05 - Mulai Peduli

1404 Words
Aku tidak menyangka. Entah dosa sebesar apa yang telah aku buat di kehidupanku sebelumnya. Aku masih terheran-heran, kenapa semua ini bisa menimpaku? Mandi pun rasanya jadi tak tenang. Biasanya aku akan menghabiskan banyak waktu di kamar mandi saat sedang stress. Berendam dengan air hangat sambil menikmati aroma terapi dari lilin yang kupesan khusus. Hanya itulah yang bisa membuatku rileks. Tapi, sekarang tidak lagi. Daripada harus berendam lama, sekarang aku memilih untuk mandi di bawah guyuran shower agar lebih cepat. Selang sepuluh menit, aku sudah keluar dari kamar mandi. Menatap malas ke arah gadis yang berada di atas kasurku, bermain dengan kucingku. "Ah, kamu sudah selesai!" girangnya sambil berlari ke arahku. Aku memutar bola mataku malas, lalu melempar handukku padanya. Lalu ia menatapku sambil menyerit. Dia tidak paham juga? "Cepat mandi!" suruhku. Dia menatapku bingung. Sekarang apa lagi? Apa perintahku barusan masih kurang jelas? "Aku?" "Ya lalu siapa lagi kalau bukan kamu?" balasku. "Ah, hantu perlu mandi juga, ya?" bingungnya. "Jangan naik ke kasurku kalau kau belum mandi," ujarku cuek sambil beralih ke kasur. Aku mengambil buku tentang bisnis yang ada di laci nakas, lalu membacanya sambil bersandar santai di atas tempat tidur. Dari ekor mataku, aku dapat melihat Lucy yang masih terus memandangiku. Aku berusaha tampak cuek. Namun lama-lama aku geram juga. 'Brakkk' Aku meletakkan asal bukuku di atas pangkuanku. Kini, mataku beralih padanya. "Tunggu apa lagi?" tanyaku. "Entahlah. Tapi aku merasa, di kehidupanku kemarin mungkin aku jarang mandi. Aku hanya tidak suka saat kau bilang aku harus mandi," ujarnya polos. "Ya sudah, jangan menyentuh benda-bendaku dengan tangan kotormu. Bahkan sofa juga tidak boleh. Tidurlah di lantai malam ini!" ucapku tegas. Dia memasang tampang memelas. Sebenarnya, aku mulai tidak tega. Tapi masa iya perempuan sepertinya seharian tidak mandi? "Meow!" Lawu bergerak ke sampingku, lalu tiduran dengan bersandar di perutku. "Lihat? Bahkan sepertinya Lawu pun tidak mau berdekatan denganmu setelah tahu kamu tidak mau mandi," imbuhku. Gadis itu melongo. Seperti kecewa dengan apa yang aku katakan tentang Lawu. Kuharap cara ini berhasil. Karena aku sudah tidak punya ide lain lagi untuk memaksanya jika ia masih saja keras kepala. "Ba- baiklah," putusnya. Aku menghela napas lega mendengarnya. "Asal kamu mau berjanji, jika aku mandi, maka nanti aku boleh tidur di kasurmu!" pintanya. Aku membulatkan mataku. Lalu, dia pikir aku harus tidur di mana? Sofa? "Kamu boleh tidur di sofa kalau-" "Aku maunya di kasur," potongnya. "Lalu aku yang di sofa, begitu?" tanyaku. Ia terdiam. Mungkin ia sedang berpikir. Oh ayolah, sofa sesempit dan sependek itu mana muat untukku? "Aku tidak keberatan berbagi kasur denganmu," ujarnya. Aku kembali melotot. Bukankah aku yang berhak bicara seperti itu? Itu pun aku tidak mengatakan karena aku, selaku pemilik kasur ini tidak sudi berbagi kasur dengannya. "Kamu tidur di sofa, atau lantai," tegasku. "Ayolah, masa kamu tega membiarkanku tidur di sofa? Aku saja tidak tega membiarkanmu tidur di sofa. Aku takut nanti badanmu sakit-sakit. Masa kamu-" "Aku tega," potongku cepat. Ia merengut kesal. Namun pada akhirnya ia segera masuk ke kamar mandi. Setelah ia menghilang dari balik pintu kamar mandi, aku baru teringat sesuatu. Bukankah ia butuh baju ganti? Tapi dia kan hantu. Memangnya hantu butuh baju ganti? Aku jadi bingung, haruskah aku menyiapkan baju ganti untuknya atau tidak. Aku mengacak-acak rambutku frustrasi. Kenapa segala sesuatu tentang hantu sialan itu bisa membuatku sepusing ini? Aku bergegas turun dari kasur. Aku berjalan ke arah lemari, lalu membukanya. Sepertinya tidak masalah kalau aku menawarinya berganti pakaian dengan milikku. Toh aku memang tidak punya yang lain lagi. Aku mengambil satu setel kaus beserta celanan trening yang menurutku paling kecil untuk dia kenakan. Ini benar-benar sudah yang paling kecil. Pokoknya aku tidak akan membiarkan kami seperti di film-film dewasa di mana si perempuan tidak mau memakai celana sehingga hanya berbalut kemeja tipis yang nerawang dan seksi. Bahkan jika dia manusia pun, aku tak sudi. Apalagi mengingat jika dia adalah hantu. 'Cklek' Pintu kamar mandi terbuka. Aku segera berbalik dan melempar dua kain di tanganku ke arahnya. Mungkin karena ia belum siap, sehingga baju yang kulempar jatuh begitu saja. "Ambilah! Ganti pakaianmu dengan itu!" suruhku. "Kenapa harus ganti? Pakaianku tidak bau. Coba cium!" tolaknya sambil berjalan mendekat dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Maksudnya, dia mau aku mencium keteknya? Sepertinya dia sudah benar-benar gila. "Ayo cium!" "Jangan gila!" tegurku sambil mendorongnya pelan. Sungguh, hanya pelan. Aku tak seberengsèk itu untuk menyakiti perempuan. "Aku hanya menyuruhmu mencium aromaku! Biar kamu tahu kalau aku tidak bau. Bukannya mencium pipi atau bibirku," tegasnya. Astaga gadis ini... "Aku tahu kamu tidak bau. Toh kamu hantu," ujarku. "Lalu kenapa kamu menyuruhku ganti baju?" "Apa susahnya sih ganti baju? Kamu sudah memakai baju itu seharian. Lagi pula apakah nyaman tidur pakai rok seperti itu?" kesalku. Ia terdiam. Oh ayolah, berhentilah bersikap seolah aku adalah penjahat. Memangnya sesusah itu ganti baju? Toh ini demi kebaikannya juga, kan? "Baiklah," jawabnya sambil berlalu dari hadapanku. Hantu itu memunguti bajuku yang berjatuhan di lantai lalu segera menuju ke kamar mandi. Ah! Aku teringat sesuatu! "Apapun yang terjadi, pakai keduanya! Aku tahu itu pasti kebesaran, tapi kamu tetap harus memakai keduanya!" tegasku. Ia pun kembali melanjutkan niatnya untuk masuk ke kamar mandi. 'Brakkk' Pintu kamar mandi ditutup dengan cukup keras. Tapi entah mengapa, aku tidak kesal sedikitpun. Aku malah terkekeh melihatnya yang semenggemaskan itu. Apakah aku sudah gila sehingga terus memujinya seperti ini? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Hingga tanpa sengaja aku melihat ke arah jam, dan baru sadar kalau ini sudah memasuki waktu makan malam. Aku berniat keluar dari kamar. Namun, saat tanganku menyentuh ganggang pintu, terdengar suara Lucy mengintrupsiku. "Kamu mau ke mana?" "Ke bawah, makan," jawabku sekadarnya. "Ah, itu..." Aku sedikit menoleh. Menunggu ia melanjutkan kalimatnya. "Bisakah kamu makan di kamar saja?" pintanya. Belum sempat aku menyahuti, ia sudah kembali bersuara. "Ak- aku juga lapar. Tapi bagaimana bisa aku makan dengan nyaman jika ada asisten rumah tanggamu?" lanjutnya. "Kamu ikut turun saja. Aku bisa membantumu," ujarku. Setelah itu, aku membuka pintu dan berjalan mendahuluinya. Tak lama kemudian, ia berhasil menyusulku. Menatapku dengan penuh binar seperti seekor anak anjing yang mengikuti tuan nya. Aku baru sadar betapa anehnya ia saat mengenakan baju kebesaran milikku. Bahkan ia beberapa kali harus menaikkan celananya jika ia lupa melepaskan pegangannya pada karetnya. Dan jangan lupakan kaus polosku yang seakan muat jika digunakan untuk menampung dua tubuhnya sekaligus. Aku baru sadar, apa dia memang sekecil ini? Apa mungkin saat ia mati kemarin, ia masih SMP atau SMA? Sampainya di ruang makan, ia duduk di hadapanku. Aku segera mengambil makanan untuk diriku sendiri, sedangkan dia tampak sabar menunggu. "Makanlah!" ujarku sambil menyodorkan piring padanya. "Tapi bagaimana kalau Bu Ningsih lewat?" "Kamu bisa makan beserta makanannya? Atau hanya sari patinya saja?" tanyaku. "Aku bisa keduanya. Sebenarnya, sari patinya saja sudah membuatku kenyang. Tapi-" "Ambilah makanan yang kamu sukai, lalu makanlah!" Aku juga menyodorkan satu wadah ayam kecap ke arahnya. "Tapi kalau-" "Bu Ningsih tidak pernah berkeliaran di ruang makan saat aku makan. Selesai makan, cuci piringnya lalu ambil piring kering dan letakkan di sini!" potongku cepat. Dia kembali menatapku dengan berbinar. Membuatku tak sanggup untuk menyembunyikan senyumanku. "Makanlah!" suruhku sekali lagi, sebelum aku fokus pada makananku sendiri. Sambil makan, aku melirik ke arah Lucy. Ia tampak sangat bersemangat mengambil makanan. Bahkan porsinya lebih banyak dari milikku. Rasanya aku ingin tertawa, namun setengah mati aku menahannya. "Tidak masalahkan aku makan sebanyak ini?" tanyanya. Pertanyaan apa itu? Toh aku tidak akan jatuh miskin tiba-tiba hanya karena memberinya makan. "Kamu bisa memakan sebanyak apapun yang kamu mau," balasku. "Ah!!! Akhirnya bisa merasakan hidup jadi orang kaya juga. Tuhan baik banget, ya, mempertemukan aku dengan pria baik dan kaya raya sepertimu," ocehnya dengan mulut penuh makanan. Aku cepat-cepat menelan makananku sebelum tersedak karena syok melihatnya. 'Ya Tuhan, kenapa harus aku yang kau pertemukan dengannya?' batinku merenungi nasib yang kuanggap sial ini. Lucy makan dengan sangat lahap. Apa di sepanjang hidupnya ia adalah orang yang kekurangan makanan? Kenapa ia sampai sesemangat ini makan makanan yang aku anggap biasa saja? Tiba-tiba otakku kembali dipaksa untuk memikirkannya. Kenapa juga aku harus peduli padanya? Terutama pada hidupnya yang bahkan tidak aku kenal? Tapi aku jadi penasaran, kenapa hanya aku yang bisa melihatnya? Haruskah aku menyelidiki latar belakangnya, dan apa hubungannya denganku sehingga hanya aku yang bisa melihatnya? Aku yakin ada alasan di balik semua ini. Mungkin lebih baik besok aku meminta bantuan beberapa orang untuk menelusuri latar belakang gadis ini. Setidaknya agar aku tahu, apakah dia baik, atau jahat. Sehingga aku bisa menentukan haruskah aku terus menolongnya, atau aku harus ke dukun untuk melenyapkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD