Sorry

1159 Words
*** Jika memang sudah tidak diharapkan lagi, aku akan mencoba untuk tidak lagi peduli. *** "Tha ...." Atha langsung menengok ke sumber suara. Orang itu ... Cakra. "Ngapain di sini?" Padahal Atha berharap itu Agra, atau ... Atlan mungkin? Namun ia tahu, itu semua hanya sebuah harapan. "Enggak papa," jawab Atha. Cakra memposisikan dirinya untuk duduk di samping Atha. "Eh, jangan duduk di pinggir jalan. Nanti jadi bahan gunjingan orang," kata Atha. "Lo sendiri?" tanya Cakra retorik. "Ya udah, ayo cari tempat duduk." Atha berjalan mengikuti Cakra. Mereka duduk di depan sebuah masjid. "Ada masalah, Tha?" tanya Cakra. Atha menggeleng pelan. "Kenapa gue selalu ngerasa kalo lo tuh ngehindarin gue, ya, Tha? Gue punya salah? Atau lo benci sama gue?" "Enggak, Cak. Cuma nggak mau Kay cemburu," tutur Atha jujur. "Kay?" Kekehan Cakra membuat Atha menoleh. "Jadi bener kata orang-orang, kalo lo setia kawan, banget malah. Tapi, Tha, kalo cuma omong-omongan biasa sih, ya enggak papa, kali. Lagian, 'kan, gue sama Kay udah mantan," terang Cakra, "ya, walaupun gue masih suka sama Kay sih ... tadinya gue kira Kay masih suka sama gue, niatnya mau gue ajak balikan. Tapi, ada kabar kalo Kay deket sama Atlan, jadi gue mundur. Gue sadar diri lah, ya, enggak ada apa-apanya." Atha masih diam mendengar cerita Cakra. Ia bingung hendak komentar apa. "Eh sori, gue kayak sok kenal banget ya sampe curcol gini." Cakra terkekeh. "Enggak papa," jawab Atha. "Kok responsnya cuma enggak papa terus, Tha?" tanya Cakra. "Lebih baik mendengarkan." "Oh gitu ... ah iya gue kira elo yang lagi deket sama Atlan," ucap Cakra. Atha diam sejenak. "Enggak." "Ayo pulang, gue anter," kata Cakra. "Enggak usah." "Eh sebentar ... tangan sama lutut lo kenapa?" tanya Cakra. Atha berusaha menutupi lukanya. Tapi telat, Cakra sudah mengambil alih tangan kirinya. "Tunggu di sini, kayaknya gue punya obat di mobil." Atha menatap punggung Cakra. Cakra perhatian bahkan pada orang yang tidak akrab dengannya. Namun, Kay bilang Cakra tidak perhatian? "Siniin tangan lo." Atha terkesiap. Ternyata Cakra sudah mengambil kotak obat dari mobilnya. Ia mulai mengobati luka Atha dengan telaten. "Lo ngelamun? Masalah lo berat banget, ya? Tetap enggak mau cerita?" tanya Cakra tanpa mengalihkan pandangannya dari luka Atha. Atha menggeleng kecil. Entah Cakra melihat gelengan itu atau tidak, Atha tidak peduli. Ia sedang tidak ingin banyak bicara. "Udah selesai," ucap Cakra semringah sambil melihat hasil perbannya. Atha melihat tangan kiri dan lututnya. Tidak terlalu buruk. "Pulang sama gue, ya?" tanya Cakra dengan suara lembut. Atha sedikit terlena dengan suara itu. Andai saja Cakra ini Agra .... "Tha?" panggil Cakra. Atha terkesiap. "Iya." Cakra tersenyum lebar sedangkan Atha meringis mendapati mulutnya yang kelepasan. "Oke. Salat dulu, yuk," ajak Cakra. Atha menggeleng sembari tersenyum tipis. Cakra mengangguk takzim. "Ya udah tunggu gue ya, sebentar kok." Atha mengangguk patuh. Lalu Cakra melepas sepatunya, berjalan ke arah tempat wudu. *** "Rumah lo di mana?" tanya Cakra pada Atha yang sedang melamun menghadap jalanan di luar. "Anterin aja ke rumah Kay, mau ke sana dulu, ada urusan," kata Atha sedikit berbohong. Tidak ada obrolan lagi setelahnya. Baik Atha maupun Cakra sama-sama diam. Keduanya fokus pada kegiatan masing-masing. Cakra menyetir, sedangkan Atha melamun. Sepuluh menit kemudian, sampailah mereka di depan rumah gedongan yang besar. Atha sejenak ragu. Dipandanginya rumah yang setiap hari ia tumpangi. Atha menghela napas, melepas seatbeltnya, lalu keluar dari mobil merah Cakra. Tak Atha sangka, Cakra sudah menunggunya di luar. "Cak, makasih udah anterin," ucap Atha tulus. "Sama-sama. Ya udah, yuk masuk," kata Cakra. "Eh?" seru Atha terkejut. "Kenapa?" tanya Cakra. "Lo ikut masuk?" Atha berbalik tanya. "'Kan gue juga ada urusan sama Kay, barengan aja." Atha pasrah. Ia berjalan di belakang Cakra. Ting tong, ting tong. Atha sangat berharap Heru dan Atlan sudah pulang, lalu Agra dan Kay pergi. Namun, menurutnya itu harapan bodoh, karena mobil Kay, serta motor milik Agra, Atlan, dan Heru terparkir manis di halaman rumah. Baru saja harapannya selesai diucapkan dalam hati, pintu rumah itu terbuka. Harapan Atha pupus. Lututnya lemas seakan sudah tidak bisa menahan beban tubuhnya lagi. Ada Agra yang tengah menatapnya tajam. "Eh Agra?" kata Cakra refleks. Tatapan Agra beralih pada Cakra. Lalu balik menatap Atha, begitu terus hingga berulang kali. Setelahnya, Agra tersenyum miring yang membuat Atha merinding. Atha tahu apa arti senyuman itu. Ia menunduk. "Siapa, Gra?" tanya Kay dari dalam. "Cakra." Agra menatap Cakra sebelum kembali bicara, "masuk." Agra mempersilakan dan Cakra langsung masuk. Baru saja Atha hendak melangkah, tangannya sudah dicekal oleh Agra. "Siapa yang suruh lo masuk?" desis Agra. Atha semakin menunduk. "Ikut gue." Agra menarik tangan Atha cukup keras, hingga Atha mengaduh, "Gra, lepas, sakit." Agra seolah tuli. Ia tetap menarik Atha hingga mereka tiba di belakang rumah yang minim pencahayaan. Agra melepaskan cekalannya. "Mau lo apa?" tanya Agra masih dengan suara rendah. Atha memberanikan diri menatap Agra. Baru sedetik, ia kembali menunduk. Agra berdiri tepat di depannya. Jarak mereka hanya berkisar beberapa senti. "Bisu?" Agra bertanya sarkas. Atha menggeleng dua kali. "Masih kurang lo hancurin gue?" Atha kembali diam. Di pelipisnya sudah mengalir keringat dingin yang selalu menemani Atha ketika ia bersama Agra. "Tadi lo sengaja, 'kan?" Atha menggeleng pelan. "Lo punya mulut, ya jawab!" sentak Agra. Nada suaranya naik satu oktaf. "Enggak." "Sok suci," cibir Agra, "kenapa lo pulang sama Cakra?" "Kenapa emangnya?" tanya Atha memberanikan diri. "Kayaknya lebih baik lo enggak usah pulang tadi." Jawaban Agra membuat hati Atha mencelus. Ini pengusiran? Atha menahan air matanya. "Kok lo ngomongnya gitu? Gue salah apa?" tanya Atha. Ia ingin berani, walau sedikit. "Salah lo? Bukannya gue udah pernah bilang? Lo itu nyusahin!" Lagi. Atha menunduk. "Segitu nyusahinnya?" Atha kembali bertanya walau ia tahu .... "Iya! Harusnya lo dulu enggak ada!" .... Jawaban Agra akan lebih membuatnya sakit hati. Tes. Air mata Atha jatuh tepat di kaki Agra yang hanya memakai sandal jepit rumahan. Sudah sekuat tenaga ia menahan tapi ia tak kuasa. Harusnya lo dulu enggak ada. Entah kenapa hatinya sesak mendengar kalimat yang dilontarkan Agra. Agra sama sekali tidak menginginkan kehadirannya? Agra membalikkan badannya, lantas memegang area dadanya. Ia ikut merasakan perasaan ini, sial! Tubuh Agra sangat ingin memeluk Atha. Mengelus rambut Atha. Menghapus air mata Atha. Mengecup kening Atha. Menenangkan Atha. Meminjamkan bahunya untuk Atha. Namun, otaknya berkata lain. Agra tipikal orang yang lebih mengutamakan otak dibanding hatinya. "Maaf, ya, selama ini gue nyusahin lo, Agra." Agra kembali menghadap Atha. Perempuan itu bicara sambil menunduk. "Agra, nanti bilangin sama Radi, jangan benci lagi sama Diska. Diska mau ketemu sama Radi lagi. Diska mau dipeluk lagi sama Radi ...." "Bukan justru enggak dianggep, enggak diharapkan, dibentak, dan diusir sama Agra. Diska kangen Radi yang dulu," lirih Atha. Hati Agra seakan tersayat silet. Perih mendengar Atha bicara seperti itu. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak munafik, Agra mengakui bahwa itu salahnya karena bersikap seperti itu pada Atha. "Masuk ke rumah lewat pintu belakang," perintah Agra, lalu ia melengang pergi. Atha mengusap air matanya. Ia menuruti perintah Agra dan mencari jawaban yang pas untuk menjawab pertanyaan ibunya nanti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD