Feeling Bad.

1005 Words
Sebuah hari yang secara kurang ajar diawali dengan ketidakberuntungan. Aku menganggapnya demikian saat pria yang tidak ingin aku temui bersandar di dinding perusahaan agensi tempatku bernaung. Ini sungguh diluar harapanku dan rencana indahku pada hari ini. Kurasa aku membutuhkan sarung tinju sekarang. Jack segera menghampiriku, tersenyum satu juta dolar yang menawan namun terasa menyakitkan hatiku. Dia memang memiliki daya tarik tersendiri. "Merrien, Honey bisakan kita bicara?" Aku tersenyum kearahnya, ajakan yang ia lakukan seolah tidak ada hal yang terjadi. Sebuah wajah polos tanpa dosa yang ia perlihatkan padaku. Ekspresi wajah itulah yang menjeratku dalam kendalinya tanpa sebuah kata-kata rayuan. Senyum menyedihkan yang selalu membuatku luluh sekaligus menjadi penyemangat agar aku bekerja lembur untuk mendapatkan dana yang ia butuhkan. Sekarang yang tersisa hanya denyutan sakit hati dan rasa malu karena dibodohi selama bertahun-tahun. "Maaf, aku ada janji dengan Albert. " Sekali lagi aku tersenyum, aku merasakan wajahku lebih mengerikan daripada ketika sedang marah. Mungkin saat ini wajahku terlihat seperti spikopat yang mendambakan korbannya untuk dicincang. Sungguh diluar dugaan, dia ternyata tidak bergeming dan memohon dengan lirih. "Ku mohon hanya sebentar. " Pandanganku melayang ke arah kantin perusahaan agensi. Aku menunjuk ke arah sana. "Hanya sebentar. " Sebut aku wanita paling bodoh. Padahal aku tau kebenaran yang Jack sembunyikan dariku. Tetapi aku masih tidak bisa menghentikan debaran jantung yang berdetak kencang seiring langkahku ke meja kantin. Nafasku memberat seiring langkah yang aku ambil. Aku ingin mengutuk perasaan rindu pada pria ini. Dengan situasi emosi dan perasaan yang buruk ini, aku hanya bisa memasang wajah dingin di depannya. Semoga itu bisa menutupi kerinduanku. "Honey, bisakah kau membantuku? " Sudah kuduga...Dia benar-benar sampah. "Bantuan lagi? Apa kau tidak malu meminta bantuan terus menerus dari wanita? " Kata-kata yang ku lontarkan cukup tajam. Aku melihat wajahnya memucat kemudian memerah. Demi Tuhan aku sangat membenci diriku yang ingin memeluknya dan mengucapkan kata maaf. Tanganku bahkan tidak bisa berhenti bergetar karena perasaan sesak ini. Oh Tuhan, aku yang mengatakan kata-kata menyakitkan itu tapi mengapa aku yang kesakitan. "Honey, apa kau marah padaku. Tolong jangan benci padaku. Hanya kau keluarga yang aku miliki sekarang ini. " Dia terus berkata kata-kata yang biasanya membuatku luluh. Tetapi akal sehatku masih berfungsi meski dalam kadar yang tidak terlalu bagus. "Kau memiliki Debora, istrimu_keluargamu," jawabku dingin. Ucapan itu membawaku kembali pada kenyataan jika aku maupun Debora adalah wanita yang menjadi bidak pionnya dalam meraih kesuksesan. Kesuksesan yang selalu menjadi impiannya selama ini. "Honey, dihatiku hanya kau yang kuanggap istri. Aku tau pernikahanku dan pernikahanmu menyakiti dirimu. Namun ini juga menyakitiku. " Dia diam sejenak kemudian melanjutkan ucapannya, "Pengorbanan harus kita lakukan demi masa depan yang indah. Honey, percayalah. " Tanpa sadar air mataku menetes,sebuah kebohongan kembali ia lontarkan, " Debora sedang hamil. Hentikan semua ini. Kurasa tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, aku pergi. " Membayangkan pria yang aku cintai sedari kecil bercinta dengan wanita lain serasa membunuhku. Berita kehamilan itu muncul tadi pagi di sosial media seperti ratusan pisau yang menghujam jantungku setelah percintaan panasku dengan Albert. Aku semakin yakin harus melupakan pria ini. "Honey, tolong..." Aku berdiri, tidak menghiraukan ucapannya. Secepat mungkin aku melangkah menjauh darinya, aku takut tidak sanggup melawan keegoisanku dan jatuh kedalam pelukannya. Lalu mengabaikan logika yang ada dan yang terburuk aku mengabaikan jika ada seorang bayi di perut Debora yang membutuhkan ayahnya. Ketika berada di dalam mobil, aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Air mataku tumpah seolah membebaskan diri. Aku meratap di sana tanpa seorangpun tahu. "Aku butuh Albert, aku butuh dia. " "Aku butuh pelampiasan. " Aku mengambil ponselku dari tas berwarna hitam. Saat ini aku membutuhkan Albert, hanya dia. Sebuah suara terdengar dari sana, ini keajaiban karena aku merasa sedikit tenang setelah mendengar suaranya. "Albert kau dimana? " "Aku di Actexi building. " "Tepatnya di lantai berapa? Aku membutuhkanmu sekarang. " "Lantai 35. " "Aku akan kesana, tunggu aku. " Aku mengarahkan mobilku ke arah Actexi building. Bahkan karena kebodohanku aku tidak menyadari jika nama bangunan biru, cantik, ramping dan tinggi memiliki nama yang sama dengan nama belakang Albert. Mobilku berbaur menjadi satu di jalanan Manhattan. Mereka didominasi dengan taxi kuning yang memadati jalan ini. Kesedihanku sedikit teralihkan melihat kesibukan maupun umpatan yang terdengar dari sopir akibat ulah pengantar pizza. Aku menyukai sekumpulan emosi di jalanan ini. . . Tak lama aku tiba di gedung ini. Ternyata Albert sudah menugaskan seseorang menjemputku. Dia cantik berambut coklat dan terlihat profesional. Dengan senyum ramah wanita bernama Molly membawaku ke dalam lift yang berhenti di koridor ruangan Albert. Okey, aku tidak menyangka jika Albert menyukai mitologi Yunani. Semua arsitektur bergaya Olimpus, ini berseni dan terlihat luar biasa. Apa dia membandingkan dirinya dengan Zeus? "Ruang yang hebat bagi pria yang baru saja menguatkan perusahaannya ya? " Alis Molly terangkat, dia terkekeh dan menjawab, " Lelucon yang bagus. Mr Actexi di dalam, dia pasti sudah menunggumu. " "Lelucon? " beoku. "Hohoho nyonya Actexi, aku tidak bisa menahan tawaku lagi jika anda masih membuat lelucon tentang Mr Actexi." Hei, aku tidak bercanda. Jika tidak bagaimana mungkin dia menjadi suami bayaranku. Satu misteri lagi yang perlu dipecahkan. Namun masih tidak bisa mengalihkan denyutan jantungku yang masih sakit karena Jack. Aku membuka pintu, Pria bersetelan rapi dan menawan dengan manset oniks itu menjadi pemandangan yang pertama kali aku lihat. Itu membuatku lapar. Tentu saja, adalah canduku. Sesuatu yang aku butuhkan saat ini juga. Dia segera bangkit dari kursinya. Tangannya yang besar menarikku ke dalam pelukannya. "Maafkan aku. Aku tidak bisa mengendalikannya, aku membutuhkanmu sangat membutuhkanmu... Hik. " Perlahan aku membiarkan diriku melepas kesedihanku. Ada Albert yang menjadi sandaranku dan aku yakin akan segera membaik. Albert menatapku dengan mata gelapnya yang indah. Dan aku tidak keberatan mata indah itu melihat air mataku yang meluncur dari pipiku. Dia adalah satu - satunya yang aku miliki sekarang. "Aku mengerti. " Albert menciumku. Aku membiarkannya, memang inilah yang aku inginkan. Aku ingin dia memberiku semua yang ia punya agar aku tidak roboh. Aku butuh pengalihan pikiran dari rasa sakit sekarang ini. Tidak boleh aku hancur lagi karena pria bajingaan itu. Sudah cukup aku menderita karena patah hati dan dimanfaatkan. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD