tidak dalam performa yang baik. Kondisinya sedang sulit. Meski begitu, tak selayaknya Arafan segusar itu.
"Bukannya sudah sering ninggalin Hanania? Bahkan nyaris menduakannya?" tanya Dimas. Ia menberanikan diri mengucap kata itu. Sontak Arafan menoleh.
"Aku tidak mendua, Dim. Aku cuma khilaf," jawab Arafan seolah ia tak melakukan perbuatan dosa. Dimas tekekeh. Ia tak mengira jawaban Arafan seklasik itu.
"Ya. Namanya selingkuh awalnya ya begitu. Dekat, kesepian, curhat, terus jadian. Udah muter aja terus sampai kalian bosan." Dimas mencoba bicara santai. Tatapan Arafan semakin sinis.
"Aku tahu kalian gak resmi saling mengungkapkan cinta, tapi kalau sampai ke mana-man berdua, jalan bareng sampai alasan ngantor dibawa-bawa itu udah salah banget."
"Gue gak ada hubungan sama Syara. Dan gue juga tahu gue salah. Dia masih suka sama mantannya." Arafan tak mau disalahkan. Ia merasa tidak melakukan kesalahan.
"Abbas akan dengan mudah menerima lagi perempuan itu. Abbas gak bakal marah apalagi ninggalin. Dia tipe yang setia. Tapi Hanania?” Dimas menggantung kalimatnya. “Loe pernah mikir gak, Fan? Apa iya dia bisa nerima? Tambah pengalaman buruknya soal perselingkuhan loe sebelumnya. Loe gak pernah kepikiran itu?" tanya Dimas dengan pandangan lurus ke depan. Seolah obrolan mereka tak berkesan.
Pertanyaan Dimas mengoyak hati Arafan. Ia memang tidak suka dengan sikap sahabatnya yang berubah drastis. Semenjak terobsesi dengan Syara fokus Arafan berubah. Ia tak lagi memikirkan perusahaan. Aset Daisha Bakery dan Lapis Legit juga berantakan. Lebih parah lagi ia mengabaikan Hanania yang ia diamkan di perumahaan. Tanpa teman, tanpa kegiatan dan tanpa kasih sayang. Arafan tak mampu menjawab pertanyaan Dimas. Ia memang seburuk itu selama menggeser hatinya menjadi bukan untuk Hanania.