Such A Messy Day ....

1132 Words
*** Sepertinya, aku memang ditakdirkan untuk menjadi seorang pecundang. *** Atha mengerjapkan matanya. Membiasakan matanya menerima cahaya yang masuk. Kepalanya masih pusing walau tidak terlalu terasa. Ia melirik jam dinding di ruangan itu. Pukul enam sore. Di mana ia? Atha menengok ke sekelilingnya. Ini kamarnya. Siapa yang membawanya ke sini? Agra? Agra ...? Keringat kembali membasahi tubuh Atha. Ke mana Agra sekarang? Apakah tangannya sudah diobati? Atha turun dari kasurnya. Lalu meringis. Ternyata lututnya juga terluka. Namun tidak separah telapak tangannya. Untung saja yang terluka telapak tangan kiri, karena jika kanan, Atha yakin ia tidak akan bisa menulis dengan baik. Saat Atha hendak mengambil obat, pintu kamarnya terbuka. Tampak Kay yang datang dengan wajah ceria. Atha segera duduk kembali di atas kasurnya sambil menutupi lututnya yang terluka dengan selimut. "Athaaa!" seru Kay. "Iya, kenapa?" "Tau enggak?" tanya Kay. "Enggak, lah," jawab Atha. "Gue ditembak Atlaaaaan!" teriak Kay sembari melompat-lompat di kasurnya. Tak sengaja Kay menginjak lutut Atha yang terluka. Atha refleks meringis. "Eh soriii," kata Kay. Atha tersenyum. "Enggak papa." Kay mengangguk. "Tau enggak, tadi Atlan ngajak ke mana? Dia ajak gue ketemu omanya! Rumahnya bagus banget! Oma juga orangnya baik, perhatian pula. Seneng, deh, kayaknya punya oma kayak omanya Atlan. Oh ya—" Kay berhenti bicara saat tahu Atha diam saja tidak merespons. Padahal biasanya Atha bakal merespons walau hanya mengangguk-angguk. "Kok diem? Masih sakit ya, lututnya?" tanya Kay merasa tak enak. "Eh? Enggak, kok, enggak," kata Atha merasa bersalah karena membuat Kay murung. "Kenapa diem aja?" tanya Kay lagi. "Gue baru bangun, jadi masih ngumpulin nyawa. Lo baru pulang, 'kan? Sana mandi dulu, abis itu baru cerita," usul Atha. "Oke deh, gue mandi ya. Nanti gue ke kamar lo. Dadah." Kay mencium pipi Atha sekilas. Atha tersenyum menatap kepergian Kay. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding yang dingin. Ia memejamkan matanya sejenak. Kay ditembak Atlan. Kenapa hal itu mengganggu pikiran Atha? Bukankah ia tadi pagi merasa mereka berdua cocok? Harusnya ia bahagia dan senang mendengarnya. Tapi kenapa hati Atha gelisah? Mungkin Atha tahu jawabannya. Karena Atlan bukanlah laki-laki baik. Ia playboy. Tetapi sudah terlambat. Atlan sudah menembak Kay, dan respons Kay sepertinya positif. Akan susah jika sudah seperti ini. Lantas, apa yang bisa ia lakukan? Ganti pertanyaan. Lantas, apa kabar hatinya saat ini? *** "Atha, nanti lo pulang naik apa?" tanya Cakra pada Atha. Mereka baru saja selesai rapat OSIS. Mulai sekarang, OSIS akan sibuk karena mendekati HUT SMA Permata yang selalu megah dan meriah. Acaranya pun berlangsung dua minggu, dengan puncak acaranya menampilkan band yang banyak digemari para remaja. Bukan hanya anak SMA Permata yang berpartisipasi dalam acara ini, melainkan dibuka untuk umum pada minggu kedua. Jadi, akan ada siswa-siswi SMA lain turut meramaikan. Selain karena biaya masuk gratis bagi pelajar, makanan di bazar SMA Permata biasanya murah dan enak. "Bus," jawab Atha. "Sama gue aja, yuk," tawar Cakra. Atha menggeleng dan menolak, "Enggak deh." "Kenapa? Gue bisa dipercaya, kok. 'Kan gue deket sama Kay." "Justru karena lo deket sama Kay, gue enggak mau," sahut Atha. "Maksudnya?" tanya Cakra tak mengerti. Belum Atha menjawab, bus sudah datang. Atha menghela napas lega. Walaupun bukan bus jurusan Atha, itu lebih baik daripada terus di sini bersama Cakra. "Gue duluan." *** "Oi, Tha!" Sebuah teriakan menyambut kepulangan Atha. Atha kaget saat melihat Atlan, Heru, Agra, dan Kay sedang berada di ruang tamu. Atha masih diam di tempat saat Heru melambaikan tangan, memberi instruksi untuk mendekat. "Sini, Tha," panggil Kay. Baru Atha mendekat. Ia duduk di samping Kay dengan tangan kiri ia sedikit sembunyikan di balik tasnya. "Tadi OSIS rapat, 'kan? Gimana acara HUT kali ini? Lebih meriah?" tanya Atlan. Atha mengangguk. "Iya, nanti bakal lebih meriah, kok." "Lomba buat siswa apa aja?" tanya Heru. "Banyak, besok bakal dikasih daftarnya sama OSIS," jawab Atha. "Selain lomba buat siswa, ada apa lagi?" tanya Kay. "Bazar, pameran, lomba persahabatan antarsekolah, pertunjukan seni, dan puncaknya bakal ada band sama artis yang akan isi acara." "Wagelaseh! Asik, coy, pasti banyak cewek SMA lain yang nonton, nih! Wajib ke salon gue berarti, ya!" seru Heru. "Cewek mulu heran gue!" komentar Agra. "Tau, si Heru!" seloroh Atlan. "Tumben ada lomba persahabatan sama SMA lain?" tanya Kay. "Biar ada yang beda dari tahun lalu, dan juga diharapkan nggak ada masalah antara SMA Permata dan anak SMA lain," jawab Atha. "Enggak nyesel sih gue sekolah di Permata, ya, walaupun peraturan sama duitnya banyak." Heru terkekeh. "Yee, Heru bilang gitu kalo pas ada acara doang," tukas Kay. "Eh, Tha, kok lo pulangnya ke sini?" tanya Atlan. Deg! Ia melirik Kay, lalu Agra. Mampus, apa yang akan ia katakan? "Oh, gue ... gue mau ...." Atha berpikir cepat. "Ah, ngembaliin buku fisika punya Kay." Baru saja Atha hendak membuka tasnya, Kay lebih dulu mencekal tangannya. "Tangan kiri lo kenapa? Kok gue baru tau?" pekik Kay. Atha meringis kala Kay sedikit menekan luka yang Atha biarkan terbuka. Karena jika ia memakai perban, orang akan curiga Atha kenapa-kenapa, dan Atha tidak mau itu. Agra yang sejak tadi duduk santai mulai tegang. Ia yang menyebabkan semua ini. Dirinya melirik ke telapak tangan Atha. Lukanya cukup dalam. "Enggak papa kok, cuma—" "Bi, ambilin kotak obat!" teriak Kay. Atha melotot. Ia takut jika .... "Ini Kay kotak obatnya, siapa yang ... Atha!" pekik Ani, ibunya Atha. Atha memejamkan matanya. Ia menghela napas pasrah. Atha melirik Agra. Agra juga sedang memejamkan matanya, dadanya naik turun, Atha tahu, Agra sedang meredam emosinya. Apa yang harus ia lakukan? "Tangan kamu kenapa? Kenapa nggak bilang sama Ibu?!" tanya Ani panik. Dilihatnya tangan kiri Atha. Heru dan Atlan mengernyit heran. Kenapa pembantu Kay bicara seperti itu? Agra mengacak rambutnya frustasi, Kay diam, sedangkan Atha berkilah, "Atha enggak papa, Atha pergi dulu." Atha segera berdiri lalu berlari keluar rumah. Ia masih berlari bahkan ketika ia sudah keluar gang. Entahlah, hari ini rasanya kacau sekali. Yang paling kacau ... sudah dipastikan Agra marah dan akan kembali ke Agra yang sangat membenci Atha. Atha merasa lelah berlari. Lagipula luka di lututnya juga masih terbuka. Ia memutuskan untuk duduk di trotoar pinggir jalan. Tenggorokannya terasa kering, kehausan akibat berlari, ia merogoh saku seragamnya. Kosong. Uangnya sudah ia pakai untuk naik bus dua kali. Karena tadi ia tidak mau diantar pulang oleh Cakra, jadi ia naik saja ketika ada bus yang datang. Atha mengubah posisi duduknya. Sekarang ia duduk dengan posisi memeluk lutut. Kepalanya ia letakkan diatas lutut yang tidak luka. Matanya terpejam. Kini Atha bingung. Sampai kapan ia akan terduduk di sini? Bukankah ia tetap harus pulang? Sepertinya Atha salah memilih tempat untuk duduk karena saat ini ia sedang menjadi bahan gunjingan orang lain. Mereka menatap Atha dengan pandangan berbeda. Ada yang kasihan, merasa aneh, dan ada pula yang tidak peduli. Atha kembali meletakkan kepalanya di lutut. Dan saat matanya mulai terpejam lagi, sebuah suara dan tepukan di bahunya mengagetkan Atha. "Tha ...." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD