I am Nobody

1163 Words
*** Cukup tahu diri, aku bukan siapa-siapa. *** Atha diam melihat pemandangan di depannya. Apa Atlan meminta menemaninya hanya untuk ...? Ah sudahlah. Untungnya Atha tidak bersiap-siap tadi, karena pasti semuanya akan sia-sia. "Namanya Sisil. Lengkung Bintang Sisilia," ucap Atlan sembari mengelus pipi gadis yang tengah memakai beberapa alat medis di tubuh putihnya. Siapa namanya tadi? Lengkung Bintang Sisilia? Nama yang aneh, hampir seperti Atlan. Atha heran, kenapa gadis ini selalu tertidur saat ia dan Atlan ke sini? Kenapa pula tidak ada yang menjenguknya? "Dia cantik, 'kan, Tha?" tanya Atlan. Atha masih diam. Entah kenapa sedikit enggan bereaksi. "Cantik, 'kan, Tha?" ulang Atlan. "Iya, cantik," jawab Atha jujur. "Iya. Dia emang selalu cantik. Apalagi kalo senyum." Atlan tersenyum ke arah Sisil. Senyum yang begitu menyiratkan ketulusan. "Dia juga agak pendiam, loh, sama kayak lo," lanjut Atlan. Atha tidak bereaksi. "Sayang dia sekarang bener-bener diam, sama sekali nggak ngomong, bahkan nggak buka mata," celoteh Atlan sembari terkekeh garing. Ada kesedihan di sana. "Kenapa?" tanya Atha akhirnya. "Sisil lagi tidur panjang. Hibernasi katanya, capek nanggung beban hidup. Bentar lagi juga bangun, ya, enggak, Sil?" Atlan sedang basa-basi. "Dia ... koma?" tanya Atha pelan. Atlan terdiam sebentar. Atha mengira Atlan marah, tapi pikiran itu buyar ketika melihat anggukan lemah Atlan. Atha penasaran. Ia memposisikan diri dengan duduk di samping Atlan. "Boleh tau, kenapa?" tanya Atha pelan. Seperti terhipnotis, Atlan mulai bercerita. "Sisil kecelakaan. Setahun yang lalu. Gue penyebabnya," lirih Atlan. Atha menyimak. "Sisil suka renang, saking sukanya sampe dia jadi jago. Dia itu atlet. Sering ikut lomba, menang juga. Dia kebanggaan gue. Tapi ... setahun lalu ada kejuaraan renang tingkat nasional. Saat kondisinya lagi sakit, dia maksa ikut. Gue nggak mau dia ikut lomba itu, walau pun gue tau itu lomba bergengsi banget buat para perenang. Tapi gue tetep nggak bisa ngebiarin Sisil renang di kondisinya yang nggak fit. Itu bisa jadi boomerang buat dirinya sendiri." "Hari H perlombaan, Sisil ternyata keras kepala. Dia udah kabur dari kamarnya. Gue kelimpungan. Gue cari di tempat lombanya, dan ada. Dia lagi menggigil di tepi kolam, bahkan sebelum lombanya dimulai. Gue tarik Sisil ke mobil, nggak gue peduliin suara tangisnya, jeritannya, dan tatapan orang-orang di sana." "Sampai di depan mobil, Sisil berhasil ngelepas cengkeraman tangan gue, dan nampar gue. Di situ ... hati gue yang sakit, bukan pipi gue. Gue marah, sumpah. Baru kali itu Sisil berani sama gue, jadi gue dorong dia ke dalam mobil, gue buru-buru ikut masuk, dan jalanin mobilnya dengan kecepatan penuh. Sisil masih teriak-teriak ke gue sambil nangis, dan gue masih nyetir sambil diam. Tapi diamnya gue itu ngelamun. Gue enggak sadar kalo gue nerobos lampu merah di perempatan, ada truk dari arah kiri, dan truk itu ... Sisil ...." Suara Atlan tercekat. Ia semakin menunduk. Menciumi tangan Sisil. Sedangkan Atha menahan napas. Yang terjadi selanjutnya apa? "Abis itu ...." Suara Atlan benar-benar serak. Atha mengambil minum, ia sodorkan ke hadapan Atlan. Atlan menerimanya, lalu menengguk air itu sampai habis. Ia terdiam lama. "Mobil gue terpental jauh, kira-kira sepuluh meter. Mobil gue sampai terbalik. Untungnya gue pake sabuk pengaman, jadi gue hanya luka di jidat gue doang. Tapi Sisil ... dia enggak pake sabuk pengaman. Gue juga ceroboh nggak pasang airbag di mobil." "Saking kerasnya benturan antara kepala truk dan kaca jendela, kaca itu pecah ... beberapa nempel di kepala Sisil, sebagian di mukanya. Gue panik. Tubuh gue gemetar saat liat keadaan Sisil. Penuh darah. Gobloknya, gue kayak orang i***t. Gue masih shock, gue masih mikir, ini mimpi atau sungguhan." "Tapi setelah gue ambil pecahan kaca, dan gue tusuk ke lengan gue ... berdarah, sakit. Lepas itu, gue percaya kejadian barusan nyata. Ditambah banyak orang-orang yang datang. Setelah itu gue enggak inget, semua gelap." Mata Atlan memerah. Atha mengusap punggung Atlan. Atha tidak percaya Atlan punya cerita mengerikan seperti itu. "Gue nggak tau gimana cara nebus kesalahan gue," ucapnya lagi. Atha masih setia mengusap punggung Atlan, sebelum ... Atlan memeluk dirinya. Atha mematung. Napasnya tercekat. Baru kali ini Atha sedekat ini dengan laki-laki lain selain Agra. Mungkin sedikit lancang, tetapi Atha tahu situasi. Mungkin Atlan butuh sandaran dan juga terbawa suasana. Ia tak boleh baper. Meski ... Atha ingin sekali membalas pelukan Atlan. Baru saja ia hendak membalas pelukan itu, Atlan melepaskan dekapannya. Membuat tubuh Atha merasa kehilangan. "Thanks udah mau nemenin gue, jadi tempat curhat gue," ucapnya tulus. Atha tersenyum. "Boleh gue nanya sesuatu?" tanya Atha. Atlan mengangguk. Atha diam sejenak, menimbang apakah akan bertanya tentang hal ini atau tidak. Tapi ia sudah sangat penasaran. "Sisil ... dia siapa lo?" Akhirnya keluar. Sudah lama Atha ingin menanyakan hal ini, namun ia sungkan. Atha sebenarnya sedikit takut kalau Atlan menganggapnya ikut campur. Bukannya menjawab, Atlan justru tersenyum. Ia kembali mencium punggung tangan Sisil yang terbebas dari selang. Atha setia menanti jawaban Atlan. Setelah kira-kira lima menit, barulah Atlan kembali bersuara. "Sisil orang yang sangat berharga. Melebihi apapun." Walaupun menggantung dan tidak menjawab dengan jelas, penuturan Atlan sudah cukup menandakan bahwa Sisil sangat berarti, 'kan? Oke, Atha tidak ingin bertanya lagi. Walaupun hatinya masih terus menerus mengulang pertanyaan itu. "Ayo, Tha," ajak Atlan. Ia sudah berdiri setelah mengecup lama kening Sisil yang di perban. "Ke mana?" tanya Atha. "Ke mana aja, yang penting sama lo," ucap Atlan tulus. Lalu menggandeng tangan Atha keluar dari ruangan VVIP itu. Atha terhenyak. Sebenarnya, Atlan ini menganggap Atha apa? Jika tidak suka, jangan perlakukan Atha seperti ini. Atha bingung hendak bereaksi bagaimana. Mau geer dikira murahan. Mau diabaikan, dibilang kecentilan. Apa ia harus menanyakan hal ini pada Atlan? Bagaimana pun, ini menyangkut Kay karena saat ini Atlan sudah menembak Kay. Juga hal ini menyangkut ... hatinya. *** Atha dan Atlan menghabiskan waktu dengan makan di warung pinggir jalan. Hampir tiga jam Atha pergi. Sekarang Atha bingung bagaimana kalau ibunya tahu ia pergi tanpa pamit? Namun Atha berpikir pasti ibu dan Agra sudah tidur. "Asik banget kencannya sampe pulang jam 10?" Atha terhenyak. Ada Agra dibalik pintu kamarnya. Sebenarnya ia takut, tapi ia harus menepati ucapannya tempo hari, bahwa ia akan sedikit menjaga jarak dengan Agra. "Agra ...." "Gimana rasanya? Udah jadian? Apa udah pelukan? Atau cium—" "Enggak. Gue sama Atlan enggak ada apa-apa," sela Atha. "Enggak ada apa-apa tapi sering chat, jalan. Bukannya lo udah tau Atlan nembak Kay? Lo d***u atau i***t?" tanya Agra. "Nggak usah ngurusin gue. Bukannya lo sendiri yang nggak mau gue repotin?" tanya Atha sarkas. Kini ia harus berani dengan Agra. Agra terdiam. Sedikit merasa bersalah tapi banyak marahnya. "Belajar ketus dari mana?" Agra balik bertanya. "Dari laki-laki yang dulu bareng gue di rahim ibu. Dari laki-laki yang enggak mengharapkan keadaan gue." Ucapan tajam Atha membuat Agra tersentak. Atha ... kenapa? "Lo—" "Apa lagi?" tanya Atha berusaha ketus. "Mending kayak gini dari dulu!" Agra mendahului Atha. Ia keluar dari kamar Atha. Atha terduduk. Meski sulit, ia harus tetap mencoba ketus pada Agra. Ayolah, ini hal yang tidak sepele. Bisa-bisa Agra bertambah jauh dengannya. Tapi jika tidak begitu .... Ah, Atha pusing. Ia merebahkan tubuhnya, lalu perlahan terlelap. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD