Part 14 : Pagi yang Menyentak

1048 Words
Arafan membuka matanya. Sinar mentari yang menyembul dari gorden jendela cukup menyilaukan. Laki-laki itu tak begitu ingat apa yan sudah terjadi. Yang pasti ia merasa kepalanya pening. Perlahan Arafan menangkap area kamar hotel tempatnya menginap. Ia bersiap menyingkap selimutnya. "Astaghfirulloh apa-apaan ini!" teriaknya menyadari tak mengenakan apa-apa. Refleks Arafan menutup kembali selimut itu. "Siapa kamu?" tanya Arafan kemudian pada wanita di sampingnya. Daisha yang baru terbangun tak menyadari bahwa ia sedang tidak bermimpi. Ia bahkan tersenyum manis pada Arafan. "Daisha? Apa-apaan ini?" Perempuan itu juga sama seperti dirinya tidak mengenakan apa-apa. Perlahan Daisha mengedarkan pandangan. Menangkap bahwa interior yang ada seperti kamar miliknya. Ia tidak salah masuk kamar orang lagi. Arafan kembali menarik selimut hingga tanpa sengaja membuat tubuh Daisha terekspos lebih banyak. Sontak Arafan mengalihkan pandang. "Apa-apaan ini?!" pekik Daisha. Selimut yang ditarik Arafan membuatnya tersadar. Dengan cepat ia meraih bantal dan menutupkannya pada tubuh. "Aku nggak tahu. Sama sekali nggak tahu." Arafan membelakangi Daisha. Tubuhnya ia bungkus dengan selimut. Wajahnya berubah pucat. "Tapi kenapa kamu bisa di kamarku? Kenapa kita dalam kondisi seperti ini?" tanya Daisha. Ia tak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang ia rasakan. Tidur bersama Arafan tetaplah sebuah kesalahan. "Aku nggak tahu, Sha. Sama sekali nggak tahu. Terakhir kita hanya makan bersama lalu kita berakhir di kamar dengan kondisi seperti ini." Arafan tak bisa menyembunyikan penyesalan. Ia merasa dirinya sangat hina. Mengingat Hanania yang bahkan ia tinggal di negerinya. "Sebentar, makan malam?" tanya Daisha mengingat sesuatu. Arafan mengangguk. Ia tak melihat Daisha sama sekali. Sambil menatap punggung Arafan, Daisha mulai memikirkan segala macam kemungkinan. Bisa jadi ini ulah Briyan. "Kamu tidak melakukan apa-apa, ‘kan? Mana aku tahu kamu tidak menyentuhku sama sekali!" Kali ini Daisha justru takut ia telah ternoda. Arafan menggeleng. Ia tidak ingat apa-apa. Ia bahkan tak bisa membayangkan apa yang terjadi semalaman. "Biar aku keluar dulu dari kamar ini. Aku harus balik ke Jakarta. Istriku hari ini akan melahirkan." Arafan berdiri. Ia berjalan ke arah pakaiannya yang tergeletak di lantai. Dengan cepat meraih itu, lalu berlalu ke kamar mandi. Tak mungkin ia mengganti pakaian di depan Daisha. Dengan kecamuk rasa yang tak bisa didefinisikan, Arafan menghilang dari balik pintu. Sementara Daisha mengamati tubuhnya sendiri. Satu benang pun tak ada. Jika memang Briyan yang melakukan, maka pria itulah yang telah menikmati kemolekan tubuhnya. Pasti saat melucuti gaun miliknya, Briyan mengamati. Tidak mungkin tidak. Bisa jadi Arafan justru sudah terlelap karena mabuk. Daisha pun merasa kesal. Ia harus segera memberi hukuman pada personal asistennya itu. "Dasar, payah!" ucapnya lantas meletakkan kembali bantal itu.  Arafan keluar dari kamar mandi setelah mengenakan pakaiannya kembali. Ia mencari ponsel miliknya di saku dan masih ada. Daisha yang tadi menunggu di ranjang kamar hotel itu masih dengan posisi sama. Menutup tubuh dengan bantal. Arafan tak peduli lagi. Secepat kilat pergi dari kamar tersebut. Ia membuka ponselnya dan mencoba menghubungi Dimas. Namun, nomor Dimas tidak aktif. Segera Arafan menyambangi kamar inap untuk Dimas. Pintu kamar tersebut tidak dikunci. Namun, tak lagi berpenghuni. “Loe udah balik?” tanya Dimas yang tiba-tiba keluar dari kamar mandi kamar hotel. Ia mengusap perutnya. “Mules dari subuh,” ucapnya kemudian seraya berjalan ke arah Arafan. “Loe baik-baik aja, Dim?” Arafan mencoba mengecek kondisi sahabatnya. Semalaman ia tidak ingat apa-apa. “Kepala gue sedikit pusing waktu bangun. Terus perut gak bisa diajak kompromi. Heran rasanya. Semalam kita makan apa, ya?” Dimas mencoba mengais memorinya. Sama seperti Arafan ia juga dalam kondisi tidak sadar. “Makan makanan yang dibawakan pelayan,” jawab Arafan seraya memikirkan sesuatu. Sebuah kejanggalan dari peristiwa malam hingga menjelang siang. “Ah iya bener. Habis itu kita kaya mabok.” Dimas kembali menjadi Dimas. Sahabat Arafan yang suka bercanda. “Loe nginep di mana, Sa? Kamar tambahan?” tanya Dimas menyadari pagi tadi sahabatnya tidak ada. “Gue di sofa lobi. Ketiduran di sana,” jawab Arafan singkat. Ia pun berdiri dan melepas jas yang ia kenakan. Menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Pintu itu ia tutup rapat. Kembali Arafan mengingat momen tertangkapnya ia bersama Daisha di sebuah kamar. Ia tak pernah mengira hal semacam itu akan terjadi padanya. Perlahan Arafan mengguyur badan. Membersihkan setiap lapisan kulit yang ia miliki. Ia tampak sangat menyedihkan. Wajah perempuan yang jelas-jelas tidak mengenakan apa-apa berada di sampingnya tertidur pulas, membuatnya merasa hina juga berdosa. Ia bahkan menciderai matanya dengan melihat pemandangan itu. Perempuan yang tak lain adalah Daisha, putri Pak Rajandra yang punya hubungan baik dengan mendiang mamahnya. Arafan menekan tombol shower agar mengalirkan air lebih deras. Berharap segala kesalahan dan dosanya bisa luntur. Laki-laki yang dulu berpendirian sangat lurus itu kian menyedihkan. Terlebih saat wajah istrinya terbayang. Terjebak dengan wanita lain membuatnya sulit bernapas. Ia seakan dicekik oleh penyesalan. Satu jam berikutnya sebuah ketukan terdengar. Lebih tepatnya Dimas menggedor pintu kamar mandi itu. “Fan, loe gak lagi semedi, ‘kan? Kita mau balik Jakarta jam berapa?!” teriak Dimas. Guyuran air membuat kata-kata Dimas sulit terdengar. Sadar telah cukup lama berada di kamar mandi, Arafan pun menyudahi sesi pembersihan dirinya. Ia menyambar handuk dan mengeringkan tubuh. Lalu mengenakan kembali pakaian yang ia kenakan sebelumnya. “Sorry, tadi nyaris ketiduran,” ucap Arafan saat kembali ke kamar. “Payah loe. Jadi pulang, gak?” Mata Dimas membulat. Kesal akan sikap Arafan yang lama di kamar mandi. Arafan mengangguk. Ia setuju dengan usul sahabatnya untuk segera kembali ke Jakarta. Akan tetapi tiba-tiba mereka tertahan karena ada undangan pertemuan dadakan pemegang saham. Arafan gagal menunaikan janjinya mendampingi Hanania melahirkan.  *** Arafan mencoba mengingat apa yang terjadi. Ia bahkan tak menghubungi Hanania sama sekali. Dengan segera laki-laki itu melakukan panggilan untuk istrinya. Tersambung, tetapi tidak langsung diangkat. “Please, Nin. Jawab teleponku,” ucap Arafan. Ia nyaris tak bisa membayangkan bagaimana kondisi istrinya. Selang tak begitu lama suara Hanania terdengar di telinga Arafan. Halo, Mas. Suara yang sering ia abaikan membuat Arafan merasa lega. “Kamu baik-baik aja, Nin? Apa kamu sudah dioperasi?” tanya Arafan merasa sangat bersalah. Sudah, Mas. Putri kita lahir dengan selamat. Dari panggilan itu Hanania memberi kabar bahagia untuk suaminya. “Alhamdulillah, Ya Allah.” Arafan berucap syukur. Ia tak kuasa menahan haru mendengar kabar itu. “Tunggu sebentar, ya, Nin. Hari ini aku pulang.” Ya, Mas. Aku tunggu. Setelah mengucap salam Arafan pun menutup teleponnya. Ia benar-benar merasa lega Hanania baik-baik saja. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD