The Trauma

1177 Words
*** Suka bingung sama hati, ditanyain suka dia apa enggak, jawabnya enggak. Giliran dia udah punya pacar, baru merengek kesakitan. Ck, dasar. *** Sudah enam hari, SMA Permata sibuk melaksanakan class meeting. Mereka semakin semangat, apalagi besok adalah acara pensi khusus dari siswa SMA Permata, untuk warga SMA Permata sendiri. Pesertanya bebas, siapa pun boleh menampilkan bakatnya di sini. Ada menyanyi solo, duet, trio, band-pun ada. Boleh juga balet, drama, dance, ansambel, dan paduan suara. Besok tidak akan ada lomba, hanya pertunjukan untuk refreshing saja. Tapi antusias para murid memang luar biasa, mereka tetap berlatih demi penampilan yang terbaik untuk besok. Dan kini, calon penampil akan berlatih bersama. Yang cabang menyanyi, berlatih di aula, sedangkan yang menari berlatih di GOR. Sebelum berlatih, Atha, dan siswa siswi yang akan menyanyi akan mengetes vokal mereka dulu, agar terbiasa selama latihan dan menghindari fals. "Udah hafal kan?" tanya Atha pada Atlan. Sebenarnya canggung dan tidak enak. Apalagi kini status Atlan adalah pacarnya Kay, sahabatnya. Ia belum mengatakan ini pada Kay, ia takut. Takut Kay akan marah melihatnya duet dengan Atlan besok. Atlan mengangguk. Menyenangkan bisa berlatih bersama Atha. Yang artinya ia bisa menghabiskan waktunya dengan Atha. "Udah kok, tenang aja. Suara gue nggak jelek-jelek amat." Atha tidak menanggapi. Ia benar-benar takut soal Kay. "Santai aja, Tha. Baru juga latihan," ujar Atlan. "Ganti lagu deh," pinta Atha. Atlan mengernyit. Bukannya Atha yang meminta lagu ini? "Loh? Kenapa?" "Emh ... nggak papa. Ganti aja, ya?" "Kan udah, bu Sri bilang, nggak boleh ganti lagu." Fyi, bu Sri adalah guru Seni Budaya yang mendampingi para siswa yang akan tampil menyanyi besok. Atha mendesah pelan. Ya sudahlah, bagaimana lagi. *** Semua latihan selesai pada pukul setengah enam sore. Mereka akan pulang dan beristirahat untuk menjaga stamina besok. Atha berdiri di halte dengan tidak yakin. Bus harusnya sudah lewat sepuluh menit yang lalu. Apa ia harus naik taksi? Ah, padahal baru saja ia hendak menabung untuk membeli sesuatu. Sebuah motor besar berhenti tepat di depan Atha. "Ayo ikut, udah sore, nggak ada bus," tawar Atlan. Atha diam. Iya atau tidak? "Udah mau mag—" Ponsel Atlan berbunyi. "Serius? Saya segera ke sana!" Atlan menaruh lagi ponselnya. "Tha ayo buruan, Sisil siuman!" *** Pikiran Atha penuh dengan Sisil. Gadis itu siuman. Kini ia bisa bicara dengan perempuan yang membuatnya penasaran itu. Ia mungkin akan bertanya siapa Sisil nanti. Atlan berjalan terburu-buru menuju ruang rawat Sisil. "SISIL!" Atlan langsung menghambur memeluk Sisil. Sisil tampak terkejut dan sulit bernafas. "Ehm, maaf? Anda ... siapa?" Baru kali ini Atha mendengar suara Sisil. Kenapa mirip dengan suaranya? Atlan menurunkan pelukannya. Apa maksudnya Sisil bertanya seperti itu? "Sisil? Ini Atlan!" seru Atlan. Hatinya gelisah. Pasti terjadi sesuatu pada Sisil. Ada yang tidak beres. "Atlan?" tanya Sisil tak paham. "Kamu nggak inget aku?" tanya Atlan lirih. Gelengan Sisil membuat Atlan semakin gelisah. Tapi ia harus menyadarkan Sisil. Sisil pasti cuma bercanda. "Sisil! Inget aku! Aku Atlan! Kamu mau ikut lomba renang kan? Ayo, aku izinin! Sekarang, kita siap-siap! Oh iya, nanti kita cari mama sama papa kamu. Kamu kangen kan? Ayo Sisil!" Sisil menatap Atlan bingung. Kepalanya berdenyut keras. "Tenang Atlan, sabar! Sisil tidak boleh berpikir terlalu keras. Otaknya sedang terkena gangguan," Seorang Dokter menenangkan Atlan. "Sus, bawa Atlan dan temannya keluar sebentar. Saya cek Sisil dulu!" "Mari, Tuan, Nona." Atlan terduduk di kursi tunggu. Ia menunduk. Sedangkan Atha ... sedari tadi ia diam. Apa ini? Kenapa ia malah melihat kejadian seperti di film-film begini? Rencananya akan berbicara dengan Sisil urung. Gadis itu justru hilang ingatan, yang membuat Atha semakin penasaran. Berusaha mengerti situasi, Atha mendekat kearah Atlan yang tampak kacau. "Lan...," panggil Atha pelan. Atlan diam. Tatapannya lurus kearah depan. "Atlan, Sisil—" "Sisil udah nggak kenal gue." Atlan menunduk. "Sisil lupa semuanya. Itu semua karena gue. Gue egois." Saat tangan Atha hendak mengusap punggung Atlan, sebuah kenyataan menamparnya. Tangannya perlahan turun kembali. Atlan milik Kay. Catat baik-baik. "Everything will be okay. Dan ini semua bukan salah lo," kata Atha menenangkan. "No, this is my fault!" seru Atlan. "It's fate, not your fault. Stop blame yourself," sahut Atha. "Salah gue atau bukan, Sisil udah nggak kenal gue. Mau gue nyalahin diri gue sendiri sampe mampus pun, Sisil nggak akan kembali seperti semula lagi," ucap Atlan putus asa. "Amnesia bisa sembuh, Lan. Asal pelan-pelan, jangan terlalu dipaksa." "Gue pesimis," lirih Atlan. "Tapi gue optimis. Gue yakin Sisil bisa dan lo harus bantu Sisil," timpal Atha. "Tapi—" "You can do it." "Thanks." Atlan tersenyum. Atha membalasnya. Lagi. Hatinya meragu. Andai saja tadi ia tidak buru-buru menembak Kay, pasti ia akan.... Ponsel Atha bergetar. Atha meminta izin mengangkat telepon. "Halo?" "Di mana?" "Sama Atlan. Sebentar doang ko—" "Pulang." "Iya seben—" "Sekarang." Atha menghela napas ketika telepon diputuskan sepihak. Ia harus pulang. "Atlan, gue pulang ya? Bisa naik taksi kok," kata Atha. "Gue anter." "Nggak us—" Atlan keburu berjalan mendahului Atha. Atha mengikut saja. Takut malah membuat Atlan marah. *** "Makasih. Semoga Sisil cepet inget ya? Oh iya, besok jangan lupa lirik lagunya," petuah Atha. Atlan mengangguk. Pikirannya sudah tenang. "Iya, lo juga. Semangat!" seru Atlan. "Semangat!" "Yaudah gue pulang." "Hati-hati." Atlan mengangguk, lalu segera melesat pergi dengan motor besarnya. Atha tersenyum tipis. Lalu masuk ke gang tempat di mana rumah-rumah gedong menjulang. *** Atha gelisah. Sedari tadi mengubah posisi tidur tapi tidak ada yang membuatnya terlelap. Kata-kata Kay terlalu mendominasi isi kepalanya saat ini. *** Flashback on. "Ish Atha, lo dari mana aja sih? Gue lama nunggu tau!" kesal Kay. "Eh maaf, tadi rapat sampe sore, terus nggak ada bus," elak Atha. Kay mengangguk saja. "Atha gue seneng banget!" "Karena udah jadian, hm?" tebak Atha. Kay mengangguk cepat. "Rasanya kayak mimpi! Ah, pokoknya nih ya, kalo sampe ada yang deketin Atlan, gue bakal bikin perhitungan sama dia!" serapah Kay. Atha terdiam. Apa dirinya termasuk? Tidak kan? Acara besok hanya sebuah formalitas. Atha jadi mengurungkan niatnya memberitahu Kay soal duet besok. Sepertinya Kay sedang senang-senangnya. Akan buruk jika Atha mengatakan itu. Tapi, kalau sampai Kay tahu bahwa besok ia.... "Eh, Mama udah telepon nih, gue ke kamar dulu ya!" seru Kay. Atha diam kembali. Kay sudah keluar tanpa menunggu balasan Atha. Ia merebahkan tubuhnya pelan. Menghela napas. Flashback off. *** Atha sedang memikirkan bagaimana caranya agar ia tidak tampil dengan Atlan besok. Tapi bagaimana? Bu Sri jelas tidak mengizinkannya. Ahh, satu yang bisa ia lakukan. Pura-pura sakit. Iya, besok ia akan pura-pura sakit saja. Tapi, apa mereka percaya? Saat Atha sibuk berpikir, punggungnya terasa nyeri. Luka di punggung Agra berdampak besar baginya. Ia sering merasa perih di bagian punggungnya. Bukan nyeri seperti sakit punggung biasa. Atha merasa punggungnya seperti tersayat benda tajam. Perih. Tidak. Berhenti memikirkan hal itu, Atha. Sudah cukup. Dan jangan pernah menyalahkan Agra, karena jika ada yang bersalah, itu dirinya sendiri. "Kakak! Tolong!" "Kakak di sini. Kamu tenang aj—ARGHHHH!" "KAKAK!" Atha meringkuk. Menutup telinganya rapat-rapat. Suara itu bermunculan entah dari mana. Tubuhnya bergetar. Perlahan, air matanya meleleh. Setelah lelah mengenang masa-masa itu, Atha terlelap. Melarikan diri dari realita yang sudah menunggunya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD